Mohon tunggu...
Istianah Awaliyah
Istianah Awaliyah Mohon Tunggu... Ilustrator - Mahasiswi

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Postkolonial Edward Said tentang Kajian Barat atas Al-Quran

17 Oktober 2022   23:18 Diperbarui: 17 Oktober 2022   23:19 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Edward Said telah membukakan pintu bagi kritik poskolonial. Sebagai intelektual ia telah banyak menyumbangkan kepada dunia dengan berbagai macam gagasannya bukan karena kemewahannya. Malangnya ia mendapatkan kemalangan dalam hidupnya terasingkan dan terbuangkarena pelajaran dan pengaruh hidupnya itu juga memepengari hasil gagasannya. Bagaimana tidak, dalam perjalanan hidupnya ia mengalami penjajahan dan pengusiran. Bahkan, akhirnya ia menemukan kehidupan baru setelah menjadi migran dalam peperangan.

Kisah perang, pengungsi, tanah air yang hilang, menjadikan Said orang yang kiat bertahan. Bukan itu saja, hasil pengalamannya ia sebagai bahan perlawanan untuk menentang ketidakadilan. Ia akhirnya sampai pada kritik terhadap Barat melalui apa yang ia sebut Orientalisme. Orientalis bagi Said adalah mempelajari, merepresentasikan, dan menciptakan ketimuran orang Timur ,erupakan bagaian drai koloniliasi. Dalam menganalogikan Timur, Barat mencoba membuat standar berdasarkan mereka sendiri, yakni standar positivisme saintifik yang berkembang mulai saat pasca Pencerahan. Oleh karena standar itulah, Timur dicap oleh Barat sebagai masyarakat yang irasional, kekanak-kanakan, primitif, eksotis. Pada zaman ini, semangat mengagungkan akal budi, yang mengarah pada logosentrisme, yang menimbang segala sesuatu dari nalar saintisme, agaknya masyarakat Timur mempengaruhi berpengaruh terhadap sikap Barat.

Barat menjadikan representasi terhadap Timur sebagai legitimasi untuk melakukan kolonisasi sebagai wujud dari misi pemberadaban. Terdapat hubungan antara Orientalisme sebagai pendefinisian atas "yang lain" (the other) dengan dengan proyek kolonialisme. Melihat masyarakat Timur yang masih tertinggal, kolonialisme dianggap mulia dalam rangka memberi arahan perkembangan masyarakat bukan Eropa agar dapat searah dengan Eropa. Namun, kolonialisme menjadi misi pemberadaban adalah hal yang paradoks.

Memang, kolonialisme adalah serangkaian hal yang paradoks dan ambivalen. Kolonialisme berlindung di belakng masyarakat pribumi berdasarkan wacana yang sudah dibuat nya oleh sendiri, yang menciptakan pembedaan secara esensial antara penjajah dan terjajah. Kolonialisme menjadi puncak rasisme, eksploitasi ekonomi, "pelainan" (othering), dominasi-hegemoni, dan jalan bagi imperialisme. 

Dalam kerangka wacana kolonial pula, penjajah menjalankan misi pemberadabannya. Mereka mendidik masyarakat pribumi nerdasarkan wacana yang telah dibuat oolehnya sendriri. Dalam pandangan kolonial, masyarakat pribumi tidak akan pernah sejajar dengan kolonial karena takdir bagi masyarakat pribumi.

Sebaliknya, bagi masyakat pribumi, kontak dengan penjajah tidak terjadi dalam ruang yang pasif. Interaksi dengan kolonial membuka kesempatan bagi pribumi untuk meniru tuan penjajahnya. Politik etis menciptakan masyarakat perantara yang berada di ruang ambang antara penjajah dan terjajah. 

Bangsa pribumi yang dididik oleh pendidikan kolonial memiliki ruang tersendiri dalam masyarakat. Mereka tidak sepenuhnya menjadi pribumi, namun juga tidak seratus persen Eropa. Inilah "ruang ketiga" (third space) atau "ruang antara" (in-between) tempat berkembangnya hibriditas. 

Di ruang ini, peniruan terhadap penjajah tidak selamanya menghadirkan penjajah dalam bentuk utuh. Peniruan terhadap penjajah muncul dalam bentuk yang telah diparodikan, diolok-olok, dan dijungkirbalikkan. Kelompok perantara menjadi ruang bagi perlawanan anti kolonial. Melalui ruang ketiga ini, Bhabha melihat adanya proses hibridisasi antara masyarakat terjajah dan penjajah. Sehingga, wacana kolonial yang memasukkan masyarakat terjajah ke dalam satu identitas kaku dan pasti, tidak menemukan muaranya. 

Melalui ruang ketiga sebagai antara masyarakat terjajah dan penjajah, Bhabha hendak mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang pasti dalam kolonialisme. Semuanya serba kabur dan tidak jelas.

Poskolonialisme berkembang pesat setelah era Said dan generasi pertama pemikir kajian poskolonial. Teori poskolonial masuk ke berbagai bidang pengetahuan. Ia menjadi sarana untuk mengkritik dan membongkar hegemoni Barat atas masyarakat lain. Poskolonialisme menjadi pintu keluar bangsa non- Barat/Eropa dari hegemoni imperialisme. 

Selain itu, dalam konteks negara-negara (bekas) terjajah, poskolonialisme merupakan kritik atas kondisi obyektif kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui poskolonialisme bangsa (bekas) terjajah berusaha menemukan identitas yang koyak oleh masa lalu kolonialisme. Melalui kritik poskolonial, diharapkan masyarakat dapat menemukan fase kebudayaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun