Sudah ada yang nonton film 212 The Power of Love kah? Â Meskipun sudah banyak di luar sana yang sudah menulis tentang film ini, saya juga tidak mau ketinggalan menulisnya. Terlebih film ini memakai latar tempat saya lahir dan besar, yaitu Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Selain itu saya pun menontonnya di bioskop Ciamis, meskipun baru tadi sore menontonnya. :D
Sebelum saya menonton film ini, saya juga silaturahim ke tempat saya pernah menimba ilmu, yaitu Pondok Pesantren Alhasan Ciamis, di sana pula saya bertemu kawan lama yang masih mangabdikan diri di Ponpes, menambah keharuan karena saya ingat betul ketika aksi damai ini berlangsung pengasuh pondok pesantren saya juga ikut long march dari Ciamis menuju Jakarta. Meskipun di tengah perjalanan akhirnya disediakan juga angkutan umum.
Film yang sudah ditayangkan dari 9 Mei kemarin ini saya kira menjadi tontonan wajib. Saya pun tidak mau ketinggalan. Suka nonton film? Saya sarankan jangan ketinggalan nonton film ini, kenapa?
Mengajarkan Kita Untuk Mempertahankan Pendapat, dan Belajar Mengolah Pola Pikir
Rahmat, adalah pemain utama pada film ini merupakan lulusan jurnalistik Universitas Harvard yang bekerja di salah satu penerbitan yaitu Tabloid Republik di Jakarta. Kerennya pada cerita ini ternyata Rahmat adalah orang Ciamis. Ketika berpendapat dan menulis selalu keukeuh dengan pemikirannya, meskipun pemimpin redaksinya menolak tulisannya.
Dari sana kita bisa belajar bahwa apa yang kita yakini jangan pernah ditukar dengan hal lain yang bersifat popularitas dan materi. Tetapi menjadi hal lain lagi jika kita berpikir untuk bisa mengubah pola pikir dan terus belajar melihat situasi yang sebenarnya. Itulah nantinya yang terjadi pada Rahmat, mendapat cahaya lain dari Islam yang sesungguhnya.
Bisa jadi pula itu terjadi pada saya atau kita. Terlalu yakin pada sesuatu yang kita sendiri belum paham betul kebenarannya.
Orang Tua Adalah Salah Satu Jalan Kesuksesan
Pada film ini, Rahmat adalah anak seorang kiayi yang mashur dari Ciamis Ki Zainal. Tetapi melihat anaknya menulis tentang Islam yang selalu disudutkan, membuat Abahnya tersebut tidak menyukainya. Jalan Rahmat juga begitu rumit sehingga memiliki kepribadian yang kurang simpatik, terkesan apatis dan selalu skeptis melihat kejadian.
10 tahun Rahmat hidup jauh dari keluarga, karena kebencian pada ayahnya yang memasukkan dirinya ke pesantren yang banyak anak bandelnya, bukan tanpa sebab. Tetapi rasa cinta antara ayah dan anak memang tidak mungkin begitu saja terpisah, akhirnya...(mau tahu? nonton ya)
Di sini, saya langsung mengingat kedua orangtua saya. #nangiis
Menunjukkan Islam Rahmatan Lilalamiin
Islam selalu terkesan menjadi alat untuk kekuasaan dan dalihnya adalah rasis. Pemikiran Rahmat yang skeptis dengan menyebut aksi damai 212 itu adalah makar dan akan menimbulkan kericuhan justru salah besar. Beda paham justru dengan Abahnya Ki Zainal yang sangat semangat ikut long march, meskipun dalam keadaan sakit bahkan beliau adalah orang yang membawa jamaahnya untuk bergerak.
Aksi yang dilakukan pada waktu itu jelas panggilan hati yang digerakkan oleh iman dan rasa cinta pada al-Quran. Bahkan, dengan senang hati warga memberi makan dan minuman secara gratis hanya semata-mata untuk sedekah dan ingin menjadi bagian dalam aksi tersebut. Tersebab itu, Rahmat yang skeptis dan (sedikit) belagu itu sadar akan indahnya Islam.
Dengan menjadi penulis bisa mengarahkan manusia pada jalan yang baik atau buruk juga bisa memperlihatkan ideologi seorang penulisnya tersebut, maka Rahmat pun menulis tentang Islam yang damai dan penuh cinta, pada akhirnya.
Cinta Itu....
Ada ungkapan yang saya suka (ini buatan saya sepertinya ungkapannya) "se-aksi-aksinya film, pasti selalu ada tema cinta di dalamnya"
Entah mengapa, tapi saya setuju bahwa film Hollywood sekalipun yang menunjukkan film perang, pasti menyelipkan pesan cinta di dalamnya. Contohnya film Wonder Women, film penuh aksi ini justru memperlihatkan bahwa cinta itu adalah penguat. Bentuk dari cinta pada Wonder Women adalah pengorbanan, beda dengan film 212 yang memberikan hati dan tenaganya untuk Islam. Itu semua karena CINTA.
Film ini tidak sepenuhnya sempurna dari segi pengambilan gambar dan angel. Tetapi jalan ceritanya sungguh berkesan. Tidak ada kata terlambat selama Allah memberi kita nafas. Menonton film ini, artinya juga menyedekahkan sebagian harta kita untuk kepentingan sosial, karena sebagian dari hasil film ini akan disedekahkan.
Begitulah kira-kira yang saya baca dari sumber lain. Selain memberi kita kepuasan telah menontonnya, kita juga meberikan hal lain yaitu menghargai karya anak bangsa dan menyedakhkan sebagian harta kita untuk sosial. Menontonlah sebelum terlambat. :)
Bagi yang sudah nonton, bagikan juga ya kesannya di kolom komentar.
Kalau tulisan ini sedikit membuat pusing pembaca dimaklum ya, saya sambil nundutan nulisnya. hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H