"Seorang murid tidaklah lebih daripada gurunya; tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya"
Kata-kata di atas, saya dapat dari buku Paulo Coelho, diambil dari kitab bibel. Saya muslim, tetapi ketika saya menemukan kalimat di atas, saya merenungkan maknanya. Karena secara impilisit kalimat tersebut mengundang saya untuk sejenak memikirkan apa sebenarnya tugas guru yang sebenarnya.
Guru? Siapakah guru itu? Apakah mereka yang berseragam dengan status sosial yang tinggi, atau mereka yang dengan sukarela memberikan ilmunya tanpa pamrih.
Sejak lama, guru memiliki keistimewaan dan jargon yang sepertinya luar biasa, tetapi akhirnya setiap orang akan meminta haknya pula. "Guru Tanpa Tanda Jasa" itu yang sering kita dengar dan sampai sekarang sepertinya masih tetap berlaku, ya berlaku dalam sebuah lagu setidaknya. (he.. he..)
Tinggalkan hal yang berkaitan dengan ini. Saya meyakini, setiap orang memiliki kebutuhan di dunia ini. Ketulusan kadang dianggap naif bagi yang lainnya, bahkan kadang ketulusan yang sebenar-benarnya tulus diindikasikan menyimpan motiv lain dibelakangnya. Tentu saja, karena pemikiran itu, orang tulus bisa ikut berubah menyesuaikan apa yang dipikirkan orang tersebut.
Pemerintah sendiri yang mengajarkan kita untuk bisa survive dengan keadaan yang dibuatnya sendiri, meskipun itu membuat sebagian orang lain menyengserakan. Bagi saya, apapun harus dikerjakan dengan tulus. Berdagang juga harus tulus agar yang dikerjakan terasa ringan, tetapi bukan berarti mau dibohongi orang apalagi membohongi orang. Ada porsi masing-masing untuk menempatkan ketulusan.
Kita berbicara tentang guru saja. Karena dunia ini menyimpan banyak misteri tentang guru, saya teringat ketika menjadi seorang pelajar. Memiliki guru yang baik dan dengan tulus memberikan ilmu tanpa meminta kita menjadi anak yang pintar dengan nilai yang memuaskan ditambah dengan tekanan memberikan banyak piala memang anugerah yang luar biasa.
Tanpa disadari, ketulusan itu yang membuat siswanya berkembang. Bahkan dengan ketulusan guru inilah sebenarnya banyak orang biasa ketika sekolah, menjadi orang sukses ketika dewasa.
Sekali-kali, saya juga banyak membaca kisah anak yang kurang dalam urusan intelektualnya, menjadi pribadi yang bermanfaat dikemudian hari. Saya berpikir, kenapa ya bisa begitu? Ah, pasti ini cerita mengada-ada, atau ini hanya cerita motivasi agar dikejadian nyata terjadi hal yang serupa.
Tapi, dengan cerita tersebut, saya justru ingin kembali menjadi anak didik yang belajar kepada guru yang tepat, dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang. Saya membayangkan, guru tersebut mau menerangkan banyak hal tanpa banyak perintah dan mata yang tenang, dari mulutya keluar penuh hikmah, pemikiran yang jernih, tangan yang menunjukkan kebenaran, dan memotivasi untuk terus mengejar yang diimpikan.
Mengenai tentang kurang pintar, saya setuju dengan pernyataan tidak ada anak yang bodoh, yang benar adalah setiap anak memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing. Apalagi jika ditunjang dengan keberadaan guru yang mumpuni dan mampu mengarahkan anak didik tersebut. Guru zaman now, seharusnya memang belajar agar tidak asal bicara dan menjudge anak didiknya tersebut dengan ucapan atau perkataan yang kotor.
Jika jelas memang anak didik tersebut bermasalah, pendekatan dan mencari tahu sebab perilakunya tersebut yang harus ditangani. Karena bisa jadi, ucapan guru tersebut menjadi doa yang terjadi dikemudian hari. Ucapkan saja, "Ibu / Bapak doakan, agar kamu jadi ilmuwan, dokter, imam masjid, dll yang positif." Meskipun memang sulit juga dihadapkan anak bandel yang super kuadrat bandel. Apa boleh buat, tugas guru memang berat.Â
Kalau pernah membaca novel tetralogi Laskar Pelangi atau menontonnya, kita pasti sepakat bahwa guru berperan penting dalam keberhasilan anak didiknya. Ical kalah pintar dari Lintang, tetapi Ical memiliki motivasi dan kesempatan memiliki guru yang tepat.
Di novel Laskar Pelangi kedua "Sang pemimpi",  ketika  SMA Ical memiliki guru yang selalu memotivasinya dan teman-temannya untuk bermimpi. Mimpi adalah sesuatu yang tidak boleh hilang dari hidup. Bahkan guru tersebut pernah diingatkan kepala sekolah agar tidak memberikan motivasi dan angan-angan terlalu tinggi pada anak didiknya tersebut.
Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah mimpi Ical itu terlaksana bahkan bisa kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Itulah mimpi yang pernah ia cita-citakan ketika ditanya mimpi oleh gurunya.
Baik, itu hanya novel. Hanya cerita imajinasi. Mungkin akan banyak orang yang mencemooh mimpi. Bagaimana jika kita melihat kenyataan. Ingat Hellen Keller? Seorang anak yang mendapat penyakit di usia 19 bulan yang mengakibatkan buta dan tuli, dan menjadi tidak bisa bicara.
Tetapi dengan bantuan gurunya Anne Sullivan, dan ketabahannya mengajari Keller, semua menjadi berubah. Keller tumbuh menjadi pribadi yang cerdas bahkan bisa membuat karya, menjadi dosen, aktivis, dan sederet penghargaan. Lagi-lagi, guru yang tulus.
Bagi saya pribadi, guru bukan hanya yang berpakaian rapi, dan memiliki gelar pendidikan. Guru, bisa saya temui ketika dia memberikan manfaat untuk hidup saya, memberikan jalan keluar, dan memberikan motivasi, dan guru yang paling baik adalah pengalaman.
Maka, siapapun saya bukan berarti menggurui, saya sedang berimajinasi seandainya saya menjadi guru yang saya sendiri ingin memiliki guru seperti itu. Saya berusaha memikirkan cara, tidak seperti guru, tetapi memiliki dampak besar bagi kehidupan seseorang, atau siapapun. Pastinya, guru pertama saya adalah ibu saya, keluarga saya, lingkungan saya.
Seandainya, tulisan ini diikuti banyak orang, saya akan menjadi anak didik orang tersebut dan saya selalu ingin menjadi pembelajar dari guru yang tulus dan ikhlas memberi ilmunya.
Merenungi... pagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H