Waktunya belanja di Grand Bazaar sudah tiba. Sejarah panjang melatarbelakangi pembangunan pasar ini. Untuk menghidupkan perekonomian Istanbul, nama baru Konstantinopel, Al-Fatih Sang Penakluk memerintahkan pembangunan sebuah pasar. Terlebih, Hagia Sophia yang sudah dialihfungsikan menjadi masjid membutuhkan dana. Â
Pembangunan Grand Bazaar atau Kapalicarsi dimulai tahun 1455 sampai 1461. Sebuah pasar tertutup yang terbesar di dunia, memiliki 22 pintu masuk yang tersebar di seluruh wilayah pasar dengan empat gerbang utama, serta lebih dari 4.400 toko dengan 25 ribu pekerja. Mereka siap melayani para pembeli. Inilah surga belanja yang sesungguhnya.Â
Di pasar ada puluhan kafe. Tempat bagi pengunjung yang melepas lelah setelah berburu barang. Di dekat pasar ada dua  masjid. Pekerja dan pengunjung Muslim bisa menunaikan salat di sana. Belanja iya, salat oke!Â
Aku dan suami sempat berfoto dengan memakai baju adat Turki. Biayanya 150 ribuan. Suamiku berpose memegang pedang dengan jubah dan penutup kepala berwarna biru. bak satria bergitar khas Turki. Baju kurungku merah marun berbahan mirip sutra dengan mahkota Paksian. Pose fotoku bak wanita bergitar khas Turki. Ah, jadi ingat Bang Rhoma dan Ani. Suamiku manut wae untuk pose ini. Hihihi. Tapi, kenapa fotonya miring gini ya pas diunggah ke halaman dashboard menulis?
Nah, pelayannya ternyata maksa kita untuk menebus foto lebih dari yang kita pesan. Pasti minta bayaran lebih juga, dong! Suaranya terdengar seperti membentak agar kami tunduk pada paksaannya.Â
Oh, no way! Kalau sudah begini, aku harus tegas. Saat dia terus memaksa, aku ancam dengan membatalkan perjanjian dan mencari studio foto yang lain. Mas pelayan akhirnya menyerah. Penjual dan pembeli harus saling menghargai. Jangan karena dia tuan rumah dan kita orang asing lalu bisa bertindak semena-mena.
Barang-barang yang dijual di sini bisa berlipat-lipat harganya dibanding di Cappadocia. Aku hanya beli beberapa dompet kecil, tas untuk Alquran, tempelan kulkas, dodol Turki, dan taplak meja kecil. Beberapa kaus bergambar ikon Turki kudapat dari seorang pedagang yang ramah. Istrinya orang Indonesia. Bahasa Indonesianya lumayan lancar. Karena membeli banyak kaus jadi dikasih bonus. Kami pun saling berterima kasih dan saling mendoakan.
Aku dan suami sempat tersesat saat hendak keluar komplek pasar. Kami bertanya pada seorang kakek pedagang yang bisa berbahasa Inggris. Dengan ramah dia memanggil kami "Indonesia", memberikan petunjuk arah, dan mengingatkanku agar membawa tas ke bagian depan badan agar terhindar dari pencopet. Thank you, Buyukbaba! Terima kasih, Kakek!Â
Saat mulai mencari jalan keluar komplek pasar, tidak disangka kami bertemu ibu-ibu yang lain sedang beristirahat di salah satu toko sambil makan minum. Ternyata mereka tersesat juga. Jadilah toko ini sebagai meeting point rombongan kami. Misi berbelanja sudah selesai.Â