Ngomongin tentang lapangan bola, Klakah masih ingat nggak saat aku dan Reni sahabat baikku selesai belajar kelompok nggak langsung pulang ke rumah? Malam itu, tas kami sembunyikan di kebun orang. Lalu, kami pergi menyusuri rel kereta menuju ke lapangan bola untuk nonton "misbar" film India.
You know "misbar" kan, Klakah? Iya benar, gerimis bubar. Ah, ini sungguh kenangan indah yang tak terlupakan. Seingatku film Indianya tentang seorang warga biasa yang mencari perlindungan hukum. Namun, apa daya aparatnya justru tebang pilih dalam menegakkan hukum. Lalu, hendak ke mana lagi mencari keadilan, Duh, jadi ingat seperti di negara mana gitu. Lalu, cerita beralih ke adegan tarian India. Aca ... aca ... Dan, jika gerimis datang maka penonton bubar jalan, deh! Hehehe.
Itu bagian serunya. Ada juga lho cerita sedihnya. Yaitu, saat Reni meninggal karena sakit dan aku tak sempat memeluknya. Saat itu, aku sedang dalam perjalanan mudik dan berniat langsung ke rumah sakit. Klakah, engkaulah saksi atas persahabatanku dengan Reni sejak kami kelas SD hingga berumah tangga dan beranak pinak. Meskipun kami tinggal berbeda provinsi, tetapi hati kami tetap terhubung. Seperti terhubungnya hatiku dan hatimu, Klakah.
Terima kasih Klakah, kampung halamanku terkece, sudah menemani hari-hariku dalam mewujudkan impian. Di antara keterbatasan fasilitas-fasilitasmu di desa kecil yang terletak di kaki Gunung Lamongan dengan beberapa ranu (danau) yang mengitarimu, tak menyurutkan semangatku untuk bermimpi besar dan setia untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Tantangan-tantangan menjadi lebih mudah ditaklukkan, karena engkau ingin aku menjadi pejuang bukan pecundang. Â Â
Bayangan Gunung Lamongan sering tampak di kilauan permukaan Ranu Klakah. Sama seperti bayanganmu yang sering tampak di permukaan hatiku. Memanggil-manggil untuk segera bertemu. Ya, engkau selalu bisa memanggilku untuk pulang, menuai rindu, merajut kenangan masa lalu. Â Tak terkecuali kenangan indah bersama saudara, tetangga, dan sahabatku yang terjalin sampai sekarang.
Klakah, maafkan aku yang telah meninggalkanmu dengan memilih hidup sebagai perantau. Namun, percayalah bahwa hanya fisikmu yang kutinggalkan, tidak dengan hatimu. Aku tak sanggup melakukannya, karena merindumu itu sungguh berat. Tidak mudah ditawar dengan kopi kenangan merek apapun. Suwer, beneran ini.
Klakah, aku merantau untuk menenun mimpi. Setelah perjuangan panjang kulakoni. Cepat atau lambat aku kan kembali. Entah sebentar atau berlama-lama kita kan melepas rindu ini. Semoga engkau bangga pada capaian diri ini.
Dari tadi aku bicara tentang merindumu. Baidewei, kamu rindu nggak sih sama aku? Jawab secara jujur di balasan suratku ini nanti, ya! Aku siap mendengar curhatanmu. Sekarang sudah malam. Kamu boleh bobok dulu. Aku juga mulai ngantuk, nih! Udahan dulu ya, say! Sampai jumpa.
Wassalaamu'alaikum