Â
Pertama kenalan dengan es krim AiceÂ
Pertama kali mendengar ada es krim pendatang baru bermerek Aice sekira tahun 2015-2016 an. Banyak yang bilang harganya murah meriah. Nggak bikin dompet jadi kempes. Begitu kata teman-teman.
Semua orang pasti tergiur dengan harga murah termasuk saya. Secara, es krim termasuk ke dalam kategori kebutuhan sekunder bahkan bisa jadi kebutuhan tersier. Namun, hal ini masih bisa saya kesampingkan.
Apakah es krim Aice sudah mengantongi label dan nomor halal MUI? Ini syarat utama yang mendasari saya dalam mengonsumsi sesuatu. Apalagi saat itu banyak rumor beredar bahwa es krim Aice belum ada label halalnya.
Di depan sekolah tempat saya mengajar ada warung yang menjual es krim Aice. Murid-murid saya suka beli di situ saat pulang sekolah. Ada salah satu murid yang mengajak saya untuk beli es krim Aice di warung itu. Saya menolaknya.
"Ada label halalnya koq, Bu," kata murid saya berusaha meyakinkan. Kami memang terbiasa mengecek logo halal sebuah produk makanan. Logo halal saja tidak cukup. Yang terpenting lagi harus ada nomor halal MUI-nya agar memberi kepastian dan ketenangan saat memakannya.
Saya coba mengecek langsung kemasan es krim Aice. Betapa senang saat melihat logo berbentuk lingkaran warna hijau dengan tulisan "Majelis Ulama Indonesia" itu. Ada nomornya pula. Yap! Sejak itulah saya dan keluarga mulai mengonsumsi es krim Aice.
Baru ngeh juga bahwa Aice adalah perusahaan lisensi dari Singapura dan memiliki tim yang berpengalaman selama 20 tahun di industri es krim.
Kehadiran es krim Aice jelas memberi keuntungan bagi masyarakat agar bisa tenang menikmati Aice es krim berkualitas dengan harga terjangkau. Juga, memberi keuntungan bagi pemilik toko untuk menambah pendapatan.
Tetangga baru sebelah kiri rumah saya membuka toko kelontong. Freezer es krim Aice sudah mojok di sana meramaikan transaksi perdagangan.  Banyak anak-anak kecil dari RT kami maupun RT sebelah yang beli es krim Aice di situ. Bekas bungkus kemasan banyak terlihat di jalan atau di selokan.