***
Ini yang saya alami terkait dengan kisah toleransi antar umat beragama. Saat itu saya berseragam putih abu-abu. Saya memiliki geng bermain yang anggotanya perempuan. Sukanya pergi bareng ke sana dan ke sini. Ke mana-mana pokoknya asyik.
Kenakalan remajanya juga standar bocah ndeso. Tidak neko-neko. Paling banter pulang main telat sampai sore. Persahabatan kami juga solid, aman, dan damai. Tidak ada acara gontok-gontokan atau jambak-jambakan rambut kaya di drama tivi kalau anak-anak cewek lagi berantem. Hehehe.
Nah, salah satu teman saya ada yang Kristiani. Ayahnya adalah tokoh agama Kristen. Ibunya seorang guru di sebuah sekolah dasar Kristen. Dan ternyata jodoh kawan saya di kemudian hari adalah seorang pendeta.
Suatu saat saya bermain ke rumahnya dari siang sampai sore. Dari rumah saya sudah melaksanakan salat Zuhur. Selepas Asar masih asyik ngobrol. Lama-lama konsentrasi saya buyar antara ngobrol dan kepikiran belum salat. Mau pulang takut tidak keburu juga salat Asarnya. Rupanya sahabat Kristiani saya ini melihat kegalauan hati saya.
"Kamu belum salat Asar, ya?" tanyanya.
"Iya, nih! Kalau gitu aku pulang dulu, ya?" pinta saya sambil sungkan.
"Udah salat di sini saja. Nggak apa-apa, kan?"
"Tapi aku nggak bawa mukena."
Lalu dengan sigap sahabatku mencari pinjaman mukena kepada tetangga yang rumahnya agak jauh. Rumah kawan saya ini memang di pinggir jalan raya, tetapi tetangganya tidak banyak. Jikalau ada tetangga, ya itu tadi letaknya jauh. Namun, ia tetap semangat mencarikan pinjaman mukena agar saya bisa melaksanakan salat Asar.
Sambil terburu-buru, sahabat Kristiani saya membawakan mukena terusan warna putih polos. Mukena ter-the best di zamannya. Dia menyiapkan tempat salat yang bersih di atas amben (ranjang dari bambu). Ia seakan tahu seorang muslim perlu tempat yang suci untuk salat. Tempat yang bersih dari najis. Di ruangan itu juga tidak ada tanda salib atau atribut Kristiani lainnya.