Rombongan kami dijemput oleh pemandu wisata lokal. Seorang wanita peranakan Turki-Eropa berusia tiga puluh tahunan. Sebut saja namanya Elif. Hehehe. Komunikasi dilakukan dalam Bahasa Inggris karena pemandunya belum lancar berbahasa Indonesia.  Lalu apakah aku lancar berbahasa Inggris? Nggak juga. Ah, yang penting i know you know-lah!Â
Oh ya, pemerintah Turki sangat antusias dalam mengembangkan sektor pariwisata. Tak heran, ada banyak destinasi wisata unggulan yang dikunjungi oleh wisatawan. Kota Istanbul menyimpan banyak peninggalan sejarah yang masih terlihat megah hingga saat ini. Hal itu wajar karena dahulu berdiri kerajaan besar Ottoman yang pernah berjaya di Turki.
Hari Pertama. Mobil wisata yang disopiri oleh Baba Yusuf membawa kami menyusuri jalanan kota Istanbul melewati Terowongan Laut Marmaray. Marmaray merupakan jalur kereta api sekaligus terowongan yang berada di Istanbul. Tempat ini memiliki terowongan kereta api yang berada di Selat Bosphorus. Panjang dari terowongan yang melewati bawah air sekira tiga belas kilometeran.Â
Pembangunan dimulai pada tahun 2004 dengan melakukan penggalian dan juga pembuatan konstruksi jalur kereta. Pembangunan sempat tertunda karena saat penggalian ditemukan benda-benda peninggalan bersejarah. Nama Marmaray berasal dari penggabungan nama Laut Marmara dengan "Kara Ray" yang berarti rel.
Kami makan siang di restoran kebab. Di meja yang terdiri dari empat orang, disajikan nasi, tortila ukuran lebar bertabur wijen hitam, kebab daging domba, kuah saus, irisan jeruk sunkist, dan salad sayur.Â
Sayurnya ada wortel, kol putih, kol ungu, dan selada. Tortila dibuat dari adonan terigu, garam, minyak sayur dan juga air hangat. Adonan dipanggang mirip kulit lumpia tapi lebih tebal.Â
Kebabnya seperti steak, bentuk batang pipih, bukan irisan tipis-tipis. Kami makan kebabnya tidak digulung seperti layaknya kebab di Indonesia tetapi seperti makan nasi biasa dengan lauk kebab dan salad sayur. Jika mau makan tortila tinggal disobek saja lalu dicelup ke kuah saus. Sebagai penggemar daging domba, saat mengunyah kebab, aroma gurih dombanya cukup terasa. Â
Kami lalu mengunjungi Masjid Biru (Blue Mosque) atau Masjid Sultan Ahmed. Kami melakukan salat jamak qashar Zuhur dan Asar. Sejarah di balik masjid ini adalah kekalahan Kekaisaran Ottoman saat berperang dengan Persia tahun 1603-1618.Â
Untuk mengangkat kembali kekuasaan  Kekaisaran Ottoman, Sultan Ahmed I membangun Masjid Sultan Ahmed. Masjid megah dengan enam menara yang menjulang tinggi menjadi bangunan paling ikonik kota Istanbul.Â