Dear Ibu, apa kabar? Kerinduan itu memuncak lagi, lewat berbagai mimpi. Pada yang telah memberi kasih sayang, yang tak pernah menampakkan kelelahan, yang selalu menungguku menyiapkan ujian. Kadang sampai terlelap, masih dengan kaca mata tua yang berlapis daki di sana-sini.
Aku rindu pada suara batukmu yang ngiklik tiada henti itu, Bu. Aku rindu didisan-mu mencari kutu di kepalaku setiap kali menjelang tidur. Aku rindu belaianmu yang bermakna tiada tara.
Masih kuingat, betapa khawatirnya engkau saat aku keluyuran malam. Tetap kuingat, betapa dukanya engkau saat aku harus pergi ikut bimbel selama sebulan. Selalu kuingat, betapa berserinya engkau saat kuputuskan tinggal bersamamu. Pilihan sulit bagi bocah ingusan seperti aku.
Bagimu, aku tetaplah seorang anak kecil. Yang baru saja menikah dan tengah mengandung cucumu. Jadi mesti terus dijaga, dimanja, dan disayang-sayang, tak boleh terluka. Perhatian yang berlebihan tapi aku suka, Bu.
Kerinduan itu menyeruak lagi, lewat berbagai memori. Pada wanita tua yang sebagian giginya sudah tanggal, yang rambut tipisnya sudah memutih, yang menyisakan gurat kecantikan di masa mudanya, yang wajahnya semakin tirus.
Sampai pertemuan terakhir itu. Tak tertangkap sesuatu yang disembunyikan. Hanya rautmu semakin pucat saja.
Kabar itu menghancurkanku, Bu. Sungguh! Berakhir kesedihan oleh ketakutan-ketakutan yang kucipta sendiri. Tubuhku lunglai, pikiranku kusut masai. Kenapa engkau pergi tanpa aku di sisimu?
Yang kusesalkan, tak banyak hal dan saat untuk membuatmu bahagia, Bu. Waktumu terlalu singkat kurasa. Bahkan anak pertamaku tak sempat kau saksikan. Padahal, ada sejuta rencana yang ingin kuwujudkan bersamamu. Namun, rencana Tuhanlah yang terbaik.
Ibu, meski aku bukan putri biologismu, percayalah bahwa aku sangat mencintaimu. Di seluruh darahku ada teladan baik karyamu. Namamu akan terus kupintal dalam doa-doaku. Ya Allah, titip ibuku di surga-Mu, ya!  Sayang-sayangilah selalu. Robbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Al-Faatihah.
~ Anakmu ~
*Kupersembahkan catatan rindu ini untuk Ibu Suratni, yang biasa kupanggil Ibu Kasim. Wanita yang telah mengasuh, merawat, dan menyayangiku dengan segenap cinta. Matur nuwun, Bu.* Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H