Di sekitar Goreme, bekas rumah-rumah guanya banyak yang masih dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan hasil bumi, seperti kentang, lemon, anggur, berternak burung merpati, dan sebagai cave hotel. Yaitu, hotel yang bagian-bagian ruangannya ada di dalam gua. Jadi ingat film kartun zaman batu, The Flintstone. Generasi tahun tujuh puluhan pasti tahu film ini.
Rombongan kami sampai di sebuah tempat mirip kafe bertuliskan Salkim Tepesi. Sekumpulan ibu-ibu duduk bersama menikmati sajian kopi panas dalam gelas-gelas kecil. Ada Bu Abun, Bu Yunani, Bu Dewi, Bu Mien, Bu Yati, Winta, dan aku. Saling bersulang dengan cara menyatukan ujung gelas beling sehingga menimbulkan bunyi ting. Bersenda gurau ala ibu-ibu paruh baya nan gaul.
Aku merekam keseruan siang itu. Sayangnya, tidak ada pisang goreng teman minum kopi seperti kebiasaan di Indonesia. Namun, sajian lain berupa lukisan alam bebatuan sangat memuaskan pandangan. Hawa dingin tetap menusuk, meskipun kami duduk di taman dengan pancaran sinar matahari secara langsung.
Di bangku yang lain terlihat suamiku, Pak Syamsu, dan anak lelakinya. Aku merapat ke sana sekalian berjemur lalu berjalan-jalan di sekitar lokasi. Kulihat ada satu keluarga asing yang kesulitan untuk berswafoto. Aku tawarkan untuk membantu dan mereka mau. Dengan latar belakang bebatuan Cappadocia, kuminta keluarga muda dengan satu anak tersebut untuk lompat beberapa kali sampai mendapat gambar kaki melayang. Mereka puas. Misi selesai. Bahagia yang ada.
Struktur tanah di Cappadocia ternyata sangat bagus untuk bahan baku kerajinan keramik. Banyak perusahaan keramik di Cappadocia yang menghasilkan seni keramik yang indah. Kami sempat mengunjungi salah satunya, yaitu Hisaronu Ceramik Art Gallery. Di sini, para pengunjung disuguhi demo membuat keramik sederhana oleh seorang instruktur. Lalu, salah satu pengunjung ditawari untuk praktik.
Bu Yunani menggunakan kesempatan itu. Segenggam tanah liat diletakkan di atas papan kayu. Kaki menggerakkan putaran papan kayu dan tangan siap membentuk. Membuat keramik ternyata tak semudah yang dibayangkan. Bentuknya jadi aneh gitu. Hehe. Kemudian, kami dipersilahkan melihat-lihat atau membeli keramik mereka.
Wisata berlanjut ke Konak Jewellery, sebuah toko perhiasan. Cincin, kalung, gelang emas, berlian, dan aneka permata lainnya digelar di sana. Berhubung aku tidak terlalu minat, ya sekedar lihat-lihat saja. Tetapi aku salah. Mataku tertuju pada gelang emas dengan hiasan batuan berwarna biru. Tanganku sekilas saja menunjuk. Namun, pegawai toko langsung mengambil dan memakaikan di pergelangan tangan kananku. Wah, manis sekali.
"Ma, kalau nggak beli nggak usah dicoba. Nanti susah keluar dari toko, loh!" Suamiku mengingatkan kejadian saat di toko kulit tempo hari. Betul juga. Baiklah.
Perjalanan berlanjut menuju Cave Restaurant untuk makan siang. Gunung Erciyes berpuncak salju tampak di kejauhan seolah bergerak membersamai mobil wisata kami. Restoran bawah tanah ini tampak sepi dari luar, tidak terlalu megah, dan terlihat kusam. Namun, di dalamnya sudah ramai oleh pengunjung. Bahkan, sampai masuk ke lorong bagian dalam gua. Kebanyakan mereka berada dalam kelompok tur.