Seperti presentase rumah tangga yang menempati rumah berlantai tanah pada tahun 2015 mencapai 5,32 persen, mengalami menurunan setiap tahun hingga pada tahun 2017 tinggal 3,04 persen. Namun demikian, dari sisi akses sanitasi, rupanya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penggunaan plegsengan/cempung sebagai tempat buang air besar masih cukup tinggi. Begitu juga masih ditemukan rumah tangga memakai tempat pembuangan akhir tinja di sungai/kolam/tanah lapang atau lubang tanah.
Statistik perumahan DIY tahun 2017 mencatat lebih dari 95 persen rumah tangga telah menempati bangunan dengan luas perkapita lebih dari 7,2 m2. Bangunan tempat tinggal rumah tangga yang berlantai bukan tanahpun sudah mencapai 96,96 persen Hampir semua rumah tangga di lima kabupaten/kota,tepatnya 94,01 persen diantaranya bermukim di rumah berdinding tembok. Jenis genting atau beton telah dipilih oleh 94,01 persen rumah tangga sebagai atap rumah.
Sebaliknya, akses sanitasi belum optimal. Alhasil, 10,60 persen rumah tangga masih menggunakan akses sanitasi tidak layak. Lebih detil, masih ditemukan 7,65 persen pembuangan akhir tinja ke lubang tanah/sungai.Â
Jenis kloset cemplung/cubluk masih menjadi pilihan 2,53 persen rumah tangga di kota pelajar ini. Tak hanya itu,  pembangunan fasilitas tempat buang air besar rupanya sedikit terabaikan. Baru 80,55 persen rumah tangga yang memiliki atau memanfaatkan fasilitas buang air besar (BAB) sendiri. Celakanya, mereka yang berakses sanitasi tidak layak adalah rumah tangga kelas bawah. Tercatat 19,52 persen rumah tangga  dengan pengel 20 persen terendah belum menggunakan sanitasi kayak.Â
Hal ini dipicu oleh cara kebiasaan buang air besar belum mengikuti standar kesehatan. Ini terlihat masih terdapat 6,35 persen rumah tangga kelas ekonomi terbawah menggunakan jenis closet cemplung atau cubluk. Ditambah tempat pembuangan akhir tinja  masih di sungai/kolam atau lubang tanah masih cukup tinggi yakni 12,97 persen.. Kondisi berbeda jelas terlihat pada rumah tangga kelas atas.
Menurut derajat kesehatan, penggunaan sanitasi tidak layak ini akan memicu menularnya penyakit yg tercermar seperti kolera, desentri, tipes. Bakteri ecoli akan tumbuh subur dalam kondisi air tidak sehat. Padahal kebutuhan air sehat  dalam berbagai aktifitas bagi setiap orang minimal 60 l per hari.
Urgensi pembangunan sanitasi layak
 Keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah tangga kelas ekonomi terbawah  mendorong mereka tidak mampu membangun dan memfasilitasi tempat tinggal dengan sanitasi yang layak. Padahal sebagai rumah hunian yang sehat keberadaan sanitasi sangat penting.
Isu sanitasi layak saat ini telah menjadi keprihatinan secara global seperti yang tercermin dalam SDG's Goal ke 6 yaitu Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua. Keprihatian ini terjadi karena fasilitas sanitasi layak dapat menurunkan resiko terkena penyakit diare lebih dari 1/3. Tidak hanya itu, dewasa ini tantangan terbesar untuk negara-negara berkembang adalah masih tingginya angka kematian balita termasuk di Indonesia.Â
Salah satu penyebab kasus kematian balita adalah disebabkan oleh diare. Oleh karena itu perilaku hidup bersih, sehat dan penggunaan sanitasi yang layak seharusnya juga menjadi prioritas utama kebijikan peningkatan derajat kesehatan.
Bila dikaitkan dengan percepatan penurunan kemiskinan, program bedah rumah adalah kesempatan emas. Mampu menurunkan biaya perbaikan rumah sekaligus menekan biaya kesehatan dan memacu produktifitas. Yang menjadi perhatiaan  adalah seberapa jauh kucuran dana perbaikan ramah sudah bersentuhan langsung dengan kelompok mereka yang rentan terhadap kemiskinan dan masih menempati rumah tidak layak huni.Â