Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Angin Pagi dari Kebun Kopi Hutabaringin Julu

27 Juni 2023   09:19 Diperbarui: 27 Juni 2023   09:22 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan demikian, kita tidak bisa mengeneralisir Kopi Mandailing dalam satu kategori saja. Karena, perbedaan ketinggian tempat tumbuhnya, tentulah juga memengaruhi citarasanya. Sebagai perbandingan, Kopi Gayo di Aceh, ditanam di ketinggian 1.000-1.700 mdpl. Kopi Toraja ditanam di ketinggian 1.400-2.100 mdpl di Pegunungan Sesean, Toraja, Sulawesi Selatan.

Dalam hal citarasa, ada cerita menarik tentang Kopi Mandailing dari orang Jepang yang menjadi penikmat kopi. Perlu diketahui, orang Jepang suka minum kopi yang diproses secara dark roast. Maksudnya, biji kopi yang di-roasting sampai agak gosong.

Mereka menilai, Kopi Mandailing, meski diproses secara dark roast, rasa manisnya yang khas tetap bertahan. Agaknya, karena itulah Kopi Mandailing menjadi produk kopi yang paling banyak diminati di Jepang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor kopi Indonesia ke Jepang sepanjang tahun 2021, mencapai 27.290 ton, meningkat dari tahun 2020, sebanyak 23.471 ton.

Artinya, dengan penilaian yang demikian, peluang Kopi Mandailing untuk memasuki pasar Jepang, lebih terbuka dibandingkan dengan jenis kopi lain dari Indonesia. Dari penelusuran saya, peluang yang demikian belum direspon secara serius oleh Kabupaten Mandailing Natal serta pihak terkait lainnya. Padahal, itu adalah pasar internasional yang patut digarap.

Bersamaan dengan itu, pembinaan terhadap warga yang menjadi petani kopi, juga perlu ditingkatkan. Dari pencermatan Team Ekspedisi Inspirasi Kopi, semangat warga Kecamatan Puncak Sorik Marapi untuk menanam kopi, sudah bagus. Secara brand, Kopi Mandailing juga sudah terkenal dan mendunia. Hal itu mestinya didukung oleh pihak-pihak yang relevan, agar kopi yang dihasilkan benar-benar berkualitas dan terjaga kualitasnya.

Bandingkan, misalnya, dengan petani kopi di Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Di sana bahkan sudah ada Sekolah Kopi, yang diresmikan oleh Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus, pada Desember 2020.

Melalui Sekolah Kopi tersebut, para petani kopi setempat, bisa leluasa meningkatkan skill mereka, untuk menghasilkan kopi yang berkualitas. Ini tantangan bagi Kabupaten Mandailing Natal, dalam konteks meningkatkan perekonomian para petani kopi secara berkelanjutan.

Bukan hanya sebatas produksi kopi, tentunya. Karena, Kecamatan Puncak Sorik Marapi memiliki potensi wisata yang keren. Salah satunya, rumah-rumah warga di sana umumnya beratap ijuk dan sudah berusia puluhan tahun. Itu keunikan yang memiliki nilai wisata, yang bisa dikolaborasikan dengan kopi.

Kenapa atap ijuk? Karena, Kecamatan Puncak Sorik Marapi  berdekatan dengan kawah Gunung Sorik Marapi yang masih aktif. Abu vulkanik yang sewaktu-waktu disemburkan oleh gunung tersebut, akan menimpa atap rumah warga.

Nah, uap belerang dari gunung itu akan membuat atap rumah berkarat, jika menggunakan atap seng. Diperkirakan atap seng hanya mampu bertahan sekitar 5 tahun. Sedangkan atap ijuk, bisa hingga puluhan tahun.

Saat ini, ada sebagian warga yang menggunakan seng dan asbes sebagai atap rumah, karena tidak mudah untuk mendapatkan ijuk. Di Desa Sibanggor Julu, misalnya, dari 335 kepala keluarga, 40 persen di antaranya menggunakan seng dan asbes untuk atap rumah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun