Dengan demikian, kita tidak bisa mengeneralisir Kopi Mandailing dalam satu kategori saja. Karena, perbedaan ketinggian tempat tumbuhnya, tentulah juga memengaruhi citarasanya. Sebagai perbandingan, Kopi Gayo di Aceh, ditanam di ketinggian 1.000-1.700 mdpl. Kopi Toraja ditanam di ketinggian 1.400-2.100 mdpl di Pegunungan Sesean, Toraja, Sulawesi Selatan.
Dalam hal citarasa, ada cerita menarik tentang Kopi Mandailing dari orang Jepang yang menjadi penikmat kopi. Perlu diketahui, orang Jepang suka minum kopi yang diproses secara dark roast. Maksudnya, biji kopi yang di-roasting sampai agak gosong.
Mereka menilai, Kopi Mandailing, meski diproses secara dark roast, rasa manisnya yang khas tetap bertahan. Agaknya, karena itulah Kopi Mandailing menjadi produk kopi yang paling banyak diminati di Jepang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor kopi Indonesia ke Jepang sepanjang tahun 2021, mencapai 27.290 ton, meningkat dari tahun 2020, sebanyak 23.471 ton.
Artinya, dengan penilaian yang demikian, peluang Kopi Mandailing untuk memasuki pasar Jepang, lebih terbuka dibandingkan dengan jenis kopi lain dari Indonesia. Dari penelusuran saya, peluang yang demikian belum direspon secara serius oleh Kabupaten Mandailing Natal serta pihak terkait lainnya. Padahal, itu adalah pasar internasional yang patut digarap.
Bersamaan dengan itu, pembinaan terhadap warga yang menjadi petani kopi, juga perlu ditingkatkan. Dari pencermatan Team Ekspedisi Inspirasi Kopi, semangat warga Kecamatan Puncak Sorik Marapi untuk menanam kopi, sudah bagus. Secara brand, Kopi Mandailing juga sudah terkenal dan mendunia. Hal itu mestinya didukung oleh pihak-pihak yang relevan, agar kopi yang dihasilkan benar-benar berkualitas dan terjaga kualitasnya.
Bandingkan, misalnya, dengan petani kopi di Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Di sana bahkan sudah ada Sekolah Kopi, yang diresmikan oleh Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus, pada Desember 2020.
Melalui Sekolah Kopi tersebut, para petani kopi setempat, bisa leluasa meningkatkan skill mereka, untuk menghasilkan kopi yang berkualitas. Ini tantangan bagi Kabupaten Mandailing Natal, dalam konteks meningkatkan perekonomian para petani kopi secara berkelanjutan.
Bukan hanya sebatas produksi kopi, tentunya. Karena, Kecamatan Puncak Sorik Marapi memiliki potensi wisata yang keren. Salah satunya, rumah-rumah warga di sana umumnya beratap ijuk dan sudah berusia puluhan tahun. Itu keunikan yang memiliki nilai wisata, yang bisa dikolaborasikan dengan kopi.
Kenapa atap ijuk? Karena, Kecamatan Puncak Sorik Marapi  berdekatan dengan kawah Gunung Sorik Marapi yang masih aktif. Abu vulkanik yang sewaktu-waktu disemburkan oleh gunung tersebut, akan menimpa atap rumah warga.
Nah, uap belerang dari gunung itu akan membuat atap rumah berkarat, jika menggunakan atap seng. Diperkirakan atap seng hanya mampu bertahan sekitar 5 tahun. Sedangkan atap ijuk, bisa hingga puluhan tahun.
Saat ini, ada sebagian warga yang menggunakan seng dan asbes sebagai atap rumah, karena tidak mudah untuk mendapatkan ijuk. Di Desa Sibanggor Julu, misalnya, dari 335 kepala keluarga, 40 persen di antaranya menggunakan seng dan asbes untuk atap rumah mereka.