Tiba di Stasiun Kota Bogor, disambut hujan. Inilah hari-hari warga Kota Hujan tersebut. Bila sedang tak hujan, barangkali itulah keberuntungan. Dikitari Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Gunung Salak, tentulah Bogor tak mungkin mengelak dari kucuran hujan.
Hujan Tanpa Alasan
Bogor itu Kota Hujan. Di kota ini, hujan turun tanpa alasan. Jadi, kalau tiba di Stasiun Bogor dan disambut oleh hujan, tak usah menggerutu. Nikmati saja. Inilah kekhasan Kota Bogor.
Karena itu, tiap kali ke Bogor, siapkan payung. Siagakan mantel hujan. Boleh jadi, perangkat itu tak cukup untuk melindungi diri dari kucuran air hujan. Tapi, lumayanlah tidak berbasah-basah.
Berlari-lari di Stasiun Bogor, berusaha menghindar dari kejaran hujan, boleh-boleh saja. Tetap waspada ya, jangan sampai tergelincir. Jangan sampai terpeleset. Berlari tapi tetap siaga.
Tiap kali hujan turun, tiap kali itu pula penumpang kereta Commuterline menumpuk di peron stasiun. Tak apa. Nikmati saja. Hati-hati dengan saku. Waspadai tas. Jangan sampai kecopetan.
Kenapa tak perlu menggerutu? Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, hari ini hingga beberapa hari ke depan, hujan ya akan terus di Kota Bogor. Selalu siapkan payung. Siagakan mantel hujan.
Sebenarnya, sangat ada alasan, kenapa Bogor sering diguyur hujan. Secara geografis, Kota Bogor berada di ketinggian. Kisaran ketinggian kota ini, di rentang 190 meter hingga 330 meter di atas permukaan laut. Curah hujannya per tahun rata-rata sekitar 3.500-4.000 milimeter. Curah hujan terbesar, terjadi pada bulan Desember dan Januari.
Sebagai perbandingan, BMKG mencatat rata-rata wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan sebesar 2.000 mm. BMKG juga mencatat, musim kemarau di Bogor sangat singkat, dari Juli hingga September. Agaknya, karena curah hujan yang lebih besar dibanding daerah lain dan musim kemarau yang singkat, makanya Bogor dijuluki sebagai Kota Hujan.
Saya yang melewati masa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Bogor, merasa hujan sebagai hal biasa di kota ini. Di tahun 70-an, di masa SD dan SMP itu, tiap pagi berangkat ke sekolah ya pasti hujan. Tak ada alasan telat masuk sekolah karena hujan. Lha, hujan sudah menjadi keseharian.
Selain hujan, Bogor yang indah ini, juga kerap disapu oleh sambaran petir. Dalam satu hari, kalau telaten menghitungnya, Bogor mengalami sambaran petir sampai mencapai 322 kali. Itu jika sang petir sedang getol-getolnya menyambar. Dalam kondisi normal, rata-rata sambaran petir di Bogor sekitar 80 kali per hari. Rekor tersebut, bahkan tercatat di dalam Guinness Book of World Record.
Kota Tanpa Risau
Di masa penjajahan Belanda, Bogor tentulah sangat indah dan sangat sejuk. Saking kagumnya, orang Belanda menyebut wilayah ini sebagai Buitenzorg, yang secara harfiah kira-kira berarti Kota Tanpa Rasa Risau. Kini, keindahan Bogor masih tetap ada, namun tak bisa lagi dibilang tanpa risau.
Salah satu kerisauan tersebut adalah semakin tergerusnya lahan pertanian oleh apa yang disebut pembangunan. Sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat, luas Kabupaten Bogor sekitar 2.986 kilometer per segi, dengan penduduk 5.427.068 jiwa, menurut Sensus Penduduk Tahun 2020. Sementara, luas Kota Bogor sekitar 118 kilometer, dengan jumlah penduduk 1.099.422 jiwa pada pertengahan tahun 2022.
Dengan pertumbuhan penduduk yang demikian, tentulah lahan pertanian akan terus tergerus. Pada tahun 2008, luas lahan pertanian tercatat 750 hektar. Ketika tahun 2011 dilakukan pendataan ulang, luas lahan pertanian yang tersisa sekitar 650 hektar. Selanjutnya, tahun 2015, lahan pertanian yang tersisa hanya 320 hektar saja.
Karena gempuran pembangunan yang dahsyat, dalam konteks Bogor sebagai penyangga Jakarta, tentu semakin tidak mudah untuk menjaga keberadaan lahan pertanian yang tersisa tersebut. Pada Rabu, 31 Maret 2021 lalu, news.republika.co.id melansir, Â Kabupaten Bogor telah memiliki peraturan daerah (Perda) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Tergerusnya lahan pertanian, boleh dibilang terjadi di berbagai wilayah tanah air. Ada berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah setempat. Di DKI Jakarta, misalnya, tanah atau lahan yang dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan, dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Setidaknya, ada 414 hektar area persawahan di DKI Jakarta yang masih tersisa, tersebar di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Di Denpasar, Bali, pemerintah daerah setempat menetapkan 900 hektar lahan pertanian sebagai sawah abadi atau yang diistilahkan dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang tersebar di empat kecamatan di wilayah Denpasar.
Bagaimanapun juga, lahan pertanian di suatu wilayah, tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan setempat. Meski, hasil pertanian wilayah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya. Kebutuhan beras di Kota Bogor, misalnya, sekitar 110.000 ton, sementara sawah di Kota Bogor hanya mampu menghasilkan 4.500 ton.
Jakarta, 7 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H