Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat,
tanpa menggeser acara buat syahwat,
ketika datang rasa lapar atau haus.
Berlatih untuk Lebih Peduli
Itu petikan sajak Selamat Tahun Baru Kawan, karya KH. Ahmad Mustofa Bisri, yang dikenal publik sebagai Gus Mus. Pemuka agama ini merupakan alumnus dan penerima beasiswa dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir, di rentang tahun 1964-1970. Ia memilih studi Islam dan bahasa Arab.
Bagi saya, narasi sajak dalam petikan di atas, sangat lugas. Sajak itu benar-benar menggedor nurani, mempertanyakan hal yang substansi dari puasa Ramadan yang kini tengah dijalani umat Islam di seluruh dunia. Barangkali, mungkin banyak di antara mereka yang berpuasa, yang hanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat.
Padahal, menurut hemat saya, berpuasa adalah mengendalikan diri. Seluruh diri luar-dalam. Bukan hanya mengendalikan diri secara fisik, tapi sekaligus mengendalikan diri secara batin. Dengan demikian, berpuasa sesungguhnya menegaskan kembali bahwa manusia adalah hamba ciptaan-Nya.
Ketika berpuasa, mereka yang berkelebihan, bisa merasakan, betapa lemahnya diri ini tanpa makan dan minum. Hal yang mungkin tak pernah mereka rasakan, di luar bulan Ramadan. Dalam realitasnya, sangat banyak orang, yang tak cukup makan serta tak cukup minum dalam kehidupan keseharian.
Dengan demikian, Ramadan adalah momentum bagi mereka yang berkelebihan, untuk melatih diri serta mengasah nurani, agar menjadi sosok manusia yang lebih peduli kepada sesama. Mudah tersentuh pada kesulitan orang lain, ringan tangan pula untuk berbagi. Â Â Â Â
Dalam konteks petikan sajak Selamat Tahun Baru Kawan, karya Gus Mus di atas, kita bisa bertanya kepada diri sendiri: sudah seberapa peduli kita pada orang lain? Pada Kamis, 21 Juli 2022 lalu, ada kabar yang mengembirakan. Kabar itu diungkapkan Putu Yani Pratiwi, Research and Management Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Ia dengan lembaga UMN Consulting, melakukan penelitian terhadap remaja berusia 15-24 tahun dari seluruh Indonesia. Salah satu temuannya, gen Z justru merupakan generasi yang paling banyak memiliki karakter benevolence.
Maksudnya? "Suka menolong sesama dan jujur, serta memaafkan sesama. Tidak etnosentris dan peduli dengan orang lain," ujar Putu Yani Pratiwi pada webinar Adopsi Gaya Hidup Zero Waste pada Gen Z yang digelar, pada Kamis tersebut. Kita tahu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah Generasi Z di Indonesia, mencapai 75,49 juta jiwa.
Tak Sekadar Mengubah Jadwal
Bila dikorelasikan, apa yang diingatkan Gus Mus melalui sajak Selamat Tahun Baru Kawan di atas, dengan temuan penelitian UMN Consulting tersebut, tentu tumbuh harapan, bahwa level kepedulian kepada sesama di negeri ini semakin meningkat. Seharusnya demikian, karena ada 75,49 juta jiwa Generasi Z di Indonesia.
Selain itu, dengan datangnya bulan Ramadan, kita tentu juga berharap agar kepedulian kepada sesama, juga menjadi darah-daging anak-anak bangsa. Saya pada suatu masa, ketika menjadi jurnalis di Majalah GADIS Jakarta, cukup lama menjadi Guru Sabtu di SMA Santa Ursula, Jalan Pos No. 2, Jakarta Pusat.
Saya mengajar Jurnalistik tiap hari Sabtu di sekolah tersebut, sebagai kegiatan ekstra kurikuler mereka. Murid-murid saya bercerita, jika dalam satu kelas ada 30 murid dan ada 5 murid yang tertinggal, maka 25 murid yang maju, harus berupaya membantu ke-5 murid tersebut dari ketertinggalan mereka.
Bagi saya, sikap yang demikian, merupakan salah satu contoh kepedulian kepada sesama, yang mestinya terus dikembangkan. Mereka yang maju, peduli kepada mereka yang tertinggal. Mereka yang berkelebihan, peduli kepada mereka yang kekurangan. Mudah-mudahan 75,49 juta jiwa Generasi Z di Indonesia tersebut, menjadi penebar kepedulian, dengan berbagai bentuk perwujudannya.
Ada yang menyebut, untuk peduli, mulailah dari diri sendiri. Gus Mus pernah menulis sajak Nasihat Ramadhan (Buat Mustofa Bisri). Sajak itu ditulis Gus Mus untuk menasihati dirinya sendiri. Sajak yang unik dan menarik. Ini petikannya:
Mustofa,
Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan
Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi
atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang
menggerakkan lidahmu begitu.
Jakarta, 4 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H