H.M. Rafani Achyar, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat. Foto: Didik Wiratno
Silih asih, silih asah, dan silih asuh. Itulah salah satu filosofi hidup orang Sunda, yang menjadi perekat keseharian warga Jawa Barat. Itu pula yang menjadi benteng pertahanan mereka, agar tidak terpapar perilaku intoleransi serta paham radikalisme. Tapi, kenapa indeks toleransi di Jawa Barat disebut rendah?
Sinergi Agama dan Local Wisdom
Orang Sunda adalah sebutan untuk mereka yang berasal dari Provinsi Jawa Barat. Di berbagai kesempatan, wilayah Jawa Barat, juga dikenal dengan sebutan Bumi Parahyangan. Sebutan itu berasal dari bahasa Belanda Preanger. Kita tahu, Parahyangan merupakan wilayah pegunungan di Jawa Barat, yang menyajikan sangat beragam keindahan alam.
Pada tahun 1956, budayawan Ajip Rosidi menuliskan sajak Tanah Sunda. Melalui karya sastra tersebut, ia menggambarkan keindahan Jawa Barat serta perilaku orang Sunda yang mendiami Bumi Parahyangan. Ini petikannya: Â Â
Kemana pun berjalan, terpandang
daerah ramah di sana
Kemana pun ngembara, kujumpa
manusia hati terbuka
mesra menerima.
Berpuluh tahun kemudian, tepatnya pada Senin, 4 Juli 2022, perilaku orang Sunda kini, diungkapkan Rafani Achyar dengan jernih. "Jawa Barat itu sangat luas dan sangat padat penduduknya. Secara sosial, sangat heterogen. Warga dari berbagai suku dan agama di tanah air, leluasa bermukim di Jawa Barat," ungkap H.M. Rafani Achyar, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat.
Dengan kata lain, manusia hati terbuka dan mesra menerima, sebagaimana digambarkan budayawan Ajip Rosidi, masih terasa hingga kini. Agaknya, memang demikianlah realitas yang sesungguhnya. Bahkan, sebagaimana dituturkan Rafani Achyar, "Meski FKUB didirikan oleh tokoh agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, tapi kami juga merangkul tokoh Sunda Wiwitan sebagai bagian dari FKUB." Â Â
Sejumlah literatur mencatat, Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Sunda. Kepercayaan itu telah ada sebelum datang ajaran Hindu, Buddha, dan Islam ke Jawa Barat. Hingga kini, pengikut Sunda Wiwitan bermukim di wilayah Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok Sukabumi, Kampung Naga Tasikmalaya, Cigugur Kuningan, Desa Adat Cireundeu Cimahi, dan Kabupaten Bogor.
"Kami di Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Barat, senantiasa merawat kearifan lokal, yang kerap disebut sebagai local wisdom," ungkap Rafani Achyar. Kongkritnya, ia menjelaskan, "Kearifan lokal silih asih, silih asah, dan silih asuh misalnya, diterima serta dipahami oleh semua penganut agama dan kepercayaan di Jawa Barat, sebagai perekat sesama."
Dari berbagai diskusi dan interaksi dengan para penganut agama dan kepercayaan di Jawa Barat, Rafani Achyar menyebut, warga meyakini bahwa local wisdom tersebut, menjadi salah satu benteng pertahanan warga, agar tidak terpapar perilaku intoleransi serta paham radikalisme.
Indeks Kerukunan Umat Beragama
Jawa Barat yang dihuni manusia hati terbuka dan mesra menerima serta di sana bermukim warga dengan beragam suku, agama, dan kepercayaan yang meyakini local wisdom sebagai perekat, tentulah hal yang menggembirakan. Dalam konteks membentengi perilaku intoleransi serta paham radikalisme, semua itu sangatlah penting.
Meski demikian, hal tersebut diusik oleh sejumlah survey beberapa waktu lalu, yang menyebut bahwa toleransi umat beragama di Jawa Barat, rendah. Ada survey yang mencatat, indeks kerukunan umat beragama di Jawa Barat, menempati posisi tiga terendah secara nasional. "Kami di Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Barat, menyikapi sejumlah survey tersebut, dengan pikiran terbuka," ujar Rafani Achyar.
Rafani Achyar kemudian menjelaskan, atas nama lembaga, FKUB mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, agar mengadakan survey independent. Tujuannya, untuk mendapatkan second opinion, sebagai pembanding survey terdahulu tersebut. "Karena itu hasil survey, maka kami menanggapinya, juga dengan hasil survey," tukas Rafani Achyar.
Dari hasil survey Balai Litbang Agama Kementerian Agama (Balitbang Kemenag) tahun 2021, Rafani Achyar menyebut, indeks kerukunan umat beragama di Jawa Barat menempati posisi ke-20 secara nasional. Bukan tiga terendah. "Kami di FKUB menyimpulkan, sejumlah survey tersebut, adalah hasil survey yang di-framing oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu," ungkap Rafani Achyar selaku Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat.
Meski demikian, hasil survey yang dinilai di-framing oleh pihak-pihak tertentu tersebut, tetap dijadikan motivasi oleh FKUB Jawa Barat untuk meningkatkan indeks kerukunan umat beragama. Pada Selasa, 1 Maret 2022 lalu misalnya, FKUB Jawa Barat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Karawang.
Kunjungan kerja tersebut, disebut Rafani Achyar sebagai bagian dari upaya FKUB Jawa Barat untuk menyerap aspirasi dari berbagai wilayah, yang kemudian antar wilayah saling bertukar informasi. Karena, perilaku intoleransi serta penyebaran paham radikalisme, cenderung berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Yang jelas, tutur Rafani Achyar, masyarakat Jawa Barat rukun-rukun saja, tidak pernah ada konflik yang besar-besar seperti di tempat lain. Secara lebih detail, Rafani Achyar menjelaskan, sejumlah peristiwa intoleransi dan radikalisme yang terjadi di wilayah Jawa Barat, setelah disusuri, adalah tindakan pihak-pihak dari luar Jawa Barat, yang menjadikan wilayah ini sebagai tempat melakukan aksi mereka.
Hal itu adalah konsekuensi, karena secara geografis, sebagian wilayah Jawa Barat bersebelahan dengan wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah pusat pemerintahan nasional. Dan, aksi-aksi intoleransi serta radikalisme pada umumnya ditujukan kepada pusat pemerintahan. Dengan demikian, aksi tersebut dengan cepat menjadi isu nasional, sebagaimana diharapkan para pelaku aksi.
Polda Jabar Intens Rawat Kerukunan
Indeks kerukunan umat beragama di Jawa Barat, bukan hanya menjadi perhatian Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat. Irjen Pol Suntana sejak dilantik sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat pada 31 Oktober 2021, memberikan perhatian penuh terhadap hal tersebut.
Polda Jawa Barat, antara lain, melakukan Lomba Da'i Kamtibmas Jajaran Polda Jabar secara teratur. "Kegiatan ini menjadi sarana yang sangat penting, guna mencegah serta menangkal perilaku intoleransi serta penyebaran paham radikalisme," ucap Irjen Pol Suntana, yang sebelumnya adalah Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri (Wakabintelkam).
Irjen Pol Suntana menyadari, perlu adanya personel Polri dari jajaran  Polda Jabar yang berperan selaku Da'i, sebagai pengemban strategi Pemolisian Masyarakat (Polmas). Dengan demikian, ketika personel Polri tersebut melakukan sambang serta penyuluhan, mereka akan lebih leluasa dan lebih intens mengomunikasikan pesan-pesan untuk mencegah radikalisme, terorisme, dan intoleransi.
Dalam skala yang lebih luas, Irjen Pol Suntana selaku Kapolda Jabar, secara sungguh-sungguh menggalang Kemitraan Ormas dan Polri untuk menjaga serta memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). "Dalam menindak kejahatan, Polisi tidak dapat bekerja sendiri. Polisi perlu bantuan dari berbagai pihak, antara lain dari Organisasi Masyarakat (Ormas)," lanjut Kapolda Jabar tersebut.
Karena itu, Irjen Pol Suntana senantiasa mengingatkan, agar Ormas dan para anggotanya tidak mudah terhasut untuk bergabung dengan kelompok-kelompok radikalisme. Dalam konteks Kemitraan Ormas dan Polri, Irjen Pol Suntana berharap kemitraan yang telah terjalin baik selama ini, perlu terus ditingkatkan, demi menjaga serta memelihara Kamtibmas.
Rafani Achyar, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat, menilai, Kemitraan Ormas dan Polri adalah suatu keharusan. Karena, dengan 27 kabupaten-kota, dengan luas 35.377,76 kilometer persegi, serta penduduk sekitar 50 juta jiwa, kolaborasi Ormas dan Polri sangat dibutuhkan untuk menjaga Kamtibmas Jawa Barat.
Bandung, 6 Juli 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI