Suherman inilah yang dibutuhkan Indonesia. Usianya 42 tahun, 22 tahun ia manfaatkan untuk bertani. Kini masih terus bertani. Ia juga membina 100 petani, dengan total lahan seluas 20 hektar. Tiap hari ia memasok 2 mobil pickup aneka sayuran ke pasar, hingga tiap petani binaannya berpenghasilan lebih dari 5 juta rupiah per bulan.
Bersih Kulit, Jernih Hati
Kulit Suherman bersih, meski kerap terbakar matahari. Sorot matanya bening. Rambutnya hitam terawat. "Saya bertani dengan hati, menjaga diri agar tak punya musuh, karena itu jiwa saya sangat lapang mengolah sawah ladang," ujar Suherman, pada Sabtu, 18 Desember 2021 ini.
Dengan senyum dan penuh tawa, ia bercerita bahwa suasana hati perlu dijaga, agar tanaman yang ditanam bisa tumbuh subur dan sehat. "Tanaman dan petani itu memiliki ikatan batin. Kalau hati kita kusut, apa pun yang kita tanam, tak kan tumbuh subur," lanjut Suherman.
Ia yakin betul dengan ikatan batin tersebut. Karena, petani dan tanaman sama-sama makhluk ciptaan-Nya, sama-sama melalui proses untuk hidup. Artinya, jika petani merawat tanamannya dengan hati, maka tanaman tersebut akan tumbuh dengan subur-segar sepanjang hari.
Keyakinan itulah yang membuat Suherman terus bersemangat menjadi petani, bahkan sudah 22 tahun hingga kini. Ia menjadi tambah yakin, setelah menulari para petani binaannya dengan keyakinan yang sama, dan hasilnya sangat memuaskan.
Rata-rata tiap petani binaan Suherman berpenghasilan lebih dari 5 juta rupiah per bulan. Yang mereka tanam, aneka sayuran, seperti kangkung, sawi, dan bayam. Itu untuk panen harian. Untuk panen mingguan, daun singkong dan daun pepaya. Untuk panen bulanan, timun, terong, dan pare.
Untuk tanaman musiman, mereka menanam bawang dan cabe. Periode tanamnya disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar. Dengan demikian, 100 petani binaan Suherman, bertani secara terencana sekaligus strategis menyikapi kondisi pasar.
Dari 100 petani binaan tersebut, sebagian bertani di lahan milik pribadi masing-masing, sebagian lagi di lahan yang mereka sewa. Suherman menuturkan, untuk mulai bertani sayuran di lahan sewa, modal yang dibutuhkan sekitar 10 juta rupiah per hektar.
Modal tersebut sudah termasuk biaya operasional untuk menanam sayuran, mulai dari membeli bibit, pupuk kandang, dan biaya buruh tani. Artinya, modal itu sudah bergulir sebagai modal kerja, dalam konteks petani sayur-mayur.
"Jika bertaninya dengan hati, ya sudah bisalah dapat penghasilan 5 juta rupiah per bulan, sebagai petani sayur," ungkap Suherman dengan penuh senyum.
Sayur SD, Melon Sarjana
Lokasi bertani Suherman, sekitar 40 kilometer dari Istana Negara, Jakarta Pusat. Persisnya di Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Jika dengan mobil dari Istana Negara, ya sekitar 1 jam 30 menit perjalanan.
Bertani, bagi Suherman, adalah proses edukasi, proses pembelajaran hidup. Nah, Suherman mengorelasikan bertani sayur setara dengan tingkatan Sekolah Dasar (SD). Maksudnya, petani pemula, sebaiknya mulai dengan menanam sayuran daun, seperti kangkung, bayam, dan sawi.
Setelah lulus menanam sayur daun, boleh deh naik ke jenjang setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) ala Suherman, yaitu menanam sayuran buah seperti timun, pare, dan terong. Selanjutnya, jika sudah lulus menanam sayuran buah, bisa naik ke jenjang berikutnya, dengan menanam bawang dan atau cabe.
Itu disebut Suherman sebagai jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika ingin lanjut ke tingkat Sarjana ala Suherman alias Perguruan Tinggi, petani yang bersangkutan bisa menanam buah eksotis, seperti melon. Secara durasi waktu, proses dari SD hingga Sarjana ala Suherman, bisa ditempuh selama 1 tahun.
Analogi SD-Sarjana tersebut, tentulah gambaran menarik dari Suherman tentang proses pembelajaran seorang petani. "Saya bisa memetakan demikian, karena saya terus belajar. Bertani itu sesungguhnya ya belajar. Bukan hanya tentang tanaman, tapi juga tentang tanah, cuaca, dan fluktuasi harga di pasar," papar Suherman, yang sekaligus menunjukkan rekam jejaknya yang intens sebagai petani.
Semangat untuk bertani, sekaligus semangat untuk senantiasa belajar, itulah yang ditularkan Suherman kepada para petani binaannya. "Kami saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, sebagai proses belajar. Ini menjadi perekat silaturahmi sesama petani," lanjut Suherman.
Memilih Cash to Cash
Secara penjualan produk sayuran, Suherman memilih menjual ke bandar sayur di berbagai pasar di Tangerang dan Jakarta. Ini pilihan strategis yang ditempuh Suherman, dengan mempertimbangkan situasi kondisi para petani binaannya.
"Petani binaan saya lebih memilih mendapatkan uang cash tiap hari. Sayur dipanen, diantar ke pasar atau dijemput oleh bandar sayur, saat itu juga pembayaran langsung diterima," kata Suherman tentang alasannya memilih menjual ke bandar sayur.
Memang, secara harga jual, relatif agak miring dibandingkan dengan dijual ke pasar modern. "Tapi, sistem pembayaran dari pasar modern, umumnya tidak langsung cash. Sementara, para petani binaan saya, butuh dana cash untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk biaya operasi pertanian," ujar Suherman.
Hal positif dari pilihan menjual produk pertanian ke bandar sayur, meminimalkan petani binaan tersangkut urusan pinjam-meminjam uang. Suherman menuturkan, di lingkungan pertanian mereka, tidak ada rentenir dan tidak ada tengkulak.
Dengan menerima pembayaran secara cash to cash tiap hari, para petani binaan praktis tiap hari pegang dana, pegang uang. Dalam konteks ini, Suherman telah berhasil membentengi para petani di sana dari jeratan tengkulak dan rentenir.
Kita tahu, bukan rahasia lagi, sebagian besar petani di berbagai pelosok tanah air, terjerat oleh rentenir dan tengkulak. Ini merupakan problem sosial ekonomi yang dari tahun ke tahun belum teratasi. Nah, Suherman telah menemukan serta telah mengimplementasikan solusinya.
Karena semua itulah, saya menyebut Suherman sebagai sosok yang dibutuhkan Indonesia.
Jakarta, 19 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H