Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers Proklamasi vs Hoaks Reformasi

15 Agustus 2021   10:28 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredibilitas media di masa Proklamasi Kemerdekaan. Bagaimana dengan hoaks? Foto: isson khairul

Sebegitu pesimis kah? Berbeda dengan Atmaji Sumarkidjo, Bambang Harymurti menilai, kondisi pers kini adalah tahap proses untuk sampai pada satu titik akan kembali ke level kredibilitas, yang mungkin lebih tinggi nilainya dibanding Pers masa Proklamasi.

Pesimisme Atmaji Sumarkidjo dan optimisme Bambang Harymurti adalah realitas terbelahnya mantan pelaku pers menyikapi situasi kondisi pers kini. Keterbelahan sikap tersebut juga terjadi di tengah masyarakat sebagai pihak yang akan menjadi konsumen media. Artinya, kompetisi antar media menjadi semakin sengit untuk merebut pembaca-pemirsa-pendengar demi kelangsungan hidup perusahaan media yang bersangkutan.

Nah, dalam konteks ini, model bisnis media tentulah harus berubah. Bukan hanya berubah bagian demi bagian, tapi pers benar-benar harus me-reformasi diri secara total, agar available serta menjawab kebutuhan publik era digital. Publik penghuni bumi yang sudah borderless. Hidup tanpa sekat.

The New York Times dan Harian Kompas

Dari sejumlah publikasi, saya membaca, sejauh ini surat kabar The New York Times (TNYT) yang sudah melakukan reformasi model bisnisnya, sejak jauh-jauh hari. Di awal reformasi model bisnisnya, para jurnalis media terkemuka dunia tersebut kelabakan. Kenapa? Karena, tiap jurnalis bukan hanya meliput, menulis, dan memosting, tapi juga wajib men-share tulisan mereka dengan akun media sosial masing-masing.

Hasilnya? Beberapa waktu setelah me-reformasi model bisnisnya, pendapatan iklan edisi digital TNYT terus menanjak secara bertahap, hingga melebihi pendapatan iklan TNYT versi cetak. Beberapa hari lalu, Harian Kompas bahkan mengulas hal tersebut dalam Tajuk Rencana edisi Sabtu, 7 Agustus 2021, halaman 6.

Di situ dituliskan, dalam rentang Januari 2020-Juni 2021, pelanggan produk digital The New York Times, bertambah 2,738 juta pelanggan. Surat kabar asal New York, Amerika Serikat, tersebut membukukan pendapatan Rp 12,6 triliun sepanjang semester pertama 2021. Sementara itu, edisi cetaknya masih tetap terbit. Kisah sukses surat kabar ini mengubah model bisnisnya, layak dijadikan inspirasi oleh media lain.

Oh, ya, koran ini diterbitkan pertama kali pada 18 September 1851 oleh Henry Jarvis Raymond, seorang jurnalis dan politikus, bersama George Jones, seorang bankir. Saat itu namanya New-York Daily Times. Nama The New York Times mulai digunakan sejak tahun 1857 untuk edisi Senin-Sabtu dan edisi Minggu-nya mulai terbit sejak 21 April 1861.

Tentu, bukan suatu kebetulan, Harian Kompas sampai mengulas, bahkan menempatkannya di laman Tajuk Rencana. Menurut saya, ini bagian dari upaya Kompas untuk memotivasi team kerjanya secara internal, sekaligus untuk memotivasi pelaku industri pers secara nasional. Maksudnya, tentu saja dalam konteks me-reformasi model bisnis.

Harian Kompas sendiri sudah beberapa tahun belakangan mengembangkan versi digitalnya lewat kompas.id, dengan sistem berlangganan berbayar, seperti yang sudah dilakukan TNYT sebelumnya. Jumlah halaman di kompas.id, lebih banyak bila dibandingkan dengan Harian Kompas yang terbit pada hari yang sama.

Saya belum punya data, berapa jumlah pelanggan Harian Kompas dan pelanggan versi digital kompas.id. Demikian pula dengan pendapatan iklannya. Menurut saya, reformasi model bisnis media yang sudah dieksekusi Harian Kompas, tentulah sudah menuju ke arah untuk menjawab kebutuhan publik era digital. Publik penghuni bumi yang sudah borderless. Hidup tanpa sekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun