Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik di Seliweran Tongkang Batubara, Sungai Musi

12 Mei 2021   07:01 Diperbarui: 12 Mei 2021   07:15 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalah arti mudik bagi seorang Angga. Remaja 15 tahun itu, duduk sendiri di tangga, yang terbuat dari potongan dahan kayu. Beberapa meter di depannya, mengalir Sungai Musi, yang menurut Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatera Selatan, kedalamannya berkisar antara 10-12 meter. Kedalaman hidup seperti apa yang bisa kita selami dari Angga?

Angga Memandang Tongkang

Lebar Sungai Musi antara 250-504 meter, dengan panjang aliran sungai mencapai 750 kilometer. Di sungai besar yang melintasi Kota Palembang itu, saban hari berseliweran sejumlah tongkang dengan muatan batubara. Muatan tongkang tersebut penuh membubung, membentuk gunungan. Penuh, sangat penuh.

Sebuah tongkang bisa memuat  8 ribu ton batubara untuk sekali jalan. Bisa juga lebih. Tiap hari, ada banyak tongkang yang melintasi Sungai Musi. Ada puluhan, bahkan ratusan ton batubara yang diangkut tiap hari. Nilainya tentulah miliaran rupiah. Remaja 15 tahun bernama Angga itu, hanya bisa memandangi saja.

Sorotan matanya, seakan mewakili ratusan pasang mata warga yang mendiami Selat Punai, yang dilintasi oleh puluhan tongkang batubara tersebut. Kini, Lebaran tinggal hitungan jam. Apalah arti mudik bagi seorang Angga? Ibunya sudah wafat beberapa tahun lalu. Ayahnya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali.

Aiptu Jumani, Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, menerima pengaduan warga Selat Punai. Foto: erwin hadi
Aiptu Jumani, Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, menerima pengaduan warga Selat Punai. Foto: erwin hadi
Dua kakaknya dan dua adiknya kadang pulang, kadang tidak. Sejak kematian sang ibu dan ditinggalkan sang ayah, mereka hidup keleleran di Selat Punai. Numpang tinggal dan numpang makan di penduduk setempat. Padahal, kondisi kehidupan warga sekitarnya, juga serba kekurangan. Sekitar 300 penduduk di Desa Selat Punai, mengandalkan kerja serabutan. 

Desa tersebut merupakan desa yang nyaris terisolir, tergolong desa tertinggal. Senin (10/05/2021) siang lalu, saya berjumpa dengan Angga, secara tak sengaja. Dengan perahu mesin yang disebut ketek, Senin itu saya dengan empat rekan melayari Sungai Musi dari dermaga PT Laut menuju Selat Punai.

Ada Didik Wiratno dan Erwin Hadi dari Reportase News, Budi Tanjung dari CNN Indonesia TV, dan Mada Mahfud dari Ring Satu. Selain kami berlima, ada juga AKP Kusyanto, Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, Aiptu Jumani, Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, dan Mazmur, Ketua RW 06 Selat Punai.

AKP Kusyanto, Aiptu Jumani, dan Mazmur memang mengagendakan kami berkunjung ke Selat Punai. Tujuannya, antara lain, untuk menyaksikan gerakan pencegahan penyebaran Covid-19 di sana. Kami berlima, sejak September 2020, menjadi relawan media di Rumah Sakit Darurat Covid (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.

AKP Kusyanto, selaku Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, terus berupaya mencarikan solusi untuk warga Selat Punai. Foto: erwin hadi
AKP Kusyanto, selaku Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, terus berupaya mencarikan solusi untuk warga Selat Punai. Foto: erwin hadi

Ironi dari Tepian Sungai Musi

Mencermati kehidupan keseharian warga Selat Punai, membandingkannya dengan seliweran tongkang batubara, sungguh suatu ironi. Ada yang bergelimang miliaran rupiah. Ada yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja, tak sanggup. Secara fisik, jarak antara yang berkelebihan dengan yang serba kekurangan itu, hanya dalam hitungan meter. Masih dalam batas pandang.

Angga hanyalah salah satu potret dari Desa Selat Punai, desa tertinggal di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Warga desa itu sesungguhnya tiada henti berjuang untuk memperbaiki taraf kehidupan. Namun, mereka dikepung oleh beragam persoalan, yang untuk mengatasinya mereka tak cukup punya daya.

Mazmur, Ketua RW 06 Selat Punai, bercerita, Sungai Musi sudah tercemar. Sampah, limbah pabrik, serta hilir-mudiknya tongkang batubara, membuat sungai itu tidak lagi menjadi habitat yang kondusif bagi ikan-ikan untuk berkembang biak. Artinya, mengandalkan hidup sebagai nelayan ikan tangkap di perairan Sungai Musi, tidak lagi kondusif.

Untuk membuat keramba sebagai usaha perikanan budidaya, perairan Sungai Musi di sekitar Selat Punai, sudah tidak layak. Airnya kotor dan tercemar. Demikian pula dengan usaha pertanian padi di areal persawahan di sana. Penduduk setempat hanya bisa bergantung pada sistem sawah tadah hujan. Untuk menyedot air dari Sungai Musi demi mengairi persawahan, juga bukan hal mudah.

Isson Khairul bersama Angga, yang menjadi salah satu potret kemiskinan serta realitas ketimpangan sosial di Selat Punai, Palembang. Foto: erwin hadi
Isson Khairul bersama Angga, yang menjadi salah satu potret kemiskinan serta realitas ketimpangan sosial di Selat Punai, Palembang. Foto: erwin hadi
Secara teknis, mereka tidak memiliki mesin sedot air. Kalaupun air sungai disedot kemudian dialirkan ke persawahan, kualitas air sungai tersebut tidak cukup layak untuk pertanian padi. Selain air sudah tercemar, kondisi air sungai itu pun sudah bercampur dengan air laut. Mungkin dibutuhkan teknologi agar air sungai itu siap pakai, namun itu baru sebatas impian.

Berbagai kondisi di atas, membuat warga Selat Punai selama bertahun-tahun terpuruk menjadi warga miskin, menjadi desa tertinggal, sekaligus tergolong warga terisolir. Padahal, jarak tempuh dengan perahu mesin yang disebut getek, dari dermaga PT Laut menuju Selat Punai, hanya sekitar 30 menit pelayaran.

Realitas itulah yang terus diupayakan untuk diatasi oleh AKP Kusyanto, selaku Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, oleh Aiptu Jumani, selaku Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, dan oleh Mazmur, selaku Ketua RW 06 Selat Punai. Mereka tanpa henti berupaya mencarikan solusi, demi meningkatkan taraf hidup penduduk Selat Punai.

Karena, kemiskinan dan rendahnya taraf hidup, otomatis menciptakan gangguan Kamtibmas. Itu akan berdampak secara luas. Karena itulah, AKP Kusyanto dan Aiptu Jumani terus berupaya mencarikan solusi bagi warga Selat Punai, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, Sumatera Selatan.

Jakarta 12-05-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun