Sudah setahun lebih, ia menanti berakhirnya pandemi Covid-19. Sudah empat tahun lebih, ia menjadi ibu sekaligus menjadi ayah untuk kedua anaknya yang masih berusia 5 dan 7 tahun.
"Aku tidak bangga dengan diriku. Aku berjuang demi hari depan kedua anakku. Aku ingin hidup mereka lebih baik dari yang kujalani ini," tuturnya di bawah terik matahari Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Perempuan 40 tahun ini, melanjutkan usaha tambal ban, setelah suaminya wafat 4 tahun lalu. Lokasi tambal bannya di jalan lintas Sumatera, Jalan Negara, tak berapa jauh dari pintu gerbang tol Terbanggi Besar.
Ia hanya dengan satu tangan mengangkat ban mobil. Tak butuh 5 menit baginya untuk melepaskan ban mobil dari velg. Di bawah terik matahari, ia menggelosor di tanah berpasir, memasang dongkrak, kemudian mengganti ban yang bocor.
Oh, ya, dongkrak yang ia gunakan siang itu, relatif masih baru. Ternyata ya benar-benar baru. Baru ia beli siang itu. Hotma Boru Saragih bercerita, dongkrak miliknya dulu pernah dipinjam oleh anggota Polisi, yang mengaku rekan almarhum suaminya. Tapi, hingga kini, belum dikembalikan. Padahal, itu adalah alat kerja yang sangat ia butuhkan.Â
Itulah salah satu risiko yang harus ia hadapi. Termasuk, risiko menghadapi preman yang sering minta uang. Semua itu ia hadapi demi mempertahankan usaha tambal bannya. Bagi saya, itu menjadi salah satu contoh, tentang perjuangan seorang ibu untuk menyelamatkan hari depan anak-anaknya. Maka, sangat bisa kita pahami, betapa berat rasanya tidak bisa bertemu ibu di tiap kali Lebaran tiba.
Lokasi tambal bannya berseberangan di jalan yang sama, dengan kantor Lembaga Perlindungan Anak, Kabupaten Lampung Tengah. Saya tidak tahu, apakah pihak lembaga tersebut mengetahui dan pernah menyambangi tambal ban Hotma Boru Saragih.
Saya juga belum tahu, apakah ada orang lembaga tersebut yang mengetahui bahwa ada dua anak usia sekolah yang patut di-support di tambal ban tersebut? Yang jelas, ibu dan dua anak itu sudah bertahun-tahun tinggal dan berusaha di tambal ban tersebut. Ia mengontrak bangunan sederhana di sana, yang juga ia fungsikan sebagai warung.
Sebagai janda dua anak, Hotma Boru Saragih mengaku belum pernah sekali pun menerima bantuan apa pun dari pemerintah. Baik setelah pandemi Covid-19, maupun sebelum pandemi melanda. "Yang bikin kesal, mereka yang memiliki rumah dan berstatus pegawai, malah dapat bantuan dari pemerintah. Inilah yang bikin hati saya miris," tukas Hotma Boru Saragih. Â Â
Yang mengesankan, Hotma Boru Saragih tidak mengeluhkan nasibnya. Ia terus berjuang, tanpa kenal lelah. "Hingga hari ini, kedua anak saya tidak pernah kelaparan karena tidak makan. Saya melihat ke bawah, bukan ke atas. Â Masih ada orang lain yang hidupnya lebih sulit dari saya," ungkap ibu dua anak itu, dari kolong mobil.
Saya Isson Khairul dari Kompasiana, Budi Tanjung dari CNN Indonesia TV, Erwin Hadi dan Didik Wiratno dari Reportase News, serta Mada Mahfud dari Ring Satu membuat narasi audio visual tentang Hotma Boru Saragih, sebagai bagian dari perjuangan perempuan menghadapi pandemi Covid-19.
Kami berlima, sejak September 2020 hingga kini, adalah relawan media yang sehari-hari mengelola komunikasi Rumah Sakit Darurat Covid (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, kepada publik. Secara operasional, kami secara langsung berkoordinasi dengan Mayjen DR. dr. Tugas Ratmono selaku Koordinator RSDC Wisma Atlet dan Letnan Kolonel Laut dr. M. Arifin selaku Koordinator Hubungan Masyarakat RSDC Wisma Atlet.
Jakarta 09-05-2021
Catatan: sebagian dari tulisan ini sudah saya posting akun facebook saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H