Muhammad Aris terbukti memperkosa 9 anak. Vonis kebiri kimia mungkin batal dieksekusi. Karena, aturan petunjuk teknis kebiri kimia ternyata belum ada. Dokter yang bakal jadi eksekutor pun masih tanda tanya. O, ya?Â
Belum Ada Petunjuk TeknisÂ
Di tengah pro-kontra vonis kebiri kimia, kuasa hukum Muhammad Aris berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahmakah Agung (MA). Intinya, memohon agar hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris dibatalkan.Â
Dasar pertimbangannya, karena peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan teknis hukuman kebiri kimia, belum ada.
Itu diungkapkan Handoyo, kuasa hukum Muhammad Aris, pada Selasa (27/08/2019). Belum adanya petunjuk teknis eksekusi kebiri kimia tersebut, diakui oleh Asep Maryono, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, pada Senin (26/08/2019). Untuk itu, Asep Maryono meminta agar Kepala Kejaksaan Negeri  Mojokerto membuat laporan tentang kasus Muhammad Aris.
Selain itu, Kepala Kejaksaan Negeri  Mojokerto juga diminta untuk meminta petunjuk dari Kejaksaan Agung tentang pelaksanaan hukuman kebiri kimia tersebut.Â
"Sepengetahuan saya, ini memang pertama di Indonesia. Petunjuk teknisnya belum ada, kami harus meminta petunjuk dari pimpinan," ujar Asep Maryono kepada media di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jalan Ahmad Yani, Surabaya.
Sebagaimana diketahui, pada Kamis (02/05/2019), Pengadilan Negeri  Mojokerto memvonis Muhammad Aris dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.Â
Joko Waluyo selaku Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto, juga menjatuhkan hukuman tambahan kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Kemudian, pada Kamis (18/07/2019), Pengadilan Tinggi Surabaya mengukuhkan keputusan tersebut.
Tentang latar belakang kasus Muhammad Aris, silakan baca tulisan saya Kebiri Kimia: Perppu Jokowi Mei 2016, Disahkan DPR Oktober 2016. Nah, karena belum adanya petunjuk teknis kebiri kimia tapi Joko Waluyo selaku Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri  Mojokerto sudah menjatuhkan vonis hukuman kebiri kimia, tentu ini bisa menjadi salah satu celah hukum bagi Handoyo, selaku kuasa hukum Muhammad Aris.
Vonis dari Joko Waluyo jatuh pada Kamis (02/05/2019). Pengukuhan keputusan dari Pengadilan Tinggi Surabaya jatuh pada Kamis (18/07/2019). Petunjuk teknis dari Kejaksaan Agung, belum tahu kapan turunnya. Yang jelas, turunnya pasti belakangan, setelah vonis. Ada dua opini hukum dari Handoyo. Pertama, saat ini pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak mungkin diterapkan, karena belum ada petunjuk teknis. Kedua, jika nanti petunjuk teknis itu turun, harap diingat, hukum tidak berlaku surut.
Dokter Terhalang Kebijakan IDIÂ Â Â
Atas pertimbangan itulah, Handoyo mohon hukuman kebiri kimia tidak dieksekusi ke Muhammad Aris. Itu salah satu celah hukum bagi Handoyo. Celah hukum lainnya, tentang dokter yang akan menjadi eksekutor kebiri kimia. Dari penelusuran saya, hukuman kebiri kimia membutuhkan peranan dokter.
Hal itu juga diungkapkan Rudy Hartono pada Jumat (23/08/2019). Rudy Hartono selaku Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto menyebut, kejaksaan harus koordinasi dulu dengan dokter, rumah sakit, tempat, serta izin pengamanan, sebelum melaksanakan hukuman kebiri kimia.
Nah, dalam konteks dokter sebagai eksekutor kebiri kimia, ada halangan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih, menegaskan, IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia. Alasannya, kebiri kimia bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma.
Itu ditegaskan Daeng M. Faqih pada Selasa (27/08/2019). Pertanyaannya, adakah dokter yang bersedia menjadi eksekutor, jika Kejaksaan Negeri Mojokerto bersikeras mengeksekusi hukuman kebiri kimia? Menurut saya, akan ada konflik baru yang akan timbul. Jika ada dokter yang bersedia, PB IDI bisa mencabut sertifikasi profesi dokter tersebut, sebelum eksekusi dilaksanakan.
Kalau eksekusi dilaksanakan oleh yang bersangkutan, maka statusnya bukan lagi dokter yang ber-sertifikasi profesi. Ini tentu bisa menjadi kasus hukum tersendiri. Karena, eksekusi hukuman kebiri kimia tidak ditangani oleh seseorang yang memiliki sertifikasi profesi, sebagai bukti standarisasi keahliannya.
Apakah hanya IDI yang berhak mengeluarkan sertifikasi profesi dokter? Jawabnya, iya. Pada Kamis (26/04/2018), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia, dengan sejumlah pertimbangan konstitusional.
Kekejaman dengan KekejamanÂ
Dengan demikian, ada dua faktor yang bisa mencegah terjadinya eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Pertama, petunjuk teknis. Kedua, penolakan PB IDI.Â
Jika Handoyo, selaku kuasa hukum Muhammad Aris, memasukkan peninjauan kembali (PK) ke Mahmakah Agung (MA), maka eksekusi hukuman kebiri kimia akan ditunda demi hukum, sampai keluar putusan PK tersebut.
Sementara itu, pro-kontra tentang hukuman kebiri kimia, terus bergulir. Amnesty International Indonesia (AII), sebagaimana dilansir siaran persnya pada Rabu (28/08/2019) ini menyebut, hukuman itu tidak manusiawi.Â
Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif AII, sepakat bahwa kita semua harus bersatu dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Tapi, menurutnya, menggunakan hukuman kebiri kimia adalah membalas kekejaman dengan kekejaman.
Pada saat yang sama, pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait hukuman kebiri kimia itu. "Kami di kementerian lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat, seperti Kejaksaan Agung, KPPPA, Kementerian Kesehatan, dan lainnya," kata Kanya Eka Santi selaku Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, pada Selasa (27/08/2019).
Bagaimana dengan Kejaksaan Agung? Â Menurut Mukri selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, pihaknya menunggu sinyal dari pemerintah, untuk melaksanakan eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Dari pencermatan saya, itu berarti Kejaksaan Agung belum akan mengeluarkan petunjuk teknis kebiri kimia, sebelum keluar Peraturan Pemerintah (PP) di atas.
Dalam wawancara dengan Radio Republik Indonesia, pada Selasa (27/08/2019), Mukri menyebut, jaksa tidak bisa berdiri sendiri untuk mengeksekusi hukuman tersebut. Ini kan hukuman kebiri kimia, otomatis kita minta bantuan kepada medis. Saya pikir, yang dimaksud Mukri, tentulah dokter. Padahal, Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih, sudah menegaskan, IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.
Hmmm sepertinya masih panjang perjalanannya untuk sampai ke eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Ruang dan waktu yang tersedia tersebut, menurut saya, tidak akan sia-sia. Itu justru menjadi momentum bagi para pemangku kepentingan untuk mencermati lebih saksama hukuman kebiri kimia yang dimaksud. Hukum ditegakkan, demi keadilan dan kemanusiaan.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 28 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H