Hal itu juga diungkapkan Rudy Hartono pada Jumat (23/08/2019). Rudy Hartono selaku Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto menyebut, kejaksaan harus koordinasi dulu dengan dokter, rumah sakit, tempat, serta izin pengamanan, sebelum melaksanakan hukuman kebiri kimia.
Nah, dalam konteks dokter sebagai eksekutor kebiri kimia, ada halangan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih, menegaskan, IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia. Alasannya, kebiri kimia bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma.
Itu ditegaskan Daeng M. Faqih pada Selasa (27/08/2019). Pertanyaannya, adakah dokter yang bersedia menjadi eksekutor, jika Kejaksaan Negeri Mojokerto bersikeras mengeksekusi hukuman kebiri kimia? Menurut saya, akan ada konflik baru yang akan timbul. Jika ada dokter yang bersedia, PB IDI bisa mencabut sertifikasi profesi dokter tersebut, sebelum eksekusi dilaksanakan.
Kalau eksekusi dilaksanakan oleh yang bersangkutan, maka statusnya bukan lagi dokter yang ber-sertifikasi profesi. Ini tentu bisa menjadi kasus hukum tersendiri. Karena, eksekusi hukuman kebiri kimia tidak ditangani oleh seseorang yang memiliki sertifikasi profesi, sebagai bukti standarisasi keahliannya.
Apakah hanya IDI yang berhak mengeluarkan sertifikasi profesi dokter? Jawabnya, iya. Pada Kamis (26/04/2018), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia, dengan sejumlah pertimbangan konstitusional.
Kekejaman dengan KekejamanÂ
Dengan demikian, ada dua faktor yang bisa mencegah terjadinya eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Pertama, petunjuk teknis. Kedua, penolakan PB IDI.Â
Jika Handoyo, selaku kuasa hukum Muhammad Aris, memasukkan peninjauan kembali (PK) ke Mahmakah Agung (MA), maka eksekusi hukuman kebiri kimia akan ditunda demi hukum, sampai keluar putusan PK tersebut.
Sementara itu, pro-kontra tentang hukuman kebiri kimia, terus bergulir. Amnesty International Indonesia (AII), sebagaimana dilansir siaran persnya pada Rabu (28/08/2019) ini menyebut, hukuman itu tidak manusiawi.Â
Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif AII, sepakat bahwa kita semua harus bersatu dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Tapi, menurutnya, menggunakan hukuman kebiri kimia adalah membalas kekejaman dengan kekejaman.
Pada saat yang sama, pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait hukuman kebiri kimia itu. "Kami di kementerian lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat, seperti Kejaksaan Agung, KPPPA, Kementerian Kesehatan, dan lainnya," kata Kanya Eka Santi selaku Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, pada Selasa (27/08/2019).
Bagaimana dengan Kejaksaan Agung? Â Menurut Mukri selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, pihaknya menunggu sinyal dari pemerintah, untuk melaksanakan eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Dari pencermatan saya, itu berarti Kejaksaan Agung belum akan mengeluarkan petunjuk teknis kebiri kimia, sebelum keluar Peraturan Pemerintah (PP) di atas.