Sementara, produksi garam baru per 14 Agustus 2019, mencapai 277.962,85 ton. Rinciannya, 197.462,85 ton garam produksi rakyat dan 80.500 ton produksi PT Garam. Itu diungkapkan Brahmantya Satyamurti Poerwadi pada Selasa (20/08/2019). Artinya, stok garam dalam negeri saat ini ada sekitar 569.582 ton. Maksud Brahmantya, serap dululah garam yang ada itu. Tak usah buru-buru impor, meski masih ada sisa kuota.
Sampai di sini, kita bisa mencermati, ada benturan kepentingan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku regulator garam dan kalangan industri selaku pengguna garam. Dalam konteks bisnis, kondisi tersebut sesungguhnya normal. Cucu Sutara selaku Sekretaris Umum  AIPGI, tak tinggal diam. Pada Selasa (20/08/2019), ia mendatangi kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Agaknya, ia melobi, agar kuota impor garam semester II 2019, segera dibuka.
Kualitas, Harga, dan Industri
Sepintas nampaknya kalangan industri ogah menyerap garam produksi lokal. Kalaupun menyerap, volumenya tidak banyak. Tapi, Cucu Sutara selaku Sekretaris Umum  AIPGI, berkilah. Katanya, kalangan industri masih menyerap garam lokal. Secara lebih rinci, Cucu Sutara pada Selasa (20/08/2019), menyebut, kualitas beberapa garam lokal, belum memenuhi sejumlah kriteria yang dibutuhkan industri.
Itu salah satu faktor yang menjadi hambatan penyerapan garam lokal oleh industri. Dalam hal kadar air, misalnya. Rerata garam lokal kadar airnya masih berada di atas satu persen. Padahal, industri butuh garam yang kadar airnya maksimal 0,5 persen. Demikian juga dengan kadar garam (NaCl) produksi lokal, masih di bawah 97,5 persen. Industri butuh lebih dari itu.
Nah, dengan kualitas garam lokal yang demikian, maka garam lokal lebih cocok digunakan sebagai garam konsumsi, pengasinan ikan, penyamakan kulit, dan produksi es. Untuk industri lainnya, garam lokal belum memenuhi kriteria. Dari penelusuran saya, kalangan industri sesungguhnya juga telah berupaya berdamai dengan garam produksi lokal.
Apa yang industri lakukan? Industri membeli garam lokal dengan harga Rp 600 per kilogram, dari petani garam. Ini harga tahun 2019. Kemudian, industri mengolah garam lokal tersebut, agar memenuhi kriteria kebutuhan industri. Dengan demikian, industri harus mengeluarkan biaya untuk area pengolahan, peralatan pengolahan, tenaga kerja, dan sebagainya. Dalam konteks bisnis, itu jelas bukan kebijakan yang efisien. Itu bukan core industri yang bersangkutan.
Sementara, industri bisa membeli garam impor, rata-rata Rp 750 per kg. Â Ini juga harga tahun 2019. Industri bisa langsung menggunakan garam impor tersebut untuk berproduksi. Tanpa harus keluar biaya lagi untuk area pengolahan, peralatan pengolahan, tenaga kerja, dan sebagainya. Kenapa? Karena, garam impor sudah mengacu ke standar kebutuhan industri.
Sejumlah kondisi di atas, diakui oleh Jakfar Sodikin, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), pada Minggu (28/07/2019). Menurut Jakfar Sodikin, kondisi tersebut di atas, membuat petani garam rakyat sulit menyaingi garam impor. Apalagi, para petani garam lokal tidak memiliki infrastruktur pengolahan garam, untuk memenuhi kebutuhan garam industri.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 21 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H