Barangkali, Christian Ansaka, entah sedang berada di mana, juga membaca apa yang sudah saya baca itu. Sungguh, saya ingin mendengar, apa pendapatnya tentang semua itu. Saya yakin, ia pasti juga bangga dengan putra Manokwari, yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka tersebut.
Di saat yang bersamaan, ia tentu sangat sedih, kalau benar oknum mahasiswa Papua yang merusak dan membuang bendera Merah Putih ke dalam selokan di Surabaya. Kesedihannya tentulah berlanjut akibat ulah oknum yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di tower navigasi, Jalan Yos Sudarso, Kota Agats.
Beberapa tahun sekampus dengan Christian Ansaka di Jakarta, nyaris tidak ada yang terasa ganjil. Bagi saya, ia sama pentingnya dengan teman-teman saya yang lain, yang berasal dari Medan, Pontianak, Makassar, dan Tulungagung. Kebersamaan kami terjalin sebagai kebersamaan Indonesia, yang masing-masing suku memiliki keunikan sendiri-sendiri.
Kadangkala kami memang saling ledek-ledekan tentang kebiasaan orang dari daerah asal kami. Tapi, itu sebatas gurauan semata, tak mengurangi rasa hormat kami pada kebhinekaan negeri.Â
Bagi saya, berteman dengan mereka yang berasal dari berbagai wilayah, sangat mengesankan. Saya jadi tahu tentang banyak daerah, yang diceritakan langsung oleh warga asli daerah yang bersangkutan.
Sebagai orang yang senang menulis, beragam cerita itu turut menambah inspirasi saya dalam menulis. Kadang saya mengonfirmasi beberapa hal kepada teman yang berasal dari suatu wilayah. Itu menambah pemahaman saya tentang hal tersebut, meski sebelumnya saya sudah mengetahuinya lewat bacaan. Proses klarifikasi kreatif tersebut, banyak gunanya bagi saya, dalam konteks penulisan.
Makanya, saya sangat ingin bertemu dengan Christian Ansaka, sahabat Papua saya tersebut. Saya tak habis pikir, mengapa pembuangan Merah Putih ke selokan di Surabaya dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Kota Agats itu, terjadi saat berjuta anak bangsa sedang memperingati Hari Proklamasi? Tindakan tersebut tentulah mencederai kekhidmatan. Juga, melukai kebersamaan yang selama ini sudah terbangun.
Kabar Perairan Fakfak
Beberapa waktu lalu, saya ada pekerjaan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum terbang dari Jakarta ke sana, saya mencari berbagai informasi tentang tempat itu. Termasuk, dari beberapa teman yang berasal dari Makassar. Saya pun mendapat gambaran, seperti apa situasi TPI yang berada di Jalan Sabutung, Kelurahan Camba Berua, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, tersebut.
Aktivitas pelelangan ikan di TPI Paotere, lumayan sibuk. Beberapa bandar ikan di sana menyebut, rerata per hari ada sekitar 10 ton ikan yang diperdagangkan di sana. Berbagai jenis ikan laut bisa kita temukan. Mulai dari kerapu, baronang, tongkol, tuna, ikan terbang, pari, tenggiri, kembung, teri, hingga cumi dan udang. Semuanya dalam keadaan segar.
Kalau mau membeli ikan di TPI Paotere dan ingin mendapatkan ikan segar dengan harga miring, datanglah ke sana pukul 04.00 WITA. Kita bisa membeli ikan yang baru diturunkan dari kapal. Artinya, ikan itu belum berpindah tangan ke penjual ikan yang lain. Kita tahu, dalam hitung dagang, berpindah tangan itu berarti ada kenaikan harga jual. Karena, tiap tangan kan akan mengambil laba.