Tanpa sadar, kita kerap meremehkan orang lain. Kita takar orang lain dengan ukuran kita, meski seringkali meleset. Padahal, banyak orang hebat di sekitar kita, yang mampu mengendalikan diri dengan tidak meremehkan kita.
Mengerti Setelah Stroke
Rabu (14/08/2019) sore, saya membaca cuitan b. e. widha karina @bewidha di twitter. Begini cuitan itu: karena perlu diingat bahwa tidak semua orang dianugerahi kemampuan memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain. Widha Karina mencuitkannya pada Selasa (13/08/2019) pukul 10.20 post meridiem (PM). Hmmm memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain? Â Â
Pikiran saya langsung melayang ke Putu Wijaya, tokoh teater yang saya kagumi. Seniman yang kini berusia 74 tahun itu, dapat serangan stroke pada tahun 2012. Ia sakit. Tapi, itu tak membuatnya berhenti berkarya. Setelah stroke, Putu Wijaya lebih banyak melukis, dibanding menulis dan mementaskan karya di panggung teater.
Aktivitas melukis memang sudah cukup lama ia tinggalkan, karena keasyikan menulis cerita pendek, novel, lakon, dan esai. Juga, karena keasyikan menjadi sutradara sekaligus pemain di pentas teater. Ia mendirikan Teater Mandiri pada tahun 1971. Pada Jumat hingga Minggu (01-03/03/2019) lalu, Putu Wijaya menggelar pameran seni rupa dan arsip di Gedung Pusat Pengembangan Kebudayaan (PPK) Jalan Naripan, Kota Bandung, Jawa Barat.
Di kesempatan tersebut, Putu Wijaya bertutur: setelah saya sakit, sesuatu yang dulu mudah, sekarang sulit. Akan tetapi, sesuatu yang dulu biasa, tiba-tiba menjadi indah. Sakit seakan mengajarkan saya untuk lebih mengetahui, apa yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui.
Penuturan Putu Wijaya itulah yang saya pikir berkorelasi dengan cuitan Widha Karina. Jangankan untuk memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain, bahkan untuk mengerti tentang diri sendiri pun, bukan hal yang mudah. Putu Wijaya, misalnya, baru setelah dapat serangan stroke, jadi tahu apa yang dulu mudah, sekarang sulit. Yang dulu biasa, sekarang indah.
Artinya, ada faktor tertentu, yang membuat seseorang mengerti sesuatu. Ini sebenarnya merupakan sinyal pengingat bagi kita, agar tak serampangan menuding orang lain. Juga, agar tak seenaknya meremehkan kemampuan orang lain. Karena, ketika kita menilai orang lain, tentulah ada faktor tertentu di diri orang tersebut, yang tak sepenuhnya kita mengerti.
Suatu hari, saya turun di Stasiun Gang Sentiong, salah satu stasiun yang disinggahi kereta Cummuter Line. Ini adalah stasiun kecil yang peronnya tak cukup panjang untuk menampung rangkaian 12 kereta. Lokasinya di perbatasan antara Kecamatan Senen dan Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Di ujung jalur 1 arah selatan, ada sebatang pohon yang condong ke arah stasiun.
Ketika pagar stasiun dibangun, pohon itu tidak ditebang. Sang pagar yang mengalah, hingga pohon dan pagar saling berkolaborasi menjaga keamanan stasiun. Di bawah pohon yang cukup rindang itu, di bagian luar stasiun, ada bangku kayu kecil untuk tempat duduk. Warga di sana kemudian menggantungkan beberapa sangkar burung di pohon itu.