Minggu (04/08/2019) menjadi bukti, e-money bukanlah segalanya. Uang digital yang diagung-agungkan itu, lumpuh. Tak berguna. Tak berdaya menghadapi mati listrik. Sebaliknya, uang tunai tetap berdaya, meski dalam kondisi gelap-gulita.
Karcis Tetap Dibutuhkan
Beberapa hari lalu, sahabat saya di facebook, mencaci-maki penggunaan karcis di Transjakarta. Ia menyebut karcis ketinggalan zaman, tidak modern. Ia juga menuding manajemen Transjakarta tidak update dengan teknologi. Bahkan, sampai mendiskreditkan Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta.Â
Dalam hati saya bergumam, sebegitu tidak bergunakah yang namanya karcis? Â Â
Pada Minggu (04/08/2019), ketika listrik padam di sejumlah wilayah, saya justru mengalami bahwa karcis sangat berguna di Transjakarta. Hari itu, saya ada urusan di Jl. Pangeran Jayakarta, tidak berapa jauh dari Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat.Â
Dari kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, mestinya saya tinggal naik commuter line (CL) dari Stasiun UI menuju Stasiun Jakarta Kota. Tapi, listrik padam. CL tidak beroperasi.
Akhirnya, saya naik Transjakarta menuju Halte Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan. Dalam perjalanan, kondektur menagih ongkos. Ia menggenggam mesin Electronic Data Capture (EDC), tapi ketika saya sodorkan e-money, ia menolak. Katanya, tidak ada sinyal. Mesin EDC tidak berfungsi. Maka, transaksi kuno pun berlaku: bayar tunai dan kondektur memberi karcis.
Penumpang di sebelah saya menyahut, para operator selular sedang tiarap. Sinyal mereka pun padam, sebagai dampak dari padamnya aliran listrik. Nah, apa yang terjadi, jika tidak ada karcis? Saya pikir, penumpang akan ngamuk ketika uang tunainya diterima kondektur tapi tidak ada bukti telah membayar ongkos. Dengan demikian, untunglah ada karcis.
Transjakarta rute UI-Lebak Bulus yang saya tumpangi, tidak berhenti di Halte Pertanian, karena memang tidak terintegrasi. Saya pun turun di halte terdekat, kemudian berjalan kaki menuju Halte Pertanian. Sebenarnya, ada rencana turun di Halte MRT Fatmawati. Tapi, karena listrik padam, MRT pun tidak beroperasi. Ya, sudahlah.
Di Halte Pertanian, lagi-lagi e-money tidak berlaku. Mesin gate-in dan gate-out Transjakarta tidak berfungsi karena listrik padam dan sinyal padam. Sekali lagi, untunglah ada karcis. Saya membayar tunai dan petugas loket memberikan karcis.Â
Kipas angin di Halte Pertanian tentu saja tidak berputar, karena listrik padam.
Listrik dan Sinyal PadamÂ
Dari Halte Pertanian, saya menuju Halte Sudirman II dengan Transjakarta. Halte ini terintegrasi dengan Halte Sudirman I, jadi saya tidak perlu membayar ongkos lagi ketika pindah rute. Saya kemudian naik Transjakarta menuju Halte Jakarta Kota, dari Halte Sudirman I.Â
Dari dalam Transjakarta, saya melihat pintu masuk Halte MRT Bundaran Hotel Indonesia (HI) ditutup. Artinya, listrik masih padam. MRT tidak beroperasi.
Keluar dari Halte Jakarta Kota, sinyal di ponsel saya masih padam. Maka, saya tidak bisa mengorder Go-Jek. Otomatis e-money Gopay yang saya miliki, tidak bisa digunakan.Â
Saya pun pakai bajaj ke tempat tujuan, dengan membayar tunai. Selesai urusan, saya kembali pakai bajaj dan membayar dengan uang tunai, menuju Halte Jembatan Merah di Jl. Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Di halte ini, petugas loket tidak berada dalam loket. Ia berdiri di depan mesin gate-in dan gate-out sembari menggenggam segepok karcis. Saya pun membayar dengan uang tunai, ia memberi saya karcis. Sekali lagi, untunglah ada karcis. Dari Halte Jembatan Merah, saya naik Transjakarta menuju Halte Flyover Raya Bogor, tak jauh dari Terminal Bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Dalam perjalanan, saya mendengar gerutuan penumpang, karena ia tidak bisa mengontak temannya untuk bikin janji. Listrik padam, sinyal pun padam. Ia dan temannya mau ke Bandung, tapi tidak bisa menyepakati titik-temu di Terminal Bus Kampung Rambutan. Dalam hati saya bergumam, untung mau janjian dengan teman. Apa jadinya kalau mau janjian dengan pacar. Weleh-weleh.
Listrik oh listrik. Sinyal oh sinyal. Ada lagi penumpang yang berteriak-teriak karena jengkel dengan sinyal. Ia melihat ada tanda sinyal di ponselnya, tapi pesan WhatsApp tidak terkirim.
Ia mencoba menelepon, tapi tidak nyambung. Dengan jengkel, ia berteriak-teriak dalam Transjakarta, seakan-akan tengah bicara dengan seseorang entah di mana. Waktu saya tanya, bisa nyambung? Ia menggeleng. Sekadar melepas jengkel saja, sahutnya kemudian.
Turun di Halte Flyover Raya Bogor, ada keributan kecil. Penumpang tidak bisa keluar dari gate-out, karena listrik padam dan sinyal padam. Pintu darurat pun tertutup.Â
Petugas tak ada, entah di mana. Akhirnya, penumpang keluar gate-out dengan cara berjongkok. Saya jadi ingat permainan Ular Naga di masa kanak-kanak. Padamnya listrik dan sinyal telah mengembalikan orang dewasa ke masa kanak-kanak.
Tunai di Gelap-gulitaÂ
Dari Halte Flyover Raya Bogor, saya mampir ke toilet, yang ada di belakang pedagang buah di seberang halte. Ada sejumlah toilet umum di sana. Kondisinya lumayan bersih. Ketersediaan air melimpah. Tak ada bau menyengat. Pengelola toilet umum tersebut tak dilengkapi mesin EDC. Juga, tak ada karcis. Bayar tunai Rp 2.000.- ya sudah. Urusan pun beres.
Saya kemudian menyeberang jalan di kolong flyover, lalu berdiri di trotoar dengan posisi di seberang pabrik susu Frisian Flag. Lampu sorot dari pabrik itu lumayan menerangi area sekitarnya. Sepertinya pabrik itu punya genset. Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada pedagang Nasi Bebek gerobak. Setidaknya, ada 7 batang lilin yang ia nyalakan di gerobak tersebut.
Tapi cahayanya tidak sampai ke meja tempat makan konsumennya. Ya, sudahlah. Saya pun menyantap Nasi Bebek itu dengan lahap, meski bergelap-gelap. Beberapa rider Go-Jek juga makan di sana. Mereka berbincang-bincang tentang sepinya order hari itu. Sesekali ada order tapi karena sinyal lemot, ya susah mengonfirmasi lokasi penjemputan. Daripada bertengkar dengan calon penumpang, mereka pilih untuk meng-cancel saja.
Nasi Bebek itu saya bayar dengan tunai, dalam kondisi bergelap-gelap. Pedagang asal Madura tersebut tidak butuh sinyal untuk transaksi. Semua pembayaran ya tunai.Â
Meski demikian, ia butuh cahaya, ia butuh aliran listrik, untuk menerangi konsumennya yang sedang makan. Istimewanya, biarpun bergelap-gelap, para pemakan bebek datang silih berganti.
Sepintas saya menghitung, yang beli untuk dibungkus, lebih banyak daripada yang makan di tempat. Hmmm barangkali mereka tidak bisa memasak di rumah, karena listrik padam. Mereka pun mungkin tidak bisa meng-order makanan secara online, karena sinyal padam. Maka ditempulah cara manual, membeli serta membayar makanan secara manual pula.
Secara teknologi, listrik dan sinyal memang telah mengubah banyak perilaku publik. Uang digital alias e-money bisa menggantikan fungsi uang tunai. Tapi, ketika listrik dan sinyal padam, perilaku publik turut pula berubah.Â
Uang tunai menjadi sangat berdaya, meski dalam kondisi gelap-gulita. Ayo, tetap siaga uang tunai, meski punya segepok kartu e-money.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 05 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H