Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dari Pertamax ke Pertalite, Dari Pertamax ke Premium

5 November 2018   20:56 Diperbarui: 6 November 2018   00:36 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertamina mengklaim, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax, tidak turun, meskipun harganya naik dari semula Rp 9.500 per liter menjadi Rp 10.400 per liter di Jakarta. Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan.com

Ada rupa, ada harga. Itulah yang terjadi, ketika Pertamina menaikkan harga Pertamax, dari  Rp 9.500 menjadi Rp 10.400 per liter. Kenaikan Rp 900 bagi sebagian orang, mungkin tak seberapa. Tapi, bagi sebagian lain, kenaikan itu terasa memberatkan.

Beralih karena Harga 

Rumsinah, misalnya. Warga Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, tersebut, sudah cukup lama menggunakan Pertamax untuk sepeda motornya. "Biasanya saya beli Pertamax 15 ribu dan kepakai dua hari. Tadi waktu mau ngisi Pertamax, petugas bilang Pertamax naik, gak jadi ngisi, ngisinya sama Pertalite saja," ujar perempuan setengah baya itu, pada Kamis (11/10/2018).

Heri, pengojek yang sedang antre di salah satu SPBU di Menteng, Jakarta Pusat, juga bersikap hampir serupa. "Saya biasa pakai Pertamax, biar mesin bagus. Sekarang pakai Premium saja lah, soalnya berat," ungkap Heri, pada Kamis (11/10/2018). Ia menyebut berat, karena harga Pertamax yang baru, akan menggerus pendapatannya sebagai tukang ojek.

Rumsinah dan Heri, hanya dua contoh dari konsumen Pertamina, yang terbilang sensitif pada perubahan harga. Karena itulah, mereka menyiasatinya dengan beralih ke Pertalite dan Premium. Mereka beralih, karena uang kenaikan tersebut, bisa dialihkan untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Sebagai warga biasa, mereka sudah terbiasa menyiasati tantangan hidup.

Segmentasi Pasar BBM   

Kenaikan harga Pertamax dan beberapa produk Pertamina lainnya, dieksekusi pada Rabu (10/10/2018), pukul pukul 11.00 WIB. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tersebut, lantaran menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Hal itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, pada Rabu pagi di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Dengan kenaikan Pertamax itu, ada jenjang baru di harga BBM. Setidaknya, bisa kita lihat, Premium Rp 6.450 per liter untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) dan Rp 6.400 per liter di luar Jamali, kemudian Pertalite Rp 7.800 per liter, serta Pertamax Rp 10.400 per liter. Artinya, ada tiga segmen konsumen di level menengah-bawah, yang langsung dipetakan Pertamina.

Menurut saya, interval harga di ketiga segmen market di level menengah-bawah tersebut, sudah sepatutnya dicermati Pertamina dengan sungguh-sungguh. Tujuannya adalah untuk menjaga daya beli warga di level menengah-bawah, agar mereka tidak mengalami guncangan finansial, yang otomatis bisa berdampak pada kemampuan mereka mengakses harga kebutuhan pokok.

Premium-Pertalite-Pertamax 

Nah, seberapa banyak Pertamina menyalurkan Premium, Pertalite, dan Pertamax kepada masyarakat? Pada Selasa (16/10/2018), Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), menyebut, Pertamina menyalurkan Premium sekitar 1 juta kilo liter (KL) per bulan. Pertalite sekitar 1.4 juta KL per bulan. Pertamax? Ia tidak merincinya.

Dari penyaluran tersebut, bagaimana warga mengonsumsi ketiga jenis BBM itu? Mari kita cermati data yang diungkapkan Ibnu Fajar, Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Ibnu Fajar memberikan perbandingan konsumsi ketiga jenis BBM itu, antara hari-hari normal dengan hari-hari di musim Mudik Lebaran 2018 lalu. Ini ia sampaikan, pada Kamis (28/06/2018).

Konsumsi Premium pada hari normal, rata-rata sebesar 26.000 KL dan pada musim mudik 32.000 KL. Pertalite pada hari biasa 46.171 KL dan pada musim mudik 48.670 KL. Pertamax pada hari biasa 15.000 KL dan pada musim mudik 17.000 KL. Apa yang diungkapkan Ibnu Fajar itu menjadi penanda, bahwa sesungguhnya segmen warga pengguna Pertalite, lebih banyak dibanding pengguna Premium dan Pertamax.

Dilema Harga Pertamina 

Sekarang, mari kita urut. Di Jakarta, misalnya, Premium Rp 6.450 per liter, kemudian Pertalite Rp 7.800 per liter, serta Pertamax Rp 10.400 per liter. Boleh jadi, warga yang keberatan dengan kenaikan Pertamax, tidak akan serta-merta terjun ke Premium. Tapi, memilih beralih ke Pertalite. Toh, sebagian besar warga relatif sudah bisa menerima harga Pertalite, sebagaimana tercermin dari data yang diungkapkan Ibnu Fajar di atas.  

Selain itu, secara kualitas dan kadar oktan, Pertalite berada di tengah-tengah antara Premium dan Pertamax, dengan Research Octane Number (RON) 90. Ini tentulah menjadi pertimbangan lain, selain harga. Saya pikir, dalam tiga bulan ke depan, Pertamina sudah bisa mendeteksi, berapa banyak konsumen Pertamax yang beralih ke Pertalite dan Premium.

Reaksi konsumen Pertamax tersebut, tentulah menjadi masukan penting bagi Pertamina, jika di kemudian hari hendak mengutak-atik harga Pertalite dan Premium. Dalam hal Pertalite, Pertamina memiliki otoritas untuk menentukan harga, karena Pertalite adalah kategori BBM non-subsidi. Menurut saya, jika harga Pertalite dikerek dalam waktu dekat, risikonya cukup tinggi.

Antara lain, akan terjadi migrasi besar-besaran ke Premium. Akibatnya, angka subsidi akan membengkak dan tentu saja merepotkan pemerintah, yang tengah mengencangkan ikat pinggang. Di sisi lain, beban Pertamina pun tak kalah beratnya.

Kenapa? Karena, harga keekonomian Premium sudah di sekitar Rp 9.990 per liter, sementara Pertamina menjual dengan harga Rp 6.450 per liter. Begitu juga dengan Pertalite, yang harga keekonomiannya sudah  Rp 10.100 per liter, dan Pertamina menjualnya Rp 7.800 per liter.

Jakarta, 05 November 2018 #AJP2018 #CJAJP2018 (3/11)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun