Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Penunggak Sewa Rusun: Bom Waktu Jakarta

12 September 2017   13:23 Diperbarui: 16 September 2017   15:45 3478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu ini belum lama melahirkan. Ketika gubuknya digusur, anaknya masih dalam masa menyusui. Dan, di tengah porak-porandanya gusuran, sang ibu menunaikan kewajibannya: menyusui. Di bawah terik matahari, di antara debu yang beterbangan, juga di antara tangis dan air mata. Foto: kompas.com

berapa pasang telinga
yang dibutuhkan seorang penguasa
sampai ia sanggup mendengar tangisan warganya

Telinga? Masih adakah gunanya? Ada beragam puja-puji yang mengalun tiap saat. Ada orkestra yang seakan mengukuhkan keberagaman. Semua itu melenakan, membawa angan melayang ke langit. Seakan kekuasaan kan abadi. Seakan jabatan kan dipangku sampai mati. Sementara, di bekas gusuran, orang-orang terhempas meratapi nasib. Ratapan mereka tenggelam oleh beragam puja-puji. Tangisan mereka tak terdengar, diterkam gemuruhnya orkestra.

Mereka yang berpunya, berkoar tentang salah dan benar, sembari menikmati orkestra. Mereka yang berkelebihan, berteriak lantang tentang hukum dan undang-undang. Bagi mereka yang haus kekuasaan, alangkah mudah memutarbalikkan semua itu. Yang salah, jadi benar dan yang benar, jadi salah. Kekuasaan selalu punya mekanisme untuk melakukan rekayasa, demi membenarkan segala kebijakan, seakan-akan telah menolong orang miskin. Saya teringat sajak WS Rendra[iv]

Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.

Mereka orang-orang yang kalah dan selalu kalah. Digusur, kemudian akan diusir, dalam kemiskinan. Ayo, pentaskan kembali orkestra di Balai Kota. Rayakan kemenangan, karena penguasa sudah sukses memiskinkan orang-orang miskin, menjadi lebih miskin. Foto: nu.or.id
Mereka orang-orang yang kalah dan selalu kalah. Digusur, kemudian akan diusir, dalam kemiskinan. Ayo, pentaskan kembali orkestra di Balai Kota. Rayakan kemenangan, karena penguasa sudah sukses memiskinkan orang-orang miskin, menjadi lebih miskin. Foto: nu.or.id
Angka kemiskinan diutak-atik. Parameter diputar-balik. Untuk apa? Untuk menunjukkan kepada publik, bahwa penguasa sudah sukses menekan angka kemiskinan? Publik tidak perlu ditunjukkan dan diyakinkan, karena publik sudah merasakan, betapa hidup semakin sulit. Apakah penguasa tahu, bagaimana 6.514 korban gusuran yang menunggak itu mencari makan untuk hidup? Apakah penguasa mau tahu? Pernahkah penguasa melakukan pengkajian serta penelitian tentang hal itu?

Itulah yang harus dilakukan, jauh sebelum melakukan penggusuran dengan bengis. Penguasa sudah seharusnya mengeksekusi kebijakan secara komprehensif: pra-eksekusi, eksekusi, dan pasca-eksekusi. Kenapa? Karena, yang digusur bukan hanya gubuk, tapi ada ribuan nyawa di sana. Ada anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan orang-orang tua. Mereka bukan bangsa lain, tapi bangsa kita. Negeri ini tumpah darah mereka. Sistem ekonomi-politik yang berpihak kepada capital, telah membuat mereka menjadi miskin.

Benarkah kita tidak bisa menangisi? Ke-6.514 korban gusuran yang menunggak itu, memandang ke luar jendela. Mereka melihat, lahan gusuran sudah dipermak penguasa menjadi gemerlap. Ada beragam hiburan di sana. Orang-orang berpunya, orang-orang berkelebihan, menikmati kegemerlapan tersebut. Ada area parkir untuk sepeda motor dan mobil. Mereka sungguh menikmatinya. Para pemuja, tidak ada hentinya memuja-memuja penguasa, dengan share dan like di sana-sini. Inikah yang disebut pembangunan? Pembangunan untuk siapa? Untuk mereka yang berpunya dan berkelebihan?

Ke-6.514 korban gusuran yang menunggak itu, menangis. Mereka menangisi nasib, di sepetak ruang di rumah susun. Segalanya menjadi tanda tanya. Bagaimana caranya membayar sewa? Apa hari ini bisa makan? Entahlah. Barangkali, sebentar lagi, mereka sudah tidak di sana. Tangan-tangan besi nampaknya sudah bersiap mengusir mereka. Di kejauhan, saya mendengar jeritan Iwan Fals[v], seakan mewakili jeritan para korban gusuran itu:

Penguasa ... penguasa
berilah hambamu uang
Beri hamba uang    
Beri hamba uang    

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 12 September 2017

--------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun