berapa pasang telinga
yang dibutuhkan seorang penguasa
sampai ia sanggup mendengar tangisan warganya
Telinga? Masih adakah gunanya? Ada beragam puja-puji yang mengalun tiap saat. Ada orkestra yang seakan mengukuhkan keberagaman. Semua itu melenakan, membawa angan melayang ke langit. Seakan kekuasaan kan abadi. Seakan jabatan kan dipangku sampai mati. Sementara, di bekas gusuran, orang-orang terhempas meratapi nasib. Ratapan mereka tenggelam oleh beragam puja-puji. Tangisan mereka tak terdengar, diterkam gemuruhnya orkestra.
Mereka yang berpunya, berkoar tentang salah dan benar, sembari menikmati orkestra. Mereka yang berkelebihan, berteriak lantang tentang hukum dan undang-undang. Bagi mereka yang haus kekuasaan, alangkah mudah memutarbalikkan semua itu. Yang salah, jadi benar dan yang benar, jadi salah. Kekuasaan selalu punya mekanisme untuk melakukan rekayasa, demi membenarkan segala kebijakan, seakan-akan telah menolong orang miskin. Saya teringat sajak WS Rendra[iv]
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Itulah yang harus dilakukan, jauh sebelum melakukan penggusuran dengan bengis. Penguasa sudah seharusnya mengeksekusi kebijakan secara komprehensif: pra-eksekusi, eksekusi, dan pasca-eksekusi. Kenapa? Karena, yang digusur bukan hanya gubuk, tapi ada ribuan nyawa di sana. Ada anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan orang-orang tua. Mereka bukan bangsa lain, tapi bangsa kita. Negeri ini tumpah darah mereka. Sistem ekonomi-politik yang berpihak kepada capital, telah membuat mereka menjadi miskin.
Benarkah kita tidak bisa menangisi? Ke-6.514 korban gusuran yang menunggak itu, memandang ke luar jendela. Mereka melihat, lahan gusuran sudah dipermak penguasa menjadi gemerlap. Ada beragam hiburan di sana. Orang-orang berpunya, orang-orang berkelebihan, menikmati kegemerlapan tersebut. Ada area parkir untuk sepeda motor dan mobil. Mereka sungguh menikmatinya. Para pemuja, tidak ada hentinya memuja-memuja penguasa, dengan share dan like di sana-sini. Inikah yang disebut pembangunan? Pembangunan untuk siapa? Untuk mereka yang berpunya dan berkelebihan?
Ke-6.514 korban gusuran yang menunggak itu, menangis. Mereka menangisi nasib, di sepetak ruang di rumah susun. Segalanya menjadi tanda tanya. Bagaimana caranya membayar sewa? Apa hari ini bisa makan? Entahlah. Barangkali, sebentar lagi, mereka sudah tidak di sana. Tangan-tangan besi nampaknya sudah bersiap mengusir mereka. Di kejauhan, saya mendengar jeritan Iwan Fals[v], seakan mewakili jeritan para korban gusuran itu:
Penguasa ... penguasa
berilah hambamu uang
Beri hamba uang  Â
Beri hamba uang  Â
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 12 September 2017