Tiap bulan, 1.500 sapi siap dikirim dari Bima. Tujuannya: Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Tapi, hanya 500 sapi yang terangkut. Adakalanya tidak terangkut sama sekali. Kenapa? Karena, kapal sapi dari Kupang sudah penuh. Pertanda apa ini?
Peternakan sapi meningkat. Ekonomi peternak sapi membaik. Itulah dua penanda penting, yang bisa kita pahami dari fakta yang diungkapkan M. Junaidin tersebut. Ia adalah Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas IV Bima, Provinsi Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Fakta itu ia ungkapkan kepada wartawan di pelabuhan Bima, pada Minggu (10/09/2017). Ini tentu sinyal kuat dari M. Junaidin kepada Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan.
Kapal Sapi Hanya Satu
Kita tahu, Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bima di NTB adalah dua sentra peternakan sapi. Beternak serta memelihara sapi adalah bagian dari keseharian warga di sana. Ini tercermin dari terus bertambahnya jumlah sapi mereka. Populasi sapi di NTT kini mencapai lebih dari 930.000 ekor. Sementara, di NTB sudah mencapai 1,1 juta ekor sapi. Maka, bukan hal yang mengherankan, bila satu-satunya kapal angkut sapi yang kita miliki, selalu penuh. Satu-satunya? Iya, Indonesia baru memiliki satu kapal angkut sapi, dengan kapasitas 500 ekor sapi sekali angkut.
Pada Sabtu (23/01/2016), saya menulis di Kompasiana Subsidi Kapal Sapi vs Harga Jual Sapi. Ketika itu, mekanisme ekonomi antara peternak, pedagang, dan kapal sapi, belum singkron. Masing-masing pihak masih berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, dari beberapa kali pelayaran kapal sapi dari NTB dan NTT ke Jakarta, kapal itu kosong melompong. Tanpa mengangkut sapi. Padahal, kapal angkut sapi KM Camara Nusantara 1 itu disubsidi pemerintah. Maka, jutaan rupiah subsidi yang sudah digelontorkan, terbuang sia-sia.
Ini menunjukkan kepada kita, bahwa menumbuhkan mekanisme ekonomi, butuh kesungguhan dari banyak pihak. Infrastruktur transportasi seperti kapal angkut sapi itu, misalnya, tidak akan efektif, bila tidak direspon oleh pedagang dan peternak sapi. Karena itu, geliat perdagangan sapi di NTB dan NTT ini, sudah sepatutnya dijadikan inspirasi oleh berbagai wilayah di tanah air. Tidak perlu menunggu hingga 20 bulan, untuk menyingkronkan beberapa elemen ekonomi. Tentu, dibutuhkan kesungguhan banyak pihak, agar singkronisasi tersebut bisa lebih cepat.
1.000 Perempuan Urus Sapi
Keberadaan kapal angkut sapi tersebut, telah menumbuhkan gairah baru dalam beternak sapi. Dengan adanya kapal sapi, frekuensi transaksi jual-beli antara warga yang memiliki sapi dengan pedagang sapi, meningkat secara bertahap. Gerakan ekonomi ini, dengan sendirinya juga turut meningkatkan pendapatan warga. Seperti apa gairah warga beternak sapi? Kita bisa lihat, apa yang dilakukan Kepala Kepolisian NTT, Widyo Sunaryo. Ia mewajibkan seluruh anggota Polda NTT, minimal, mempunyai satu ekor sapi untuk dipelihara. Itu ia canangkan di Kupang, pada Rabu (28/09/2016).
Ada lagi contoh lain. Di NTT, lebih dari 1.000 perempuan muda, diberdayakan menjadi peternak sapi. Ribuan perempuan muda itu tersebar di 40 desa pada lima kabupaten di NTT: Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Belu, dan Malaka. Yang memberdayakan mereka adalah Strong CSOs for Inclusive Livestock Value Chain Development-in (SCILD). Proyek ini melibatkan banyak pihak yang relevan. Tujuannya, antara lain, untuk meningkatkan posisi sosial dan penguatan ekonomi bagi kaum muda laki-laki dan perempuan di NTT.
Dari dua contoh itu saja, kita sudah mendapatkan gambaran, betapa kegairahan memelihara sapi begitu kuat di sana. Ada pihak yang memotivasi dan ada nilai ekonomi yang cukup menjanjikan. Yang bergerak adalah warga, yang tentu saja akan merasakan langsung manfaat ekonominya. Ini bisa menjadi inspirasi bagi wilayah lain: sudah waktunya melirik peternakan sapi. Memotivasi warga untuk memelihara sapi. Karena, beternak serta memelihara sapi, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kita tahu, kebutuhan akan daging sapi secara nasional, masih sangat tinggi.
Melihat positifnya ekosistem peternakan serta perdagangan sapi, terutama di NTB dan NTT, tahun 2018, Kementerian Perhubungan bakal menambah 5 buah kapal ternak. Artinya, tahun depan, kita akan memiliki 6 kapal angkut sapi. Dengan tambahan armada laut tersebut, konsentrasi sumber sapi tentu tidak hanya dari NTB dan NTT. Ini peluang bagi wilayah lain di tanah air, yang berminat untuk mengembangkan peternakan sapi. Dengan 6 kapal sapi, tentu rutenya bisa ditata serta dikelola, agar distribusi sapi dari sentra peternakan ke wilayah yang membutuhkan, berlangsung efektif.