Ada Ikhwanul Halim, yang berbagi kiat menulis fiksi. Ada Isson Khairul, yang mengajak guru menulis feature. Ada Erni Wardhani, yang berbagi strategi menabung tulisan. Dan, ada Thamrin Sonata, yang berjibaku menerbitkan tulisan guru menjadi buku. Apa perlunya guru memiliki skill menulis? Â
Dengan menulis, guru akan senantiasa terpacu untuk terus belajar. Itu kata Icha Bahri, pimpinan Nurul Ilmi Billingual Integrated Islamic School (NIBIIS), Bekasi, Jawa Barat. Kesadaran untuk memacu guru agar terus belajar itulah, yang mendorong Icha Bahri mengontak KutuBuku, salah satu komunitas di Kompasiana. Keempat Kompasianer di atas, yang tergabung dalam KutuBuku, bergerak cepat. Maka, acara berbagi literasi itu pun dieksekusi. Yang pertama, Sabtu (12/08/2017) dan yang kedua, Sabtu (09/09/2017). Total, ada 40 guru Nurul Ilmi, yang mengikuti ajang berbagi literasi tersebut.
Kaya Sumber Ide   Â
Dari 40 guru Nurul Ilmi tersebut, hanya beberapa orang saja yang sudah memiliki akun Kompasiana. Tak sampai 10 orang. Itu pun, belum aktif menulis. Kenapa? Karena tidak ada ide, ujar mereka serempak. Saya tentu saja tidak percaya. Ketika tiap peserta saya minta menuliskan ingin menulis apa, ternyata hasilnya luar biasa. Ide mereka bagus-bagus. Juga, sangat beragam. Antara lain, ide tentang kreativitas murid, tentang kuliner, dan tentang pengalaman tersesat saat berlibur ke luar negeri. Mereka kaget, ketika menyadari bahwa mereka ternyata memiliki banyak ide bagus untuk dijadikan tulisan.
Terus, kenapa tidak ditulis? Ada dua jawaban dominan. Pertama, karena tidak percaya bahwa ide yang mereka miliki itu sesungguhnya bagus. Kedua, karena tidak tahu, dari mana mulai menuliskannya. Kami pun membahas ide itu satu per satu. Membedahnya secara kreatif. Mencari berbagai kemungkinan sudut pandang, untuk mendapatkan sisi yang menarik untuk ditulis serta menarik pula untuk dibaca. Seru dan asyik. Ada yang melayang-layang ke langit, dengan fantasi tingkat dewa. Ada pula yang tersesat, karena terjerat oleh kata-katanya sendiri.
Yang dimaksud dengan relatif mudah untuk dituliskan adalah bila pengetahuan kita lebih dari cukup tentang ide yang hendak ditulis. Dari diskusi dengan 40 guru Nurul Ilmi tersebut, ada yang punya ide bagus, tapi pengetahuannya tentang ide itu masih terbatas. Akibatnya, ide itu sulit diolah, sulit pula mengeksplorasinya. Saya menyarankan, mulailah menulis tentang hal-hal yang kita pahami, yang kita kuasai. Artinya, semakin banyak kita membaca, maka semakin banyak pula hal yang bisa kita kuasai. Otomatis, itu akan memudahkan kita menuliskannya. Karena, membaca adalah urutan pertama sebelum menulis. Dan, itu berlaku bukan hanya pada penulisan feature.
Tidak, Tanpa Membaca
Ya, kita tidak akan bisa menulis, tanpa membaca. Orang yang tidak pernah baca puisi, tidak akan pernah bisa menulis puisi. Ini kata sastrawan Sapardi Djoko Damono, yang pada Kamis (07/09/2017) lalu meluncurkan buku Manuskrip Sajak di Indonesia International Book Fair 2017. Sapardi Djoko Damono mulai belajar menulis puisi, sekitar tahun 1967. Salah satu caranya, dengan terus-menerus membaca sejumlah puisi WS Rendra, yang ada dalam kumpulan Ballada Orang-Orang Tercinta. Ini adalah kumpulan sajak pertama WS Rendra, yang ditulisnya pada periode 1950-an, kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1957.
Misalnya, kita membaca cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992 dan terpilih sebagai cerpen terbaik, kemudian dibukukan dalam Cerpen Pilihan Kompas 1993. Di sana ada tokoh bernama Tati. Ia seorang guru, ibu guru, guru perempuan, tentunya. Ia masih muda, belum berkeluarga, dan berkaca mata tebal. Menurut Ikhwanul Halim, sebelum mulai menulis cerpen, sebaiknya kita catat dulu nama tokoh serta karakter tokoh yang akan kita hadirkan dalam karya tersebut.