Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepeda Motor vs Angkutan Umum

4 September 2017   14:55 Diperbarui: 5 September 2017   08:10 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepeda motor memenuhi badan jalan. Sudah tidak jelas lagi, yang mana jalur kiri dan yang mana jalur kanan. Kondisi ini tentu rawan terjadinya kecelakaan. Tanpa penataan yang komprehensif, makin lama sepeda motor makin sulit dikendalikan. Sebaliknya, aturan yang tambal-sulam, hanya menambah keruwetan serta menyengsarakan pengendara di jalan. Foto: isson khairul

Praktis dan murah. Karena dua alasan itulah, orang pakai sepeda motor. Belum ada transportasi umum yang mampu menandinginya. "Pengguna motor hanya mengeluarkan Rp 50.000, itu bisa untuk 3-4 hari," ujar Rio Octaviano, pada Minggu (03/09/2017).

Rio Octaviano adalah anggota Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA) Indonesia. Ia mengungkapkan hal itu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, menyikapi rencana perluasan pelarangan sepeda motor di Jakarta. Saat ini, pelarangan sepeda motor hanya berlaku di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin atau Bundaran Hotel Indonesia (HI). Larangan akan diperluas hingga Jalan Jenderal Sudirman atau Bundaran Senayan. Uji coba perluasan larangan sepeda motor itu, rencananya akan dilakukan pada Selasa (12/09/2017).

Bekerja sekaligus usaha
Sepeda motor adalah kendaraan roda dua yang multifungsi. Ada kenalan saya yang bekerja sebagai staf administrasi di salah satu building di Jalan Jenderal Sudirman. Ia tinggal di sebuah kontrakan di Gang Joe, di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tiap pagi, ia naik motor dengan istrinya, membawa dua tas berisi berbagai macam gorengan. Istrinya, juga staf administrasi, di salah satu komplek ruko di Mampang, Jakarta Selatan. Istrinya turun duluan, dengan membawa serta satu tas, yang kemudian ia titip di pos satpam. Para pelanggan gorengannya, sudah paham hal itu.

Suaminya lanjut ke Jalan Jenderal Sudirman, dengan tas gorengan yang satunya. Ia juga menitipkan di pos satpam. Para pelanggan gorengannya, juga sudah paham hal itu. Berdagang gorengan adalah usaha sampingan suami-istri tersebut, untuk nambah-nambah uang dapur. Pertanyaannya, apakah pengguna sepeda motor seperti mereka, mau pindah ke angkutan umum? Menurut saya, tidak. Alangkah ribet dan mahalnya ongkos yang harus mereka keluarkan, bila naik angkutan umum.

Pengguna sepeda motor di Jakarta, yang bekerja sembari berdagang kecil-kecilan seperti mereka, tak terhitung banyaknya. Ini bagian dari upaya mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup di ibu kota. Ada lagi yang lain. Sehabis jam kerja, mereka bekerja lagi di tempat lain secara part time, mumpung sudah di tengah kota. Toh, mau pulang pun, masih macet. Untuk itu, mereka perlu sepeda motor: agar lincah, agar leluasa moving. Ada lagi yang melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus keterampilan, sepulang kerja. Mereka pun butuh sepeda motor, untuk menyesuaikan diri dengan jadwal.

Tarif parkir sepeda motor di stasiun kereta, belum cukup kompetitif untuk mengalihkan sebagian besar pengguna sepeda motor ke angkutan umum. Karena biaya operasional sepeda motor relatif murah, maka warga lebih banyak yang tetap memilih menggunakan sepeda motor. Baru sebagian kecil yang tertarik untuk beralih ke moda angkutan umum. Foto: isson khairul
Tarif parkir sepeda motor di stasiun kereta, belum cukup kompetitif untuk mengalihkan sebagian besar pengguna sepeda motor ke angkutan umum. Karena biaya operasional sepeda motor relatif murah, maka warga lebih banyak yang tetap memilih menggunakan sepeda motor. Baru sebagian kecil yang tertarik untuk beralih ke moda angkutan umum. Foto: isson khairul
Pertanyaannya, apakah pengguna sepeda motor seperti mereka, mau pindah ke angkutan umum? Menurut saya, tidak. Angkutan umum yang tersedia, sama sekali tidak menjawab kebutuhan mereka. Proses pindah dari satu angkutan umum ke angkutan umum lainnya, minimal 15 menit. Jika saja mereka harus berganti dua kali kendaraan umum, artinya mereka sudah buang waktu 30 menit. Kalau bolak-balik, buang waktunya jadi 60 menit. Nah, dengan sepeda motor, waktu yang terbuang percuma itu bisa dipangkas.

Tarif parkir mahal
Tak usahlah kita bicara tentang tarif parkir yang akan digelembungkan. Dengan tarif yang sekarang berlaku saja, para pengguna sepeda motor sudah merasa kemahalan. Ini mengemuka dalam acara diskusi Kemacetan Sehubungan dengan Konstruksi Infrastruktur Transportasi di Jakarta, pada Rabu (14/06/2017). Saat ini, tarif parkir motor di stasiun kereta Rp 2.000 untuk satu jam pertama, ditambah Rp 1.000 untuk satu jam berikutnya, kemudian setelah tiga jam, tarifnya menjadi Rp 8.000 untuk seharian.

Padahal, tarif KRL CommuterLine yang berlaku saat ini hanya Rp 3.000 untuk 1-25 Km pertama. Kemudian, pada 10 Km berikutnya dan kelipatan, tarif yang dikenakan sebesar Rp 1.000. Artinya, tarif parkir yang harus dibayar pengguna sepeda motor, lebih mahal dari ongkos naik KRL commuter line. Bila diakumulasikan ongkos dan parkir, ya mahal juga. Karena pertimbangan itulah, maka sebagian besar pengguna sepeda motor lebih memilih memacu sepeda motornya menuju tempat kerja, daripada naik moda kereta.

Selain lebih mahal dari tarif KRL, biaya parkir motor di stasiun-stasiun dinilai tidak lebih murah dari harga bahan bakar motor yang harus mereka keluarkan. Hitung-hitungan serta perbandingan yang demikian, adalah hal yang normal di kalangan pengguna sepeda motor. Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin, mengatakan, tarif parkir motor yang kini diberlakukan di stasiun kereta, belum cukup memicu pengguna sepeda motor untuk berpindah dari naik motor ke KRL CommuterLine.

KRL commuter line sudah relatif nyaman, dengan tarif yang sudah terjangkau. Namun, bila diakumulasikan dengan tarif parkir sepeda motor di stasiun kereta, tetap masih terasa mahal. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat sebagian besar pengguna sepeda motor masih enggan beralih ke angkutan umum. Foto: isson khairul
KRL commuter line sudah relatif nyaman, dengan tarif yang sudah terjangkau. Namun, bila diakumulasikan dengan tarif parkir sepeda motor di stasiun kereta, tetap masih terasa mahal. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat sebagian besar pengguna sepeda motor masih enggan beralih ke angkutan umum. Foto: isson khairul
Berbagai komentar dalam acara diskusi Kemacetan Sehubungan dengan Konstruksi Infrastruktur Transportasi tersebut, jelas sekali bahwa moda transportasi umum yang ada kini, sama sekali tidak menjawab kebutuhan pengguna sepeda motor. Waktu tunggu di stasiun dan shelter bus serta naik-turun tangga halte Transjakarta, tidak sebanding dengan efektivitas waktu, bila pakai motor. Sudahlah tidak praktis, mereka pun harus merogoh kocek lebih mahal. Karena itu, mereka tetap memilih pakai sepeda motor. Lebih praktis, lebih murah, dan lebih leluasa tentunya.

Peta pengguna motor
Apa yang dikemukakan Rio Octaviano di atas, ya begitulah adanya. Pengguna sepeda motor hanya mengeluarkan Rp 50.000, untuk 3-4 hari. Mereka sangat cermat menghitung pengeluaran. Artinya, untuk memindahkan pengguna sepeda motor ke angkutan umum, banyak faktor yang harus diatasi. Komponen biaya adalah faktor utama. Jika biaya naik angkutan umum lebih mahal daripada pakai sepeda motor, jangan harap pengguna sepeda motor akan beralih. Apalagi jika tarif parkir mahal seperti di stasiun kereta, ya hanya sebagian kecil saja pengguna sepeda motor yang beralih.

Dari penelusuran saya, upaya mendorong pengguna sepeda motor ke angkutan umum, belum menjadi langkah yang strategis. Baru sebatas coba ini dan coba itu. Juga, larang ini dan larang itu. Atau, batasi ini dan batasi itu. Intinya, tujuan coba-coba itu belum jelas, maka capaiannya pun tidak terukur. Penanganan transportasi dengan cara tambal-sulam yang demikian, hanya menambah keruwetan, makin menyengsarakan pengendara di jalan. Padahal, mereka bayar pajak. Mereka berhak mendapatkan pelayanan.

Pindah moda, misalnya, dari KRL commuter line ke Transjakarta atau sebaliknya, tentulah menyita waktu. Dengan belum terintegrasinya antar moda transportasi di Jakarta, warga merasa tetap lebih praktis menggunakan sepeda motor. Aspek integrasi antar moda ini adalah tantangan tersendiri untuk membenahi transportasi umum di Jakarta. Foto: isson khairul
Pindah moda, misalnya, dari KRL commuter line ke Transjakarta atau sebaliknya, tentulah menyita waktu. Dengan belum terintegrasinya antar moda transportasi di Jakarta, warga merasa tetap lebih praktis menggunakan sepeda motor. Aspek integrasi antar moda ini adalah tantangan tersendiri untuk membenahi transportasi umum di Jakarta. Foto: isson khairul
Perluasan larangan sepeda motor, misalnya, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya mengalihkan pengguna sepeda motor ke angkutan umum. Itu hanya sebatas memindahkan titik macet dari satu area ke area lain. Penolakan pengguna sepeda motor atas perluasan larangan tersebut, boleh jadi karena mereka menilai pihak berwenang sesungguhnya belum memiliki blue print yang komprehensif. Dan, mereka tidak mau menjadi korban dari aturan yang serba coba-coba tersebut.

Rio Octaviano menuturkan, mereka akan melakukan aksi konvoi pada Sabtu (09/09/2017) mendatang. Aksi ini akan melibatkan sekitar 5.000 pengendara roda dua, yang tergabung dalam komunitas dan klub sepeda motor. Rencananya, aksi konvoi akan dimulai dari Patung Panahan, Monas, lalu menuju Lapangan IRTI Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. Kita tahu, di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) setidaknya ada sekitar 100 klub dan komunitas sepeda motor, yang jumlah anggotanya ribuan. Bila aksi penolakan ini tidak dikelola dengan baik, bisa jadi akan ada aksi penolakan yang lebih luas dari itu.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 04 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun