Praktis dan murah. Karena dua alasan itulah, orang pakai sepeda motor. Belum ada transportasi umum yang mampu menandinginya. "Pengguna motor hanya mengeluarkan Rp 50.000, itu bisa untuk 3-4 hari," ujar Rio Octaviano, pada Minggu (03/09/2017).
Rio Octaviano adalah anggota Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA) Indonesia. Ia mengungkapkan hal itu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, menyikapi rencana perluasan pelarangan sepeda motor di Jakarta. Saat ini, pelarangan sepeda motor hanya berlaku di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin atau Bundaran Hotel Indonesia (HI). Larangan akan diperluas hingga Jalan Jenderal Sudirman atau Bundaran Senayan. Uji coba perluasan larangan sepeda motor itu, rencananya akan dilakukan pada Selasa (12/09/2017).
Bekerja sekaligus usaha
Sepeda motor adalah kendaraan roda dua yang multifungsi. Ada kenalan saya yang bekerja sebagai staf administrasi di salah satu building di Jalan Jenderal Sudirman. Ia tinggal di sebuah kontrakan di Gang Joe, di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tiap pagi, ia naik motor dengan istrinya, membawa dua tas berisi berbagai macam gorengan. Istrinya, juga staf administrasi, di salah satu komplek ruko di Mampang, Jakarta Selatan. Istrinya turun duluan, dengan membawa serta satu tas, yang kemudian ia titip di pos satpam. Para pelanggan gorengannya, sudah paham hal itu.
Suaminya lanjut ke Jalan Jenderal Sudirman, dengan tas gorengan yang satunya. Ia juga menitipkan di pos satpam. Para pelanggan gorengannya, juga sudah paham hal itu. Berdagang gorengan adalah usaha sampingan suami-istri tersebut, untuk nambah-nambah uang dapur. Pertanyaannya, apakah pengguna sepeda motor seperti mereka, mau pindah ke angkutan umum? Menurut saya, tidak. Alangkah ribet dan mahalnya ongkos yang harus mereka keluarkan, bila naik angkutan umum.
Pengguna sepeda motor di Jakarta, yang bekerja sembari berdagang kecil-kecilan seperti mereka, tak terhitung banyaknya. Ini bagian dari upaya mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup di ibu kota. Ada lagi yang lain. Sehabis jam kerja, mereka bekerja lagi di tempat lain secara part time, mumpung sudah di tengah kota. Toh, mau pulang pun, masih macet. Untuk itu, mereka perlu sepeda motor: agar lincah, agar leluasa moving. Ada lagi yang melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus keterampilan, sepulang kerja. Mereka pun butuh sepeda motor, untuk menyesuaikan diri dengan jadwal.
Tarif parkir mahal
Tak usahlah kita bicara tentang tarif parkir yang akan digelembungkan. Dengan tarif yang sekarang berlaku saja, para pengguna sepeda motor sudah merasa kemahalan. Ini mengemuka dalam acara diskusi Kemacetan Sehubungan dengan Konstruksi Infrastruktur Transportasi di Jakarta, pada Rabu (14/06/2017). Saat ini, tarif parkir motor di stasiun kereta Rp 2.000 untuk satu jam pertama, ditambah Rp 1.000 untuk satu jam berikutnya, kemudian setelah tiga jam, tarifnya menjadi Rp 8.000 untuk seharian.
Padahal, tarif KRL CommuterLine yang berlaku saat ini hanya Rp 3.000 untuk 1-25 Km pertama. Kemudian, pada 10 Km berikutnya dan kelipatan, tarif yang dikenakan sebesar Rp 1.000. Artinya, tarif parkir yang harus dibayar pengguna sepeda motor, lebih mahal dari ongkos naik KRL commuter line. Bila diakumulasikan ongkos dan parkir, ya mahal juga. Karena pertimbangan itulah, maka sebagian besar pengguna sepeda motor lebih memilih memacu sepeda motornya menuju tempat kerja, daripada naik moda kereta.
Selain lebih mahal dari tarif KRL, biaya parkir motor di stasiun-stasiun dinilai tidak lebih murah dari harga bahan bakar motor yang harus mereka keluarkan. Hitung-hitungan serta perbandingan yang demikian, adalah hal yang normal di kalangan pengguna sepeda motor. Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin, mengatakan, tarif parkir motor yang kini diberlakukan di stasiun kereta, belum cukup memicu pengguna sepeda motor untuk berpindah dari naik motor ke KRL CommuterLine.
Peta pengguna motor
Apa yang dikemukakan Rio Octaviano di atas, ya begitulah adanya. Pengguna sepeda motor hanya mengeluarkan Rp 50.000, untuk 3-4 hari. Mereka sangat cermat menghitung pengeluaran. Artinya, untuk memindahkan pengguna sepeda motor ke angkutan umum, banyak faktor yang harus diatasi. Komponen biaya adalah faktor utama. Jika biaya naik angkutan umum lebih mahal daripada pakai sepeda motor, jangan harap pengguna sepeda motor akan beralih. Apalagi jika tarif parkir mahal seperti di stasiun kereta, ya hanya sebagian kecil saja pengguna sepeda motor yang beralih.
Dari penelusuran saya, upaya mendorong pengguna sepeda motor ke angkutan umum, belum menjadi langkah yang strategis. Baru sebatas coba ini dan coba itu. Juga, larang ini dan larang itu. Atau, batasi ini dan batasi itu. Intinya, tujuan coba-coba itu belum jelas, maka capaiannya pun tidak terukur. Penanganan transportasi dengan cara tambal-sulam yang demikian, hanya menambah keruwetan, makin menyengsarakan pengendara di jalan. Padahal, mereka bayar pajak. Mereka berhak mendapatkan pelayanan.
Rio Octaviano menuturkan, mereka akan melakukan aksi konvoi pada Sabtu (09/09/2017) mendatang. Aksi ini akan melibatkan sekitar 5.000 pengendara roda dua, yang tergabung dalam komunitas dan klub sepeda motor. Rencananya, aksi konvoi akan dimulai dari Patung Panahan, Monas, lalu menuju Lapangan IRTI Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. Kita tahu, di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) setidaknya ada sekitar 100 klub dan komunitas sepeda motor, yang jumlah anggotanya ribuan. Bila aksi penolakan ini tidak dikelola dengan baik, bisa jadi akan ada aksi penolakan yang lebih luas dari itu.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 04 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H