Pelabuhan perikanan terdapat di 896 tempat, sementara stasiun pengisian solar baru ada di 320 tempat. Artinya, ada 576 pelabuhan perikanan, yang tidak memiliki stasiun pengisian solar. Benarkah kita sudah berpihak pada nelayan?
Pada Rabu (30/08/2017), Sjarief Widjaja ditanya tentang rencana pencabutan solar subsidi untuk nelayan di bawah 30 gros ton. Dirjen Perikanan Tangkap itu mendelik. "Sebelum kita bicara tentang subsidi BBM, kita bicara dulu tentang distribusi dan ketersediaan BBM," ujarnya dengan tangkas. Nampaknya, Sjarief Widjaja sudah gemas. Betapa tidak. Sejak tahun 2014, spirit maritim sudah digelorakan, tapi ketersediaan BBM untuk nelayan, masih jauh dari harapan. Harap dicatat, ada 576 pelabuhan perikanan, yang tidak memiliki stasiun pengisian solar.
Nelayan susah beli solar
Pertemuan di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Rabu (30/08/2017) itu, memang membahas nasib nelayan. Selain tentang kehidupan ekonomi mereka, juga mengenai kondisi perkampungan nelayan, yang menjadi tempat mereka bermukim. Kita tahu, sudah setahun lebih, nelayan di kawasan Jembrana, Provinsi Bali, paceklik ikan. Pendapatan mereka merosot. Akibatnya, pendapatan pemerintah daerah dari pajak, juga turun drastis. Demikian pula dengan nelayan di kawasan Pacitan, Jawa Timur. Gelombang laut yang tidak bersahabat, membuat mereka tidak bisa maksimal melaut.
Itu hanya sekadar menyebut dua contoh. Paceklik ikan itu, jadi terasa makin paceklik, karena beban biaya melaut, tidak bisa dibilang murah. Salah satunya, karena harga bahan bakar minyak (BBM) yang melambung. Menurut Sjarief Widjaja, harga solar subsidi hanya Rp 5.100 per liter. Tapi, karena di 576 pelabuhan perikanan tidak ada stasiun pengisian solar, maka nelayan terpaksa membeli lebih mahal. Baik karena ongkos angkut dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), maupun karena nelayan terpaksa membeli dari pedagang solar eceran.
Pada 4 September 2015, saya pernah menulis di Kompasiana tentang minimnya stasiun pengisian solar untuk nelayan, 3.935 Kapal Ikan Antre Bahan Bakar. Yang saya jadikan contoh adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Jawa Tengah. Di sana hanya ada satu stasiun pengisian solar. Sementara, kapal nelayan ada ribuan. Akibatnya, nelayan harus mengantre berjam-jam, bahkan sampai lebih dari sehari, untuk mendapatkan solar. Waktu nelayan banyak terbuang percuma. Sebagian memilih membeli solar di SPBU, dengan harga lebih mahal tentunya.
Solar subsidi dicaplok pengusaha
Urusan bahan bakar untuk nelayan ini, nampaknya cukup kusut. Selain minimnya stasiun pengisian solar di pelabuhan perikanan, juga ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam hal pendistribusiannya. Pemerintah sudah memberikan subsidi, hingga nelayan cukup membeli solar hanya Rp 5.100 per liter. Nyatanya di lapangan, solar subsidi tidak sampai ke nelayan. Yang menikmati justru para pengusaha perikanan, yang tidak patut dapat subsidi. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, geram.
Dalam konferensi pers di Jakarta, pada Senin (31/07/2017), Susi Pudjiastuti blak-blakan minta agar subsidi solar untuk nelayan dicabut saja. Daripada yang menikmati para pengusaha, kan lebih baik cabut subsidi. Menurut saya, ini sudah titik kritis. Dibutuhkan pihak yang berwenang untuk menata serta mengelola, agar solar subsidi benar-benar sampai ke nelayan. Jika saja di tiap pelabuhan perikanan tersedia stasiun pengisian solar dengan jumlah yang memadai, tentu kekisruhan tersebut bisa diminimalkan.
"Yang penting, solar ada di mana-mana, yang penting Bapak janji harus ada solar," ujar Susi Pudjiastuti waktu itu. Bapak yang dimaksud Susi Pudjiastuti adalah Elia Massa Manik, Â Direktur Utama Pertamina, yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut. Menurut saya, kusutnya distribusi solar subsidi untuk nelayan ini, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada langkah strategis, agar subsidi benar-benar sampai kepada yang berhak. Karena, solar subsidi tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meringankan beban nelayan, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Koperasi solar nelayan
Kembali ke 576 pelabuhan perikanan yang tidak memiliki stasiun pengisian solar, apa yang akan dilakukan? Dari penelusuran saya, belum ada rencana yang matang tentang hal itu. Karena ini menyangkut energi serta distribusi BBM untuk nelayan, setidaknya ada tiga pihak yang patut berembuk: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Pertamina. Ketiga pihak tersebut mungkin bisa mencarikan jalan, agar nelayan mendapatkan solar subsidi sebagaimana mestinya.
Dan, keberadaan stasiun pengisian solar di pelabuhan perikanan, adalah salah satu solusi untuk itu. Stasiun pengisian solar tersebut, dinamakan solar pack dealer nelayan (SPDN). Jadi, memang fokus untuk nelayan. Kalau SPBU adalah singkatan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Ini yang membedakan keduanya. Dari penelusuran saya, mekanisme pendirian SPDN dan SPBU, hampir mirip. SPBU, misalnya, saat ini ada 5.300 SPBU di seluruh Indonesia. Menurut Ivan Asmara, Sekretaris Perusahaan Pertamina Retail, pada Jumat (11/08/2017), secara total Pertamina memiliki 140 SPBU yang tersebar di berbagai wilayah.
Apalagi kini Pertamina berencana membangun SPBU mini, dengan skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Targetnya untuk menjangkau wilayah pinggiran Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Ini dikemukakan Gandhi Sriwidodo, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, di Jakarta, pada Kamis (27/07/2017). Kapasitas SPBU UKM tersebut direncanakan 5.000-10.000 kiloliter BBM. Kapasitas ini relevan dengan pelabuhan perikanan, untuk memenuhi kebutuhan nelayan akan solar.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 31 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H