Ketika saya remaja, negeri ini berlimpah pangan. Itu tahun 1984, saat Indonesia mencapai swasembada pangan. Kala itu, negeri kita menyumbang 100.000 ton gabah kering untuk petani miskin dunia. Dan, saya merasa menjadi bagian dari swasembada pangan itu. Kenapa?
Begini, ceritanya. Saya tinggal di suatu desa di Sumatera Barat. Kami, para remaja desa, belajar mengaji di surau desa. Tiap hari, sejak magrib hingga habis subuh, kami belajar ngaji serta tidur di surau. Setelah itu pulang, kemudian berangkat ke sekolah. Bertahun-tahun seperti itu. Khusus hari Minggu, karena sekolah libur, kami gotong-royong membersihkan surau dan masjid. Selain itu, kami juga gotong-royong membersihkan saluran air, yang mengairi areal persawahan. Karena itulah, saya merasa menjadi bagian dari swasembada pangan itu.
Membawa Cangkul Hari Sabtu
Seingat saya, pada masa itu, ada sekitar 50 remaja desa yang mengaji di surau. Ada yang usianya di atas saya, ada pula yang di bawah saya. Surau itu berupa bangunan rumah panggung, dengan lantai dan dinding terbuat dari kayu. Lokasi surau berdekatan letaknya dengan masjid. Secara fungsi, surau hanya untuk belajar mengaji dan untuk tidur. Semua tidur di lantai kayu beralaskan tikar pandan. Tidak ada kasur, juga tidak ada bantal. Untuk shalat, ya di masjid.
Masjid dan surau di desa saya, berdekatan dengan sungai besar, yang arusnya cukup deras. Tiap pagi, sebelum subuh, kami semua mandi di sungai. Jika pada hari biasa, kami berangkat ke surau sebelum magrib, hanya membawa sarung saja. Tapi, pada hari Sabtu, kami wajib membawa cangkul, parang, dan sabit. Kenapa? Karena, besoknya kan Minggu, sekolah libur. Hari Minggu adalah hari gotong-royong anak mengaji, itu diketahui oleh seluruh warga desa.
Guru mengaji kami adalah petani, yang sehari-hari bekerja di sawah. Saat saya remaja, ada empat orang guru yang mendampingi kami. Semuanya petani. Para guru itu pula yang mendampingi kami melakukan gotong-royong. Tiap hari Minggu, sehabis subuh, dengan peralatan masing-masing, kami berjalan kaki menuju areal persawahan. Guru kemudian menugaskan kami secara berkelompok, membersihkan aliran air. Pada masa itu, aliran air, yang kerap disebut sebagai tali air, berupa tanah.
Pesta Anak Mengaji
Kami melakukan gotong-royong sampai pukul 10.00 siang. Setelah itu, kami langsung nyebur ke sungai di sebelah surau. Selanjutnya, berganti pakaian. Tahap berikutnya yang selalu kami tunggu bersama adalah makan bersama. Wow, ini benar-benar pesta, pesta anak mengaji. Berbagai makanan dengan lauk-pauk sudah tersaji di surau. Itu adalah makanan kiriman dari ibu-ibu kami sedesa. Kami gotong-royong membersihkan tali air tiap hari Minggu, dengan penuh tulus-ikhlas. Tanpa bayaran, tanpa upah sama sekali.
Yang kami nikmati adalah makan bersama ini. Keempat guru kami selalu mendampingi. Sambil makan, guru bercerita tentang fungsi air untuk sawah. Juga, bercerita tentang apa yang akan terjadi jika padi di sawah kekurangan air. Pada masa remaja itu, saya tidak terlalu paham, cerita guru ya lewat begitu saja di kuping. Saya dan teman-teman sedesa merasa lebih asyik menyantap ini dan itu, mengudap yang sana dan yang sini. Suka-ria makan bersama itu menghapus rasa lelah gotong-royong membersihkan tali air.
Oh, ya, ada juga kalanya di minggu-minggu tertentu kami tidak membersihkan tali air. Libur gotong-royong? Oh, tentu tidak. Sebagai selingan, guru mengajak kami berburu tikus di sawah. Bagi saya dan teman-teman, berburu tikus lebih seru. Caranya, kami memompakan asap ke lubang tikus yang kami temui. Dapat dipastikan, para tikus itu akan lari terbirit-birit dari lubang persembunyiannya. Nah, kami berbagi tugas. Ada yang memompakan asap, ada yang siap mengejar serta menangkap tikus dengan jaring yang sudah disiapkan.