Ketika musim bunga tebu tiba
Mereka memotong tangkai gelagah
Dan menjualnya untuk mainan anak
Begitulah cara orang desa mencari tambahan. Begitulah cara musisi balada Franky & Jane menggambarkan nasib buruh tebu, di sebuah pabrik gula, di suatu desa. Buruh itu bernama Siti Julaika, lagu itu dirilis tahun 1982. "Mayoritas petani tebu di desa, hidup ala kadarnya. Meski tidak sampai kelaparan, namun tidak banyak yang mampu membeli kendaraan bermotor," ujar Turut Raharjo, pada Senin (05/06/2017). Ia petani tebu dari Desa Clumprit, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia sudah bertani tebu sejak tahun 1970-an.
Desa Belum Berubah
Tahun 1982 hingga tahun 2017, tentulah sebuah rentang waktu yang cukup panjang. Setidaknya, di rentang itu, sudah 35 kali kita merayakan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan, nasib petani tebu, nampaknya tak kunjung berubah. Mayoritas petani tebu di desa, hidup ala kadarnya, begitu Turut Raharjo, seorang petani tebu, menggambarkan. Gambaran nasib petani tebu di atas, hanyalah salah satu contoh, untuk menggambarkan nasib petani tanaman lain: petani padi, petani palawija, petani garam, dan petani lainnya.
Gambaran nasib petani di desa, seperti nyanyian Franky & Jane dan tuturan Turut Raharjo, mungkin bisa disebut sebagai penggambaran sederhana. Tidak didukung oleh data dan angka, hanya sebatas kata-kata. Mudah dibantah, mudah pula disanggah oleh kaum terpelajar, termasuk oleh mereka yang tengah berkuasa. Okelah, sekarang mari kita cermati gambaran petani yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS). Nilai tukar petani dari Juni 2016 ke Juni 2017, anjlok dari 101,47 menjadi 100,53.
Istilah membangun dari pinggiran dan istilah kebijakan yang berpihak kepada wong cilik, nampaknya masih perlu kita susuri kembali. Bila kita korelasikan dengan nasib petani di atas, mungkin kedua istilah yang kerap digaungkan di berbagai upacara tersebut, langsung buyar setelah upacara selesai. Untuk sekadar memberi sensasi, kata buyar bisa diganti dengan ambyar. Namun, nasib petani tidak sepatutnya dijadikan sensasi. Apalagi cuma dijadikan istilah. Karena, pada petanilah sesungguhnya kita tumpukan harapan, agar kebutuhan pangan tercukupi.
Daya Beli Petani
Di hari-hari ini, orang-orang kota asyik berdebat tentang daya beli. Ada yang dengan nada bertanya: benarkah daya beli menurun? Ada pula yang dengan yakin berkata: daya beli tidak turun. Juga, ada yang sudah mengklaim: daya beli turun. Sebagai orang biasa, saya membaca serta mendengar perdebatan tentang daya beli itu. Mereka bersikukuh dengan argumen masing-masing, juga dengan parameter yang mereka gunakan. Salah? Belum tentu. Benar? Belum tentu juga.
Bagi saya, anjlok-nya nilai tukar petani dan turun-nya upah riil pekerja pertanian secara beruntun, cukuplah untuk memahami kondisi daya beli petani kini. Dalam konteks wong cilik, sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), upah riil buruh bangunan, turun hampir 2 persen, dari Rp 65.997 per hari Juni 2016 menjadi Rp 64.736 pada Juni 2017. Secara keseluruhan, penurunan paling tajam dialami oleh petani tanaman pangan. Oh My God, bukankah petani pangan adalah tumpuan harapan kita? Bukankah kita semua butuh pangan?
Para komentator daya beli, entah kenapa, tidak tertarik untuk fokus menelaah tentang daya beli petani ini. Apakah karena petani tinggal di desa, hingga nasib mereka tidak relevan untuk diketahui orang kota? Ada memang yang menyebut, nilai konsumsi kelompok petani ini relatif kecil, dalam keseluruhan konsumsi masyarakat. Artinya, nilai konsumsi petani, tidak signifikan pengaruhnya terhadap turun atau tidaknya daya beli masyarakat secara nasional. Karena konsumsi petani nggak ngaruh, maka anjlok-nya nilai tukar petani dan turun-nya upah riil pekerja pertanian secara beruntun, dianulir oleh para komentator daya beli. Sungguh nestapa nasib para petani kita. Sungguh terlalu para komentator daya beli kita.
Desa yang didiami para petani, sesungguhnya penuh dengan potensi ekonomi. Sawah dan ladang yang menjadi sumber utama pangan kita, sebagian besar ada di desa. Perkebunan kopi yang menjadi salah satu primadona ekspor kita, juga tersebar di berbagai desa. Komoditas karet yang merupakan produk unggulan ekspor kita, juga adanya di desa-desa. Kayu jati yang tumbuh di hutan jati, yang harga jualnya sangat tinggi, ya adanya di desa juga. Makmur dan sejahterakah warga desa kita?
"Saya harus ngomong apa adanya," ujar Presiden Joko Widodo. "Di lingkungan hutan-hutan jati itu, justru yang banyak kemiskinan. Benar enggak?" tanya Jokowi saat berpidato di acara Hari Lingkungan Hidup 2017, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, pada Rabu (02/08/2017). Joko Widodo memang tidak membeberkan, seperti apa daya beli warga desa di seputaran hutan jati. Namun, dengan penekanan di lingkungan hutan-hutan jati, justru yang banyak kemiskinan, kita tentu paham kondisi daya beli warga di desa-desa tersebut.
Dalam konteks membangun dari pinggiran serta meningkatkan ekonomi warga desa, triliunan dana dialirkan ke 75.000 desa di tanah air. Dalam APBN-P 2015, dana yang dialirkan ke desa sebesar Rp 20,76 triliun. Pada APBN-P 2016, sebesar Rp 46,98 triliun. Dan, di tahun 2017 ini, sebesar Rp 60 triliun. "Meski dana desa tiap tahun meningkat, tetapi desa tertinggal dan sangat tertinggal besar sekali," kata Teguh Widodo Boediarso, Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (Kemkeu), dalam diskusi publik di Demang Restaurant & Lounge, Sarinah, Jakarta Pusat, pada Kamis (03/08/2017).
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 09 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H