Jumat-Minggu (04-06/08/2017), Singapore Airlines menggelar Travel Fair di Mal Gandaria City. Ini bagian dari perjuangan maskapai Singapura itu dari gempuran maskapai berbiaya murah di Asia dan Timur Tengah. Mampukah Singapore Airlines lolos dari krisis?
Kita tahu, selama puluhan tahun, Singapore Airlines leading sebagai acuan berbagai maskapai dari penjuru dunia. Salah satu performa maskapai ini yang diadopsi oleh banyak maskapai lain: Customer Satisfaction. Di berbagai iklan Singapore Airlines, kita dengan mudah menangkap substansi maskapai ini: menempatkan pelanggan di posisi terpenting dalam setiap hal yang dilakukan, di semua kelas penerbangan. Tapi, sejak kuartal keempat tahun buku terakhir, maskapai ini terus didera kerugian.
Memburu Tiket Murah
Kerugian, dan juga keuntungan, sesungguhnya adalah hal yang lumrah di dunia bisnis, termasuk di bisnis penerbangan. Berjuang untuk meraih keuntungan serta bertarung agar tidak terjerembab ke dalam kerugian, itulah seni berbisnis. Memperkecil kerugian dan meraih keuntungan, sama-sama tercatat sebagai prestasi dalam bisnis. Dan, menyaksikan warga Jakarta yang sangat antusias menyambut Singapore Airlines Travel Fair, tentulah sebuah sensasi tersendiri bagi manajemen maskapai penerbangan Singapura tersebut.
Pada Jumat (04/08/2017, sejak pukul 05.00 WIB, antrean panjang sudah terjadi, memenuhi pelataran. Ratusan orang dengan sabar menanti, agar bisa masuk ke pintu lobi sebelah barat mal Gandaria City di Jakarta Selatan tersebut. Padahal, mall baru dibuka pukul 10.00 WIB. Luar biasa. Ada banyak dimensi bisnis yang bisa kita maknai dari antusiasme pagi itu.Â
Salah satunya, Singapore Airlines adalah maskapai yang prestisius. Harga tiketnya tentu saja tidaklah murah. Maka, Travel Fair adalah momentum untuk mendapatkan kesempatan menikmati sensasi terbang bersama Singapore Airlines, dengan tiket super diskon. Karena itu, antre sejak subuh, rasanya sepadan dengan apa yang akan didapatkan.
Dimensi yang lain, memburu tiket murah dan mengejar diskon besar-besaran, itulah behaviour pengguna maskapai penerbangan kini. Itu bukan hanya perilaku warga Jakarta, tapi sudah menjadi perilaku warga dunia. Sejumlah bahasan tentang perilaku ini menyebut bahwa itulah ekspresi dari konsumen yang semakin cerdas dan kritis. Ada juga yang menyebut, pemburu tiket murah tersebut adalah kelompok masyarakat yang value conscious. Mereka punya uang dan mereka memiliki kesadaran penuh akan nilai uang tersebut, hingga mereka smart mengalokasikan tiap sen dana yang dimiliki.
Maskapai Berbiaya Rendah
Kelompok masyarakat yang value conscious ini ada dan tumbuh di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Hal tersebut turut memengaruhi pilihan mereka akan maskapai penerbangan. Untuk liburan dengan keluarga, misalnya, mereka lebih memilih maskapai berbiaya rendah, karena mereka ingin mengalokasikan dana lebih banyak di tempat tujuan. Menurut analis penerbangan, Shukor Yusof, dari Endau Analytics, segmen bisnis Singapore Airlines telah terpukul keras, karena penumpang lebih banyak beralih ke maskapai berbiaya rendah.
Dalam berita di atas disebutkan, Singapore Airlines telah mengalami krisis dan mencatat kerugian sejak kuartal keempat tahun buku terakhir. Tidak ada rincian, berapa nilai kerugian yang sudah dibukukan maskapai tersebut. Juga, tidak ada data, apakah maskapai ini telah mengurangi frekuensi penerbangannya? Dan, tentang penumpang lebih banyak beralih ke maskapai berbiaya rendah, juga tidak ada data, berapa persen tingkat penurunan penumpang Singapore Airlines. Secara destinasi memang disebutkan, gempuran maskapai berbiaya murah dialami Singapore Airlines di Asia dan Timur Tengah. Â
Yang mendapatkan highlight dalam berita di atas, Singapore Airlines menawarkan cuti di luar tanggungan untuk para kru kabin maskapai tersebut. Total awak kabin maskapai ini, 8.200 orang. Tawaran cuti tanpa bayaran itu, opsinya untuk September dan November tahun ini. Tawaran ini diajukan, agaknya karena maskapai kelebihan awak, karena jumlah penumpang Singapore Airlines terus tergerus oleh maskapai berbiaya murah.Â
Tawaran cuti tanpa bayaran tersebut tentu saja kontradiktif dengan reputasi Singapore Airlines sebagai maskapai yang prestisius. Shukor Yusof menilai, tawaran cuti tanpa bayaran tersebut merupakan sinyal bahwa maskapai itu kian sulit untuk bertahan.
Krisis Singapore Airlines ini, menurut saya, akan terus bergulir. Pertama, karena kebijakan tawaran cuti tanpa bayaran tersebut dilakukan manajemen maskapai ini, dengan tujuan untuk memotong biaya, karena perusahaan sedang berjuang untuk bertahan di pasar yang semakin sulit. Kedua, karena manajemen maskapai ini sudah memiliki rencana untuk menawarkan opsi tersebut dari waktu ke waktu di masa depan. Kedua hal tersebut merupakan indikator yang cukup kuat, yang menunjukkan, betapa tidak sehatnya kondisi finansial Singapore Airlines. Â Â Â
Skema cuti tanpa bayaran tersebut, memang bukan hal baru di tubuh maskapai ini. Cara yang sama sudah pernah dilakukan, terakhir dilakukan pada tahun 2009, setelah krisis keuangan global. Dalam konteks kebijakan bisnis, ini memang suatu pilihan. Dan, bagi Singapore Airlines sebagai maskapai yang prestisius, pilihan tersebut dengan sendirinya akan menggerus reputasi perusahaan. Â Â Meski perusahaan belum mengungkapkan seberapa tidak sehatnya kondisi finansial, ini makin menguatkan dugaan, maskapai tersebut memang sudah, sedang, dan terus didera kerugian.
Singapore Airlines sesungguhnya sudah memprediksi akan terjadinya gempuran dari maskapai berbiaya murah. Kita tahu, maskapai ini merupakan maskapai terbaik di dunia, sekaligus tertua di Singapura. Berdiri sejak tahun 1972. Untuk melindungi gempuran tersebut, Singapore Airlines membeli Tigerair pada tahun 2014.Â
Tigerair sendiri sudah beroperasi sejak tahun 2004. Tigerair adalah maskapai berbiaya rendah atau low cost carrier (LCC), yang menjadi favorit para budget traveller. Reputasi Tigerair juga mengagumkan. Tercatat sebagai salah satu maskapai teraman di Asia, belum pernah ada kecelakaan fatal yang memakan korban, hingga tahun 2015.
Berbagai upaya tersebut mungkin cukup untuk buy the time, untuk menunda kerasnya gempuran dari maskapai berbiaya murah. Namun, melihat perubahan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di Asia dan Timur Tengah, berbagai upaya Singapore Airlines tersebut, nampaknya belum cukup. Apalagi kelompok masyarakat yang value conscious makin eksis dan tumbuh di mana-mana, di berbagai belahan dunia.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
 Jakarta, 05 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H