Industri baja dari China saat ini menguasai 50 persen pasar dunia. Semua perusahaan baja dunia menyurati China. Kita marah semua. China sulit sekali dihadapi. Itulah keluhan Purwono Widodo, Direktur Pemasaran Krakatau Steel.
Rentetan keluhan Purwono Widodo itu, saya baca kemarin, Kamis (03/08/2017), di Kompas.com. Ini tentu saja tidak mengagetkan. Kenapa? Karena, kategori industri yang lain sudah mengalami tekanan dari produk China, jauh sebelumnya. Industri mainan anak-anak, misalnya, sudah babak-belur oleh mainan anak-anak buatan China, sejak awal tahun 2010. Terus, sejak akhir tahun 2011, batik buatan China sudah membanjiri pasar Tanah Abang dan pasar lain di tanah air. Industri tekstil dan garmen kita, terdesak. Terus, apa strategi Krakatau Steel?
China Selalu Banjiri Produk
Kita tahu, strategi China tetap konsisten dari tahun ke tahun: membanjiri negara tujuan dengan produknya. Misalnya, pada tahun 2013. Indonesia butuh produk besi dan baja impor, hanya lima juta ton. Apa yang terjadi? China membanjiri pasar Indonesia dengan produk besi dan baja mencapai 10 juta ton. Akibatnya, pasar besi dan baja dalam negeri terdistorsi. Sebagai produsen baja, Krakatau Steel tentu memiliki catatan khusus tentang hal tersebut.
Jadi, meski semua perusahaan baja dunia menyurati China agar mengurangi produksi bajanya, besar kemungkinan China tidak akan mau didikte. Mari kita belajar dari situasi tahun 2013 tersebut. Pada tahun itu, pasar Eropa sedang menciut, hanya mampu menyerap 10 juta ton besi dan baja. Dalam kondisi normal, China memasok pasar Eropa 23 juta ton. Apakah China mengurangi produksinya? Tidak. China justru membanjiri pasar di negara-negara di luar pasar Eropa, agar negara-negara tersebut menyerap 13 juta ton produk, yang tidak terserap oleh pasar Eropa.
![Untuk menjadi produsen baja dunia, China menyiapkan 25 pelabuhan sebagai pintu masuk impor bijih besi dari berbagai negara pengekspor, termasuk dari Indonesia. Ada suatu masa, pada periode 31 Desember 2013 sampai dengan 6 Januari 2014, cadangan bijih besi impor di China, berlebih. Ini sebagai penanda, betapa agresifnya China untuk menguasai baja dunia. Foto: m latief-kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/04/baja-china-2-5984118b57c78c1f320a8c52.jpg?t=o&v=770)
Itu baru perusahaan yang direct berinvestasi dari China. Ada sejumlah perusahaan China lainnya, yang berbasis di Singapura, kemudian berinvestasi di negeri kita. Kalau yang masuk via Singapura itu dicatat sebagai investor China, barangkali posisi China sudah menjadi negara investor nomor 1 di Indonesia. Posisi nomor 1 itu memang diinginkan oleh China. Lihatlah, volume investasi direct China ke Indonesia, dari tahun 2015 hingga pertengahan tahun 2016, melonjak hingga 532 persen. Sekretaris Jenderal Kamar Dagang China di Indonesia, Liu Cheng, pada Rabu (18/01/2017), Â mengatakan, China terus berkomitmen untuk menjadi investor nomor satu di Indonesia.
China Tujuan Ekspor Utama
Melihat agresivitas China dalam berinvestasi, mencermati investasi China di Indonesia, maukah China mengurangi produksi bajanya, hanya karena permintaan Krakatau Steel? Atau, hanya karena permintaan pengusaha baja dari negara-negara Asean? Saya pikir, tidak. China bukan negara yang mau didikte, setidaknya dalam urusan perdagangan. Dan, kita tahu, China sangat penting artinya bagi perdagangan Indonesia. Kenapa? Karena, China merupakan negara yang menjadi tujuan utama ekspor non-migas Indonesia.
![Pada tahun 2014, perusahaan baja China, Shanxi Haixin and Steel Group, membangun dua pabrik besi baja di Indonesia, dengan menggandeng perusahaan lokal tentunya. Jadi, selain membanjiri pasar Indonesia dengan produk ekspor, China juga memasok kebutuhan baja kita dengan produk baja yang diproduksi di Indonesia. Kedua pabrik tersebut menghasilkan produk super low carbon nickel titanium dan special steel, dengan kapasitas 100 ribu meter ton per tahun untuk satu line produksi. Foto: kontan.co.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/04/baja-china-3-598411b45cab7e738c34df42.jpg?t=o&v=770)
Kembali ke baja, kebutuhan China sendiri hanya di kisaran 400-550 juta ton. Sementara, China konsisten memproduksi baja mencapai 800 juta ton per tahun. Dengan demikian, ada 400 juta ton baja China yang diproduksi untuk membanjiri pasar dunia. Bandingkan dengan kapasitas terpasang Krakatau Steel yang saat ini hanya 4 juta ton baja per tahun. Sementara, kebutuhan dalam negeri tahun ini diperkirakan menembus 15 juta ton. Artinya, produksi baja Krakatau Steel masih jauh untuk mampu memenuhi permintaan domestik. Dan, secara finansial, Krakatau Steel terus mencatatkan kerugian, sejak tahun 2012. "Untuk semester kedua tahun ini, kami sudah bisa cetak profit," ujar Dirut Krakatau Steel, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi.
Dengan posisi China sebagai negara tujuan utama ekspor non-migas Indonesia, maukah China mengurangi produksi bajanya, hanya karena permintaan Krakatau Steel? Dengan kapasitas produksi hanya 4 juta ton per tahun dan merugi sejak tahun 2012, maukah China mengurangi produksi bajanya, hanya karena permintaan Krakatau Steel? Saya pikir, tidak. China bukan negara yang mau didikte, setidaknya dalam urusan perdagangan. Bila melihat posisi Indonesia dan mencermati kapasitas Krakatau Steel, kita mungkin hanya bisa marah, tapi tidak mungkin mendikte kebijakan bisnis China.
Di Kompas.com pada Kamis (03/08/2017) itu, Â Direktur Pemasaran Krakatau Steel, Purwono Widodo, mengatakan, "Mereka janji kurangi jumlah produksi, tapi nyatanya malah jumlah produksinya naik. Ini ada modus bahwa China lakukan pembunuhan berencana baja di Asean." Hmmm, saya ingat apa yang pernah saya baca di Majalah TEMPO edisi 18 April 2010, halaman 93. Majalah berita mingguan itu menulis, pemerintah akhirnya tak jadi menegosiasi ulang dua ratusan pos tarif sektor industri dengan pemerintah China. Pengusaha yang semula getol menentang perjanjian bebas China-Asean berbalik mendukung.
Memang tidak mudah menghadapi perdagangan China. Baik di level pengusaha, maupun di tingkat pemerintahan. Di era perdagangan bebas kini, juga dengan adanya perjanjian bebas China-Asean, nampaknya makin tidak mudah menghadapi China. Dominasi China terlalu tangguh untuk dihadapi, bahkan oleh negara-negara Asean. Dalam konteks industri baja, di regional Asean, Vietnam adalah negara yang patut diperhitungkan. Indonesia menjadi salah satu pasar potensial untuk produk baja lembaran dari perusahaan baja lembaran di Vietnam. Jadi, bukan hanya besi dan baja dari China yang menyerbu pasar Indonesia, tapi juga dari Vietnam.
Dari penelusuran saya di berbagai media, masuknya baja dari Vietnam ke Indonesia, tidak sepenuhnya produksi Vietnam. Mengagetkan? Inilah bisnis. Perdagangan bebas Asean telah dijadikan pintu masuk oleh produk-produk China. Baja dari China diangkut lewat darat ke Vietnam, kemudian dikapalkan ke Indonesia sebagai ekspor Vietnam. Dengan demikian, ada baja China yang masuk ke Indonesia secara direct dari China, dengan payung hukum perjanjian bebas China-Asean. Dan, ada baja China yang masuk ke Indonesia melalui Vietnam, dengan payung hukum perjanjian perdagangan bebas Asean.
![Pegawai Krakatau Steel sedang memantau pembuatan lembaran baja panas di perusahaan baja tersebut di Cilegon, Provinsi Banten. Cilegon sebagai kota industri, banyak menarik investor, berkat kelengkapan infrastruktur di sana: jalan tol, pelabuhan, dan stasiun kereta. Kota itu dikenal sebagai kota penghasil baja. Foto: dwi bayu radius-kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/04/baja-china-5-598412170e53ac254857bb43.jpg?t=o&v=770)
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 04 Agustus 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI