Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta
Itu petikan dari lagu Iwan Fals, Berkacalah Jakarta. Ini salah satu dari 9 lagu yang ada di album Sugali, yang dirilis pada tahun 1984. Di hari-hari ini, Rp 32 miliar tunggakan sewa di 23 rusun, mungkin menjadi salah satu cermin tempat Jakarta berkaca. Dalam 23 rusun itu, ada Nek Mimi, yang barangkali pas untuk kita jadikan cermin tempat berkaca. Mengacai diri sebagai warga Jakarta.
Berkaca dari Hari Tua
Suatu hari, kita akan menjadi tua. Dan, suatu saat, kita akan tinggal sendiri, ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Begitulah Nek Mimi, yang kini tinggal seorang diri di rusun Pesakih Blok B/210, Jl. Daan Mogot, Kalideres, Jakarta Barat. Nama lengkapnya Siti Bunga, usianya kini sudah 70 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di perkampungan nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Setelah tempat tinggalnya digusur, ia pun dipindahkan ke rusun Pesakih.
Ketika bermukim di Muara Angke, aktivitasnya cukup padat. Mulai dari jualan kerang, jualan ikan, kadang mengolah ikan menjadi ikan asin. Maklum, perkampungan nelayan itu nyaris menggeliat sepanjang waktu. Di Muara Angke pada masa itu, ada banyak pilihan pekerjaan untuk perempuan seperti Nek Mimi. Penghasilannya pun cukup lumayan. Lebih dari cukup untuk membayar sewa rumah dan untuk biaya hidup sehari-hari. Termasuk, untuk membiayai dua anaknya pada masa itu.
Kini, di rusun Pesakih, Nek Mimi tinggal sendirian, karena kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di luar rusun. Ia juga masih terus aktif bekerja. Mulai dari membentuk kardus kue, membantu pekerjaan rumah tangga para tetangga, hingga memijat. Semua itu dilakoninya di rusun. Penghasilannya dalam 20 hari membentuk kardus kue sebanyak 8 karung, hanya sebesar Rp 40 ribu saja. Uang segitu tentu saja tidak cukup. Untuk makan sehari-hari, meski sendirian, agaknya sudah mepet banget. Apalagi untuk membayar sewa rusun sebesar Rp 300 ribu per bulan.
Berkaca dari Penggusuran
Secara grand total, tunggakan sewa di 23 rusun di Jakarta, hingga Juni 2017, mencapai Rp 32 miliar. Kita tahu, sebagian besar penghuni rusun tersebut adalah warga Jakarta yang pemukiman mereka sudah digusur. Secara tempat tinggal, karena kini mereka bermukim di rusun, tentulah lebih bermartabat, dibanding tinggal di perkampungan kumuh sebelumnya. Secara kesehatan, lingkungan rusun tentu juga lebih sehat, ketimbang di lingkungan kumuh tersebut. Namun, secara finansial, mereka tidak lebih sehat.
Nek Mimi, misalnya, penghasilan dalam 20 hari membentuk kardus kue sebanyak 8 karung, hanya sebesar Rp 40 ribu saja. Bandingkan dengan ketika ia masih tinggal di perkampungan nelayan Muara Angke. Penghasilan Rp 40 ribu itu, agaknya akan ia raih hanya dengan jualan ikan sehari saja. Ia tidak perlu modal untuk jualan ikan. Saya pernah cukup lama tinggal di permukiman nelayan. Para nelayan itu senang, ada yang menjualkan ikan mereka. Setelah laku, uang disetorkan, dan kita dapat uang lelah dari nelayan.
Maka, penghasilan Rp 40 ribu itu, bukan hal yang mustahil bisa diraih Nek Mimi, hanya dengan jualan ikan sehari saja, saat tinggal di Muara Angke. Tergerusnya penghasilan warga Jakarta, setelah digusur kemudian tinggal di rusun, adalah realitas yang patut kita cermati dengan sungguh-sungguh. Tunggakan sewa di 23 rusun di Jakarta, hingga Juni 2017, yang mencapai Rp 32 miliar, adalah salah satu indikator yang menunjukkan, ada masalah dengan kesehatan finansial penghuni rusun.
Berkaca dari Penghuni Rusun
Masalah kesehatan finansial penghuni rusun Pesakih, Jakarta Barat, itu, barangkali karena sebagian besar penghuni digusur dari perkampungan nelayan. Mereka mungkin menghadapi kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru di rusun, khususnya untuk mendapatkan penghasilan. Faktor kesamaan dan perbedaan lingkungan tempat digusur dengan lingkungan rusun, bisa kita bandingkan dengan penghuni rusun Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Penghuni rusun Jatinegara Barat umumnya adalah warga gusuran dari Kampung Pulo, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rusun yang mereka tempati kini.
Ketika saya susuri lebih detail, ternyata ada perbedaan yang sigfikan. Penghuni rusun Pesakih umumnya pekerja serabutan di perkampungan nelayan. Sementara, umumnya penghuni rusun Jatinegara Barat adalah pedagang. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal semula, proses adaptasi untuk mendapatkan penghasilan, relatif lebih cepat. Apalagi, di rusun Jatinegara Barat, penghuni diberi fasilitas gratis berupa etalase untuk berdagang oleh Dinas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) DKI Jakarta.
Sekali lagi, tunggakan sewa di 23 rusun di Jakarta, hingga Juni 2017, yang mencapai Rp 32 miliar, adalah salah satu indikator yang menunjukkan, ada masalah dengan kesehatan finansial penghuni rusun. Berkaca pada apa yang terjadi di rusun Pesakih dan rusun Jatinegara Barat, memang sudah sepatutnya berbagai pihak yang relevan, menyikapi semua ini secara komprehensif. Meski mereka sudah tinggal di rusun yang bermartabat, tapi karena masalah kesehatan finansial penghuni belum ada solusi, tetap saja akan menjadi beban sosial yang berkepanjangan.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 03 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H