Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno. Presiden pertama kita itu lahir di Surabaya, pada 6 Juni 1901. Pancasila dilahirkan di Ende dan diproklamirkan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Inilah catatan untuk menghormati Sang Proklamator.
Kota Ende meninggalkan kesan yang mendalam bagi Bung Karno. Setelah Indonesia merdeka, tiga kali Bung Karno berkunjung ke Ende, dan dengan penuh suka-cita, sang proklamator menari wanda pa'u bersama rakyat setempat. Ende, sungguh mengesankan.
Wanda pa'u adalah tarian yang penuh dengan kegembiraan. Secara harfiah, wanda berarti tarian dan pa'u berarti menukar atau meng-over. Karena itu, masing-masing penari memegang selendang, yang merupakan kain tenun khas Ende. Pria yang memegang selendang, misalnya, akan meng-over selendang itu kepada seorang wanita. Itu artinya, ia mengajak sang wanita untuk menari. Begitu pula sebaliknya. Tarian suka-cita ini diiringi musik nggo wani, lamba, dan feko genda.
Ndona, Sentra Tenun Ikat
Selendang yang digunakan untuk menari wanda pa'u itu adalah salah satu produk kerajinan tenun masyarakat Ende. Kita tahu, menenun bagi masyarakat Ende, khususnya kaum wanita, adalah aktivitas sehari-hari. Keterampilan menenun tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itulah, hampir di tiap rumah di Kabupaten Ende khususnya dan di Pulau Flores umumnya, kita bisa menemukan alat tenun. Juga, bergulung-gulung benang untuk ditenun.
Menjelang sore, kita bisa menyaksikan pemandangan yang menakjubkan, tatkala para wanita di sana tengah menenun di teras rumah masing-masing. Salah satunya, datanglah ke Ndona, untuk menyaksikan para penenun tersebut. Saya sengaja singgah ke sana, ke Ndona, sebuah Kecamatan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Ada 14 kelurahan di kecamatan ini: Kekasewa, Kelikiku, Lokoboko, Manulondo/manulando, Nanganesa, Ngalupolo, Ngauroga/ngaluroga, Nila, Onelako, Puutuga, Reka, Wolokota, Wolotopo, dan Wolotopo Timur.Â
Ndona sejak dulu terkenal sebagai sentra kerajinan tenun ikat. Para penenun piawai tumbuh subur di wilayah ini. Mereka berlomba-lomba menghasilkan karya tenun dengan kualitas yang baik, untuk dijual. Salah seorang penenun senior di Ndona, bernama Sisilia Sii, yang namanya tidak asing bagi pencinta tenun ikat Ende. Di usia senjanya, ia masih cermat memainkan jari-jemarinya, melilit tali dari daun gewang pada benang untuk membentuk motif.
Sisilia Sii belajar menenun dari sang ibu dan pertama kali menenun sendiri, sejak tahun 1959. Ketekunan Sisilia Sii dalam menenun selama bertahun-tahun, telah didokumentasikan oleh Roy W. Hamilton, seorang peneliti tenun ikat tradisional asal Amerika Serikat. Ada dua buku yang sudah diterbitkan Roy W. Hamilton tentang tenun Ende, Gift of The Cotton Maiden, Textile of Flores and the Solor Islands dan Weavers Stories from Island Southeasth Asia. Buku itu dipersembahkan Roy untuk Fowler Museum of  Cultural  History, University of California, Los Angeles.
Merawat Tenun sebagai Warisan Ende
Kain tenun Ende adalah salah satu kain tenun terbaik di Indonesia. Selain sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat Ende, para penenun di Ende sekaligus telah merawat tradisi menenun tersebut secara turun-temurun. Pada Rabu (8/3/2017) lalu, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, digelar kegiatan sosial bertajuk Warisan Ende. Kegiatan ini diinisiasi oleh Yanti Tambunan, pendamping pengrajin tenun sekaligus Ketua Umum Diva Baksos Community.
Acara berupa penggalangan dana untuk meningkatkan kesejahteraan para penenun itu, diisi dengan talkshow, fashion show, hingga bazar. "Kain tenun Ende memiliki pesona yang luar biasa. Motifnya pun beragam. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?" ajak Yanti Tambunan saat membuka acara tersebut. Pada kesempatan itu, ditampilkan sekitar 50 kain tenun Ende, dengan warna dan motif yang beragam. Usia kain tenun Ende tersebut, ada yang baru beberapa bulan setelah ditenun, ada pula yang sudah berusia hingga 70 tahun. Semuanya sungguh menakjubkan.
Sebelumnya, pada Kamis (14/12/2016) sampai Senin (20/12/2016), beragam karya tenun dari Ende juga ditampilkan di Jakarta. Pameran yang bertajuk Pesona Kain dan Budaya Ende itu diadakan di Museum Tekstil, Jl. Aipda Ks Tubun No.2-4, Tanah Abang, Petamburan, Jakarta Barat. Acara itu berlangsung atas inisiatif sekelompok perempuan yang memiliki kecintaan terhadap kain tradisional Indonesia, yang tergabung dalam Komunitas Peduli Wastra Indonesia. Melalui acara tersebut, dilakukan penggalangan dana yang akan digunakan sepenuhnya untuk membantu program revitalisasi Museum Tenun Ende, sekaligus mendukung program pemberdayaan para pengrajin tenun Ende.
Yang istimewa, dukungan untuk para pengrajin kain tenun Ende tersebut, juga datang dari Musa Widyatmodjo, seorang perancang mode kenamaan kita. Sebagai perancang, Musa mengolah kain tenun Ende secara kreatif menjadi berbagai jenis busana. Pada kesempatan tersebut, Musa Widyatmodjo menampilkan delapan koleksi busana karyanya, yang menggunakan bahan dasar kain tenun Ende. Delapan koleksi tersebut terdiri dari empat busana wanita dan empat busana pria. Busana wanita terdiri dari dress yang didominasi warna ungu, kuning, jingga, dan biru.
Joko Widodo dengan Tenun Ikat Nggela
Presiden Joko Widodo juga memberikan apresiasi serta dukungan yang kuat terhadap Ende, sebagaimana halnya Bung Karno. Terutama, untuk para pengrajin kain tenun Ende. Lihatlah penampilan sosok Joko Widodo ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan yang dilaksakan pada 10-12 Januari 2016 di JI Expo Kemayoran, Jakarta Timur. Sementara para petinggi PDI Perjuangan tampil dengan busana dominan warna merah, Joko Widodo sengaja tampil khas, dengan tenun ikat dari Nggela.
Ya, Joko Widodo hari itu mengenakan kemeja lengan panjang, berbahan kain tenun Nggela. Kita tahu, Nggela adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Sungguh, pilihan yang kreatif. Di satu sisi, Joko Widodo telah memperkenalkan kain tenun Ende kepada publik yang lebih luas, karena kapasitasnya sebagai Presiden. Di sisi lain, Joko Widodo seakan menegaskan, betapa kerasnya perjuangan kemerdekaan yang telah dilakukan Bung Karno, yang membuatnya dibuang empat tahun ke Ende.
Dalam konteks membangun dari pinggiran, yang kerap digaungkan Joko Widodo, tentu dukungan serupa sangat berarti. Apalagi bila hal itu juga dilakukan Presiden terhadap wilayah-wilayah lain di tanah air yang memiliki kerajinan tenun. Setidaknya, ada 13 kain tradisional khas Indonesia yang luar biasa indah. Diantaranya, ulos, tapis, tenun, dan songket. Pada tahun 2016, nilai ekspor industri tenun dan batik berkontribusi hingga US$ 151,7 juta. Ini tergolong cukup besar untuk menopang perekonomian nasional.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 11 Juni 2017
Tulisan saya yang lain tentang Bung Karno
1. Bung Karno dengan Io Vivat Nostrorum Sanitas
2. Bung Karno, Sungai Kehidupan, dan Kedaulatan Pangan
3. Inspirasi Bung Karno, Kesadaran akan Lautan
4. Soekarno-Hatta: Gelar Akademik dan Kesadaran Pendidikan
5. Menjelang Proklamasi, Menyusuri Jejak Pahlawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H