Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bom Meledak, Mari Menulis

26 Mei 2017   07:43 Diperbarui: 26 Mei 2017   12:31 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bom meledak di halte bus TransJakarta di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu (24/5/2017) malam. Ada dua kali ledakan bom. Ledakan pertama pada pukul 21.00 WIB. Ledakan kedua terjadi 5 menit kemudian, di lokasi yang berjarak sekitar 10 meter dari ledakan pertama. 5 orang tewas, 10 orang terluka. Foto: TMC Polda Metro Jaya, detik.com, antaranews.com, dan kompas.com

Sudahkah Anda menulis tentang bom? Kalau belum, segeralah tulis. Ini momentum yang tepat untuk menulis tentang tragedi kemanusiaan yang sadis, sekaligus bengis. Bila belum ada ide, mari kita sama-sama belajar menulis tentang bom dari Putu Wijaya.

Putu Wijaya pertama kali menulis tentang bom pada tahun 1978, dalam bentuk cerita pendek. Ada peristiwa penting pada tahun itu yang memotivasi Putu Wijaya menulis tentang bom, yaitu pemboman Masjid Istiqlal. Kita tahu, Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat dibangun sejak 24 Agustus 1961, di masa Presiden Sukarno. Sekitar 17 tahun kemudian, baru selesai, yang selanjutnya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978. Dan, hanya 53 hari setelah diresmikan, Masjid Istiqlal dibom. Bom meledak di area mihrab masjid tersebut pada 14 April 1978.

Menulis dengan Momentum

Ledakan bom di Masjid Istiqlal itu sungguh mengguncang masyarakat. Apalagi, 26 hari sebelumnya, pada 20 Maret 1978, terjadi peledakan bom molotov di sejumlah tempat di Jakarta. Ledakan bom tersebut diikuti dengan pembakaran sejumlah mobil. Pada masa itu sedang berlangsung Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Senayan. Warga cemas dan gaduh menghadapi kedua ledakan bom itu.

Kecemasan serta ketakutan warga akan bom, itulah yang dipotret Putu Wijaya dalam cerita pendeknya, yang berjudul Kalau Boleh Memilih Lagi. Atmosfir kedua ledakan bom di atas, ia tangkap sebagai momentum. Cerpen ini absurd, khas Putu Wijaya, dan sarat makna. Ceritanya, ketika Oki terbangun, ia menemukan bom di sampingnya. Menyangka ini sisa-sisa dari mimpinya, ia acuh tak acuh saja. Ia peluk sang bom seperti layaknya memeluk guling. Oki pun melanjutkan tidurnya. Tatkala ia bangun terlambat esoknya, bom itu hampir menindih kepalanya.

Ini petikan dua alinea cerita pendek Kalau Boleh Memilih Lagi karya Putu Wijaya. Sungguh menyentuh. Niat yang semula untuk menyelamatkan warga dari ledakan bom, akhirnya justru semakin banyak warga yang menjadi korban. Ada rasa sesal yang menggumpal tapi sudah tak ada gunanya. Foto: isson khairul
Ini petikan dua alinea cerita pendek Kalau Boleh Memilih Lagi karya Putu Wijaya. Sungguh menyentuh. Niat yang semula untuk menyelamatkan warga dari ledakan bom, akhirnya justru semakin banyak warga yang menjadi korban. Ada rasa sesal yang menggumpal tapi sudah tak ada gunanya. Foto: isson khairul
Oki pun cemas dan takut. Ia tak ingin bom itu meledak di kamarnya, yang bisa mengakibatkan ia serta para tetangganya jadi korban. Kemudian, ia bungkus bom itu dengan sarung, lalu membawanya ke lapangan. Para tetangganya mengikuti. Selain karena ada rasa curiga, juga karena melihat perilaku Oki yang aneh. Oki melarang orang-orang mengikutinya. Tapi, semakin dilarang, semakin banyak yang mengikutinya.

Agar orang-orang itu tidak menjadi korban ledakan bom, Oki akhirnya memilih memanjat tiang bendera sembari memeluk bom. Melihat itu, semakin banyak orang berkumpul di lapangan, mengitari tiang bendera. Warga menyuruhnya turun, Oki tidak mau. Akhirnya, petugas menembaknya, hingga bom itu terlepas dari pelukannya dan meledak, menewaskan ratusan orang di lapangan tersebut. Sambil tetap berpegangan di tiang bendera, Oki menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, keluarga serta para tetangganya menjadi korban ledakan bom itu.

Menulis Menantang Logika

Selain piawai memanfaatkan atmosfir ledakan bom, Putu Wijaya terkenal sangat mahir menciptakan konflik dalam karya-karyanya. Mari kita berandai-andai untuk lebih mudah memahaminya. Andai bom itu ia biarkan tetap di kamar tidurnya, berapa banyak korban ledakannya? Lebih sedikit atau lebih banyak dari yang di lapangan? Bisa jadi lebih sedikit secara nyawa, tapi bukan tidak mungkin akan menghanguskan seluruh pemukiman warga. Jadi, sudah tepatkah pilihan Oki membawa bom ke lapangan?

Bom adalah kumpulan cerita pendek Putu Wijaya yang berisi 17 cerpen. Kalau Boleh Memilih Lagi ada dalam kumpulan ini. Cerpen-cerpen ini sebagian besar ditulis pada tahun 1978 dan beberapa tahun-tahun sebelumnya. Pertama kali diterbitkan Balai Pustaka tahun 1978. Kemudian, diterbitkan kembali pada tahun 1992. Foto: bukalapak.com
Bom adalah kumpulan cerita pendek Putu Wijaya yang berisi 17 cerpen. Kalau Boleh Memilih Lagi ada dalam kumpulan ini. Cerpen-cerpen ini sebagian besar ditulis pada tahun 1978 dan beberapa tahun-tahun sebelumnya. Pertama kali diterbitkan Balai Pustaka tahun 1978. Kemudian, diterbitkan kembali pada tahun 1992. Foto: bukalapak.com
Di sini bisa kita pahami, betapa sebuah cerita pendek, sebuah karya fiksi, sesungguhnya berpeluang besar untuk menggugah kecerdasan. Fiksi bukan hanya mengaduk-aduk perasaan, bukan pula hanya mengharu-biru rasa. Namun, juga bisa menantang logika, menguji keberanian kita melakukan decision. Bukankah sesungguhnya dalam kehidupan ini, tiap saat kita berhadapan dengan pilihan demi pilihan? Dan, seringkali, kita harus mengambil keputusan di saat kita sedang tidak siap memutuskan.

Dari pengalaman saya membaca sejumlah karya Putu Wijaya, saya justru belajar mengasah logika melalui karya fiksinya. Nyaris saya tidak menemukan kebetulan-kebetulan serta situasi yang mengada-ada dalam karyanya. Kalaupun ia menyajikan hal-hal yang absurd, tapi pada akhirnya bisa dicerna dengan logika. Ini berbeda dengan sebagian penulis, yang dalam karya fiksinya cenderung mengabaikan logika, hingga kentara sekali bahwa kita sedang membaca karangan yang benar-benar ngarang.

Menulis Merekam Zaman

Ketika di hari-hari ini ruang baca kita penuh dengan bom, saya belum menemukan tulisan Putu Wijaya tentang Bom Kampung Melayu. Sementara, di ranah maya bertebaran #KamiTidakTakut dan #TapiKamiTakMauMati! Narasi tersebut lebih kepada diri sendiri, berbeda dengan Oki di Kalau Boleh Memilih Lagi, yang lebih memikirkan nasib keluarganya, tetangganya, serta orang-orang di sekitarnya.

Ini petikan dua alinea cerita pendek Bom karya Putu Wijaya. Kentara sekali perubahan sikap warga, dibandingkan dengan perilaku Oki di Kalau Boleh Memilih Lagi. Serbuan informasi yang bertubi-tubi nampaknya turut memecah perhatian warga terhadap peristiwa bom. Foto: isson khairul
Ini petikan dua alinea cerita pendek Bom karya Putu Wijaya. Kentara sekali perubahan sikap warga, dibandingkan dengan perilaku Oki di Kalau Boleh Memilih Lagi. Serbuan informasi yang bertubi-tubi nampaknya turut memecah perhatian warga terhadap peristiwa bom. Foto: isson khairul
Barangkali zaman memang telah berubah, sikap orang-orang pun turut berubah. Oki mungkin mencerminkan perilaku warga pada tahun 1978, sementara narasi yang beredar di dunia maya kini, mencerminkan generasi milenial. Perubahan perilaku warga dari zaman ke zaman tersebut, juga bisa kita rasakan ketika membaca cerita pendek Bom, karya Putu Wijaya. Cerpen itu ia tulis pada 17 Juli 2009, persis pada hari terjadinya ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Hotel, kawasan segi tiga emas Kuningan, Jakarta Selatan.    

Karena berbeda zaman serta berlain era, barangkali tidak sepenuhnya bisa untuk kita bandingkan secara apple to apple. Namun, dalam konteks penulisan, kita sandingkan ya tidak apa-apa. Dengan cara menyandingkan ini, kita bisa terinspirasi, bisa menemukan sisi yang relevan untuk ditulis. Tapi, perlu hati-hati agar tidak terkecoh, agar tidak tergelincir menghakimi suatu zaman atau suatu generasi. Kenapa? Karena, tiap zaman memiliki tantangan serta peluang yang berbeda. Dengan sendirinya, perilaku masyarakat pun cenderung berbeda.

isson khairul –dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 26 Mei 2017

Tulisan saya yang lain tentang Menulis

1. Pesan untuk Netizen Writer dari Seno Gumira Ajidarma

2. Waktu Berharga, Mari Hargai Waktu dengan Terus Berkarya

3. Tradisi Menulis, Tradisi Berguru, dan Tradisi Jurnalis

4. Jadi Pembaca Kritis, Jadi Penulis Kreatif

5. Dari Proses Belajar ke Proses Menulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun