Sharing Economy. Ekonomi Berbagi. Istilah ini mencuat bersamaan dengan kian derasnya arus internet. Kami mencoba menerapkannya di Indonesia Community Day (ICD) 2017. Dengan cara sederhana, dalam skala komunitas.
Kami hanyalah warga biasa: Isson Khairul, Tamita Wibisono, dan Arum Sato dari Komunitas Kompasianer KutuBuku. Tamita Wibisono, selain aktif di KutuBuku, juga salah seorang petinggi di Komunitas Ladiesiana. Arum Sato, selain aktif di KutuBuku, juga menjadi admin di Komunitas ClicKompasiana. Kami bertiga sudah merapat ke Jogja, beberapa hari sebelum Indonesia Community Day (ICD) digelar di Plaza Pasar Ngasem, Jl. Polowijan No.11, Patehan, Kraton, Kota Yogyakarta, pada Sabtu, 13 Mei 2017.
Banner, Banner, dan Banner
Ada dua banner yang harus kami siapkan untuk ICD ini: KutuBuku dan Ladiesiana. Meskipun kedua banner itu bisa kami produksi di Jakarta, tapi kami memilih untuk membuatnya di Jogja. Melalui cara ini, kami jadi punya kesempatan untuk mengenal serta berinteraksi dengan penyedia jasa pembuatan banner di Jogja. Selain rentang harga yang mereka tawarkan, kami juga belajar memahami level service yang mereka sediakan.
Setidaknya, kami jadi punya perbandingan dengan yang ada di Jakarta. Dari uji-coba ini, baik secara kualitas dan harga, apa yang diberikan penyedia jasa pembuatan banner di Jakarta, lebih baik dibandingkan yang kami dapat di Jogja. Barangkali eksplorasi kami di Jogja masih terbatas, makanya belum menemukan yang sebelas dua belas dengan Jakarta. Kecewa? Tentu saja tidak.
Dalam konteks ekonomi berbagi, ini sesungguhnya peluang sekaligus tantangan. Disebut peluang, karena cukup banyak komunitas serta pelaku usaha dari berbagai kota di tanah air yang mengadakan event di Jogja. Disebut tantangan, karena dibutuhkan strategi bisnis agar kualitas sepadan dengan harga. Dengan demikian, komunitas serta pelaku usaha dari berbagai kota di tanah air yang mengadakan event di Jogja, akan memilih bikin banner di Jogja. Ini tentu positif untuk penyedia jasa pembuatan banner di Jogja.
Kami menghadirkan jamu sebagai salah satu kuliner khas Jogja di ICD. Ini kami nilai relevan, karena stand Komunitas Ladiesiana berkolaborasi dengan Komunitas KPK (Kompasianer Penggila Kuliner). Ya, pas dong. Kami sengaja mencari mbok jamu yang benar-benar mbok jamu gendong. Bukan mbok jamu yang sepedaan, bukan yang motoran, bukan pula yang gerobakan. Kriteria ini cukup menyulitkan tapi kami berusaha menemukannya.
Akhirnya, kami menemukan mbok jamu gendong yang real jamu gendong. Mbok Dalmi, namanya. Ia mbok jamu yang ketiga yang kami temukan, setelah cocok rasa dan harga. Kenapa jamu? Dalam konteks ekonomi berbagi, kami ingin berbagi dengan melibatkan warga lokal, dalam hal ini warga Jogja, untuk menjadi bagian dari aktivitas komunitas kami. Meskipun skalanya kecil, hanya dengan seorang mbok jamu, tapi kami ingin mencoba berbagi dengan warga Jogja.
Kacang, Jagung, dan Pisang