Munaroh sedang membimbing anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah Matematika di Saung Aksara Sumur Jurang. Suasana kelas malam ini berlangsung secara informal tapi tetap tertib. Ini bagian dari upaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa yang patut kita apresiasi. Bila anak-anak di perkotaan menambah ilmu dengan ikut bimbingan belajar dan kursus, anak-anak Cupas Wetan dan Sumur Jurang menjalaninya dengan kelas malam. Foto: saung aksara
Senin, 2 Mei 2016, kita rayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sehari sebelumnya, Minggu (1/5/2016), saya sengaja berkunjung ke Cupas Wetan dan Sumur Jurang, Cilegon. Di dua kampung di pinggang Gunung Batu Lawang itu, saya menyerap spirit Ki Hajar Dewantara.
Kampung Cupas Wetan dan Sumur Jurang berada di Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Kota Cilegon dengan bus selama lebih dari tiga jam, menempuh jarak sekitar 104,6 kilometer. Bila dengan kendaraan pribadi, perjalanan bisa dituntaskan hanya satu setengah jam saja. Dari terminal bus Cilegon, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan kota warna merah tujuan Pelabuhan Merak, sekitar 15 kilometer. Melalui Jalan Raya Merak, memasuki kawasan Desa Rawa Arum di kilometer 10, itulah salah satu titik untuk mendaki Gunung Batu Lawang. Ancer-ancernya, tidak jauh dari Kantor Imigrasi Kelas II Cilegon. Dari titik inilah pendakian dimulai.
Saung Aksara Cupas WetanÂ
Ini bukan pendakian melalui semak belukar, tapi melewati jalan aspal untuk ukuran satu mobil. Gunung Batu Lawang berada 150 meter di atas permukaan laut. Beruntung, pada Minggu (1/5/2016) itu, ada seorang sahabat yang bermurah hati mengantarkan saya ke Kampung Cupas Wetan dan Sumur Jurang. Musttaqin, nama sang sahabat. Ia memang warga kampung setempat. Dengan mobilnya, kami mulai melakukan pendakian, dari kemiringan jalan 15 derajat, kemudian berlanjut menjadi kemiringan 30 derajat. Jalan yang kami susuri itu bernama Jalan Haji Leman Pintu Air.
Bila berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus mengalah. Misalnya, menepi ke halaman rumah warga, agar mobil yang lain bisa lewat. Dari beberapa kali berpapasan, proses kalah-mengalah itu berlangsung mulus. Tidak ada klakson yang memekakkan telinga, seperti yang terjadi di perkotaan. Tiap pengendara nampaknya sudah saling memahami, saling memaklumi. Suasana yang demikian, sungguh menenangkan, hingga kami tiba di Kampung Cupas Wetan. Di kiri-kanan jalan, sudah padat rumah penduduk.
Di sisi kiri jalan itulah berdiri Saung Aksara. Di sini ada beberapa rak berisi buku bacaan, juga ada beberapa unit komputer. Ini adalah tempat belajar anak-anak Kampung Cupas Wetan, dari sore hingga malam hari. Mereka umumnya masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Sebagaimana dituturkan Musttaqin, di Saung Aksara ini, ada pembimbing yang mengenalkan anak-anak dengan komputer. Juga, ada guru Matematika dan guru Bahasa Inggris.
Para guru itu adalah orang-orang yang ikhlas menyisihkan waktu mereka untuk mengajar secara sukarela di Saung Aksara. Pada siang hari, mereka mengajar sebagai guru formal di sekolah dan pada malam hari menjadi guru sukarela di Saung Aksara. Upaya mereka untuk turut mencerdaskan anak-anak bangsa, tentulah patut kita apresiasi. Mereka menjadi pengganti orang tua, membimbing anak-anak tersebut mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di Saung Aksara. Mereka tidak memungut biaya apa pun dari anak-anak itu.
Saung Aksara Sumur Jurang        Â
Proses belajar-mengajar di Saung Aksara Cupas Wetan sudah berlangsung sejak tahun 2010. Keberadaan sekolah malam di saung ini sudah dirasakan manfaatnya. Baik oleh anak-anak yang menjalaninya, maupun oleh orang tua mereka. Demikian pula halnya dengan perangkat desa setempat. Karena itulah, para penggerak literasi di sana sepakat untuk memperluas cakupan saung sebagai ranah untuk belajar tambahan. Maka, pada Rabu (20/4/2016), didirikanlan saung kedua, yaitu Saung Aksara Sumur Jurang. Bila Saung Aksara Cupas Wetan berada di separuh pendakian Gunung Batu Lawang, Saung Aksara Sumur Jurang lebih tinggi lagi, mencapai dua per tiga pendakian gunung tersebut.
Jalan yang kami tempuh memiliki kemiringan 30 hingga 45 derajat. Cukup tajam tanjakannya. Karena saya berkunjung siang hari, maka di Saung Aksara Cupas Wetan, saya tidak sempat bertemu dengan guru dan pembimbing. Yang ada di sana adalah petugas administrasi sebagai pengelola harian. Beruntung, pada Minggu (1/5/2016) itu, saya bertemu dengan Akhmadi, Ketua Komunitas Saung Aksara. Komunitas inilah yang menjadi penggerak literasi di Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Artinya, Saung Aksara Cupas Wetan dan Saung Aksara Sumur Jurang berada dalam koordinasi komunitas ini. Akhmadi menjadi pimpinan komunitas ini sejak 1 April 2014.
Tempat tinggal Akhmadi sudah hampir mendekati puncak Gunung Batu Lawang tersebut. Ia sehari-hari menggunakan sepeda motor. Katanya, untuk mencapai rumahnya, ia harus menggunakan persneleng satu, agar sang motor bisa melewati tanjakan. Sebagai pendidik, ia pun tak luput dari tanjakan sosial. Agar anak-anak mau mengikuti kelas malam di saung, Akhmadi dan Musttaqin door to door dari rumah ke rumah warga. Mereka berupaya meyakinkan warga bahwa pelajaran tambahan di kelas malam, penting bagi pendidikan anak-anak. Toh, beban orang tua tidak akan bertambah, karena kelas malam di Saung Aksara tidak memungut biaya apa pun.
Bangunan Saung Aksara Sumur Jurang ini nampak lebih permanen dibanding yang di Cupas Wetan. Seluruh dindingnya terdiri dari tembok. Ada area terbuka yang berfungsi sebagai kelas malam. Ada pula area semi tertutup sebagai perpustakaan dan tempat pengenalan komputer. Angin pegunungan leluasa berhembus, menyejukkan. Di bawah saung, arus air kali menjadi bagian dari musik alam yang menenangkan. Sementara di sekitarnya pohon-pohon besar yang rindang, melengkapi kealamiannya. Semua itu menjadi ranah yang menyenangkan sebagai ruang belajar.
Spirit Belajar, Spirit Kebersamaan
Saung Aksara Cupas Wetan dan Saung Aksara Sumur Jurang adalah indikator penting yang menunjukkan bahwa spirit kebersamaan telah menjadi solusi bagi peningkatan pendidikan. Warga yang peduli pendidikan, secara swadaya mendirikan kedua saung tersebut. Yang punya tenaga, menyumbangkan tenaga. Yang punya kelebihan rezeki, mengalokasikan sebagian untuk pendanaan. Yang punya pemikiran, merumuskan strategi. Yang punya keahlian, menyumbangkan skill mereka. Maka, berdiri serta berjalannya program kedua saung tersebut menunjukkan kepada kita, betapa pentingnya kerukunan bagi peningkatan pendidikan.
Komunitas Saung Aksara, sebagaimana dituturkan Akhmadi, melibatkan seluruh elemen masyarakat secara aktif. Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Dengan kata lain, partisipasi warga benar-benar digalang secara maksimal. Pada Saung Aksara Cupas Wetan, misalnya, warga mendapat bantuan dana dari MCCI Grup yang terdiri dari PT Mitsubishi Chemical Indonesia (MCCI) dan PT MC PET Film Indonesia (MFI). Dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk operasional saung. Pihak MCCI Grup dan warga yang menyumbang bisa menyaksikan secara langsung pemanfaatan donasi yang mereka salurkan.
Berkat integritas Komunitas Saung Aksara yang mengelola saung dengan sungguh-sungguh, pihak MCCI Grup dan warga dengan sukarela menyalurkan sumbangan untuk pendirian Saung Aksara Sumur Jurang. Ini mencerminkan proses keberlanjutan dalam ranah pendidikan luar sekolah. Akhmadi selaku Ketua Komunitas Saung Aksara menyadari bahwa semua ini merupakan tantangan yang tidak mudah, sekaligus merupakan peluang yang menggembirakan. Tantangannya adalah menjaga kepercayaan publik. Peluangnya adalah makin banyak anak-anak bangsa yang bisa mengakses Saung Aksara, dalam konteks pendidikan berkelanjutan.
isson khairul -linkedin -dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 3 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H