Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Hasrat Reklamasi Kuat, Pengawasan Reklamasi Lemah

11 April 2016   10:10 Diperbarui: 11 April 2016   10:51 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari rentetan waktu di atas, jelas bagi kita bahwa penyegelan terhadap 1.000 lebih bangunan di Pulau D, dilakukan setelah KPK menetapkan tersangka dan status cegah ke luar negeri terhadap sejumlah pihak terkait. Padahal, bangunan tersebut sudah didirikan jauh sebelumnya. Seluruh bangunan tersebut ilegal, didirikan tanpa izin. Pertanyaannya, kenapa bangunan itu baru disegel setelah KPK beraksi? Kenapa pemerintah DKI Jakarta demikian reaktif, setelah KPK bertindak? Ini indikator, telah terjadi pembiaran terhadap pengembang pulau reklamasi. Sekali lagi, ini menunjukkan, betapa lemah pengawasan DKI Jakarta terhadap reklamasi.  

Sampai di sini kita tahu, pemerintah DKI Jakarta tidak sepenuhnya mengawasi pembangunan di pulau reklamasi tersebut. Dibandingkan dengan perlakuan pemerintah DKI Jakarta terhadap bangunan ilegal lain di Jakarta, tentulah ini sangat jomplang. Ada perbedaan yang kontradiktif terhadap rakyat kecil dan pengembang yang kaya raya. Mau dikaitkan dengan kepemilikan lahan? Mau berargumen bahwa rakyat kecil digusur karena mendirikan bangunan ilegal di tanah negara? Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan, proyek pengurukan 17 pulau untuk reklamasi laut bersifat Hak Guna Usaha. "Pengembang tidak menguasai pulau," ujar Ferry Mursyidan Baldan di kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, pada Jumat (13/2/2015).

[caption caption="Reklamasi pulau di Teluk Jakarta membutuhkan puluhan, bahkan ratusan juta kubik pasir. Pada Kamis (31/3/2016), Kapal Queen of Netherland, kapal asal Belanda, ditangkap sekitar tiga mil dari area Krakatau Posco, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Kapal yang menambang pasir laut di Perairan Selat Sunda tersebut ditangkap dan diamankan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di Perairan Ciwandan, Kota Cilegon. Foto: beritasatu.com"]

[/caption]Bangunan Ilegal di Tanah Negara

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, juga menegaskan hal serupa.  "Ingat, 17 pulau (reklamasi) itu begitu jadi, seluruh sertifikat HPL adalah milik Pemprov DKI, catat baik-baik. Seluruh pulau, satu jengkal tanah pun, sertifikatnya milik DKI Jakarta," ujar Basuki Tjahaja Purnama menanggapi pertanyaan salah seorang wartawan di Balai Kota, pada Rabu (8/4/2015). HPL adalah Hak Pengelolaan Lahan. Dengan demikian, Pulau D tersebut milik Pemprov DKI Jakarta, milik negara. Itu berarti, 1.000 lebih bangunan ilegal yang dibangun Kapuk Naga Indah, adalah bangunan ilegal di tanah negara.

Kalau DKI Jakarta paham hukum, bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, maka seluruh bangunan ilegal di tanah negara itu ya harus dibongkar. Bangunan tersebut didirikan tanpa izin. Perlakuannya ya harus sama dengan perlakuan terhadap bangunan ilegal yang dibangun rakyat: dibongkar, seharusnya dibongkar paksa. Itu kalau DKI Jakarta mau menegakkan hukum. Kalau mau tutup mata atau main mata, ya cukup segel saja. Toh, urusan surat-menyurat bisa diselesaikan belakangan, bahkan mungkin lewat pintu belakang.

Dalam hal mendirikan bangunan di pulau reklamasi, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan tegas mengatakan: tidak boleh. "Enggak boleh (pembangunan di pulau-pulau reklamasi)," kata Basuki Tjahaja Purnama di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Jl. Tanah Abang I, Jakarta Pusat, pada Kamis (7/4/2016). Dari penjelasan Marbin Hutajulu, Kepala Suku Dinas Penataan Kota Jakarta Utara, dan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama di atas, jelas bagi kita bahwa 1.000 lebih bangunan di Pulau D yang dibangun Kapuk Naga Indah, adalah bangunan ilegal di tanah negara.

[caption caption="Data Colliers International Indonesia pada Rabu (6/4/2016) menunjukkan dua pengembang, Agung Sedayu Group (ASG) dan Agung Podomoro Group (APG), merupakan penguasa properti Jakarta saat ini. Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota, pada Jumat (1/4/2016), mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih berpatokan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Perda belum keluar, belum ada tanda tangan. Makanya, waktu Agung Podomoro Land mau bikin IMB (izin mendirikan bangunan), tidak bisa. Kalau zonasi belum ada, kan tidak bisa terus reklamasi. Foto: kompas.com "]

[/caption]Baru Memiliki Izin Prinsip

Apakah bangunan ilegal tersebut sudah terjual? Sudah dibeli konsumen? Mungkin saja sudah. Karena, para pengembang di pulau reklamasi, sejak jauh-jauh hari, sudah mengiklankan serta memasarkan produk properti mereka. Iklan tersebut dengan gencar menyasar calon konsumen melalui media. Padahal, reklamasi Teluk Jakarta masih menyimpan sejumlah masalah, di antaranya terkait perizinan. Nah, bagaimana nasib konsumen, ketika kini bangunan tersebut disegel? Inilah masalahnya. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam siaran pers di Jakarta, pada Jumat (8/4/2016), mengatakan, posisi pembeli properti di area reklamasi Teluk Jakarta, lemah secara hukum.

Kenapa? Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pengembang harus memiliki 4 dokumen perizinan sebelum memasarkan produk propertinya. Perizinan yang dimaksud yakni izin prinsip, izin reklamasi, izin pemanfaatan reklamasi, dan izin mendirikan bangunan. Realitasnya, hingga saat ini, sejumlah pengembang baru memiliki izin prinsip dari Pemda DKI. "Jangan sekali-kali melakukan transaksi produk properti hasil reklamasi, apabila pengembang belum memiliki 4 perizinan tersebut," kata Tulus Abadi. Dalam hal ini, Tulus Abadi mengingatkan, agar warga jangan tergiur oleh tawaran atau iklan dari pengembang produk properti di daerah reklamasi Teluk Jakarta, sebelum masalah perizinan reklamasi tersebut jelas dan lengkap.

Di industri properti, ada istilah jual gambar. Maksudnya, pengembang sudah gencar beriklan serta memasarkan, padahal izin properti tersebut belum lengkap. Bahkan ada yang pembebasan lahannya pun belum beres. Dalam konteks ini, calon konsumen haruslah cerdas serta kritis, sebelum melakukan transaksi. Apalagi membeli properti di pulau reklamasi. Bagaimanapun juga, pulau reklamasi adalah sesuatu yang baru di tanah air. Regulasi terkait pulau reklamasi pun masih belum sepenuhnya tersedia. Sebagaimana dikemukakan Marbin Hutajulu di atas, aturan tentang tata ruang kawasan pulau reklamasi tersebut belum dibuat. Bersikap hati-hati dan kritis adalah langkah yang baik, agar tidak dirugikan pengembang di kemudian hari.

isson khairul linkedin - dailyquest.data@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun