[caption caption="Sandra Ann Niessen (kanan) berpose penuh suka cita dengan sejumlah kain Batak, dengan latar belakang Danau Toba. Ia sangat sedih karena spirit menenun di kalangan warga kampung-kampung di seputar Danau Toba, terus menyusut. Dengan berbagai upaya, atas inisiatif sendiri, dengan biaya pribadi, Sandra Ann Niessen mengajak warga setempat untuk kembali menenun kain Batak sebagai bagian dari ritual budaya. Foto: antarafoto"][/caption]Ia lahir di Toronto, Amerika Serikat, pada 17 November 1954. Studi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda, dan lulus dengan predikat cum laude tahun 1985. Bidang studinya, Cultural Anthropology. Dari perempuan bernama Sandra Ann Niessen inilah kita patut belajar berterima kasih.
Kenapa? Karena, ia bukan hanya meneliti tradisi menenun masyarakat Batak. Tapi, ia jatuh cinta sungguhan pada Tapanuli, pada masyarakat nun di Sumatera Utara sana. Ia pernah tinggal lama di kampung-kampung di seputar Danau Toba. Warga yang menjadi narasumber penelitiannya, dengan rela meluangkan waktu untuk diwawancarai, memberikan informasi, bahkan memberinya tumpangan dan makan. Itu berlangsung sekitar 30 tahun silam. Kini, Sandra Ann Niessen kembali ke kampung-kampung di tepian Danau Toba. Bukan untuk penelitian. Tapi, untuk mengembalikan pengetahuan tentang tradisi menenun para leluhur masyarakat Batak, yang ia terima sekitar 30 tahun yang lalu, kepada kalangan muda Batak yang belum pernah menyentuh alat tenun.
Menjadi Bagian dari Kearifan Toba
Tentang Sandra Ann Niessen yang pulang kampung ke tepian Danau Toba itu, saya baca di Harian Kompas edisi Selasa (10/3/2015), halaman 16, ”Pulang Kampung” demi Kain Batak. Ya, sekitar setahun yang lalu. Dan, sebulan yang lalu, pada Selasa (1/3/2016) sore, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Sumatera Utara, serta tujuh bupati di kawasan Danau Toba, sepakat untuk membentuk Badan Otoritas Kawasan Danau Toba. Hal ini secara resmi disampaikan Sukardi Rinakit, Tim Komunikasi Kepresidenan, pada Selasa tersebut. Yang juga disepakati, Bandara Silangit akan dikembangkan. Rencananya, April 2016 ini mulai dikerjakan dan ditargetkan selesai September 2016 ini juga.
Bandara Silangit berada di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Sementara, Bandara Kualanamu, berada sekitar 39 Km di luar kota Medan, Ibu Kota Sumatera Utara. Untuk mencapai Danau Toba dari Bandara Kualanamu, melalui Parapat dengan jalan darat, dibutuhkan waktu 4-5 jam. Sementara, dari Bandara Silangit, melalui jalan darat, hanya diperlukan waktu 1-2 jam saja untuk sampai ke Danau Toba. Setelah pengembangan September 2016 nanti, panjang landasan bandara Silangit menjadi 2.650 meter dan lebar 40 meter. Runway tersebut akan siap dilandasi pesawat berbadan besar jenis Boeing 737. Banyak yang sudah berubah dan yang akan berubah, dibandingkan dengan kedatangan Sandra Ann Niessen pada 30 tahun lalu.
[caption caption="Seorang perempuan Batak tengah asyik menenun, disaksikan anak-anak dengan tatapan takjub. Ini proses regenerasi yang berlangsung alamiah. Sandra Ann Niessen sampai pada kesimpulan, bahwa Kain Batak adalah wujud bahasa kaum perempuan Batak. Lewat kainlah perempuan Batak mengekspresikan perasaan, aspirasi, dan pengetahuannya. Dengan kata lain, Kain Batak merupakan elemen bahasa kaum perempuan Batak. Foto: nationalgeographic.co.id"]
Tahun 2010, Niessen kembali lagi ke perkampungan di seputar Danau Toba. Sandra Ann Niessen membagi-bagikan buku setebal 600 halaman tersebut, kepada orang-orang yang wajahnya terpampang di foto-foto dalam buku itu. Juga, kepada narasumber dari berbagai penelitiannya di sana. Pada tahun 2011, Niessen kembali lagi ke kawasan Danau Toba untuk membuat film tentang pembuatan kain Batak. Kemudian, tahun 2013, Sandra Ann Niessen mengadakan 17 kali acara nonton bareng film tersebut di kampung-kampung di sekitar Danau Toba. Tujuannya, untuk berbagi pengetahuan tentang cara para leluhur di tepian Danau Toba menenun Kain Batak secara tradisional.
Menjaga Keluhuran Kain Batak
Dari berkali-kali pulang kampung ke Danau Toba, Sandra Ann Niessen lebih memilih menyebut kain Batak untuk hasil tenun kreasi warga di kampung-kampung di sekitar Danau Toba. ”Ulos sebetulnya bukan istilah umum, karena hanya dipakai oleh puak-puak Batak tertentu saja,” ujar Niessen, sebagaimana yang dituliskan Mulyawan Karim dan Robertus Mahatma Crysna dalam ”Pulang Kampung” demi Kain Batak di Harian Kompas edisi Selasa (10/3/2015), halaman 16, tersebut. Puak dalam makna golongan, kelompok, atau kaum. Sampai di sini, kita paham, kegilaan sekaligus kecintaan Sandra Ann Niessen terhadap warga di kampung-kampung di sekitar Danau Toba adalah sesuatu yang mengesankan. Khususnya, kepada kain Batak.
[caption caption="Buku karya Sandra Ann Niessen dan Pulang Kampung demi kain Batak di rubrik Sosok Harian Kompas edisi Selasa (10/3/2015), halaman 16. Sandra Ann Niessen kini sudah 61 tahun. Pergumulannya selama puluhan tahun dengan kain Batak, juga dengan warga di kampung-kampung di seputar Danau Toba, tentulah sesuatu yang sangat bernilai. Foto: amazon.com dan dokumentasi pribadi "]
Bahwa generasi telah berganti, adalah realitas yang tidak terelakkan. Namun, keahlian para leluhur di seputaran Danau Toba dalam menenun kain Batak, tentu tidak sepatutnya kita biarkan lepas, tanpa ada yang mewarisi. Mewarisi keahlian yang sepadan. Mewarisi kecintaan menenun, yang juga sepadan. Bukankah kain Batak adalah salah satu wujud dari tingginya nilai-nilai dalam budaya Batak? Dulu, para leluhur Tanah Batak menenun sebagai bagian dari ritual budaya. Belakangan, barangkali, para penenun di sana melakoni aktivitas tersebut sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Dan, dengan pendekatan produksi berbasis nilai keekonomian.
Menenun Kain Batak sebagai bagian dari ritual budaya, itulah yang agaknya tengah diupayakan Sandra Ann Niessen. Bagaimana pun juga, 30 tahun yang lalu, ia merasakan, betapa kuat spirit para leluhur warga di kampung-kampung di seputar Danau Toba dalam menenun, untuk melahirkan kain Batak yang bernilai tinggi. Atas dasar itulah Sandra Ann Niessen sampai pada kesimpulan, bahwa kain adalah wujud bahasa kaum perempuan Batak. Lewat kainlah perempuan Batak mengekspresikan perasaan, aspirasi, dan pengetahuannya. Dengan kata lain, kain Batak merupakan elemen bahasa kaum perempuan Batak.
[caption caption="Ery Nuradi, Plt Gubernur Sumatera Utara, melambaikan tangan sebelum menuruni tangga pesawat. Ini pesawat Garuda Indonesia, GA 268 dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, yang mendarat perdana di Bandara Silangit pada Selasa (22/3/2016). Menurut Direktur Utama Garuda Indonesia, M. Arif Wibowo, penerbangan Jakarta-Silangit dan Silangit-Jakarta, tiga kali seminggu: Selasa-Jumat-Minggu pada pukul 06.30 WIB dan 08.35 WIB. Foto: sumutpos.co"]
Sandra Ann Niessen kini sudah 61 tahun. Pergumulannya selama puluhan tahun dengan kain Batak, juga dengan warga di kampung-kampung di seputar Danau Toba, tentulah sesuatu yang sangat bernilai. Tidak ternilai. Sebagai antropolog terkemuka di dunia, ia sudah menulis ratusan makalah, artikel, dan buku tentang kain tradisional Asia, termasuk kain Batak. Itu artinya, Sandra Ann Niessen, dengan itikad penuh secara pribadi, juga sepenuhnya membiayai semua itu secara pribadi, telah berkontribusi kepada kain Batak, melebihi kapasitasnya sebagai perempuan kelahiran Toronto, Amerika Serikat.
Ia telah menyuarakan kain Batak ke penjuru dunia. Ia sesungguhnya telah menjadikan dirinya, dengan itikad pribadi, sebagai duta Kain Batak. Tak hanya sampai di situ. Demi merevitalisasi Kain Batak, Niessen bahkan dengan biaya pribadi mendatangkan alat tenun dari pedalaman Kalimantan. Alat tenun tradisional dari kayu itu, ia serahkan kepada Ibu Erwin Manurung, kini berusia 88 tahun, salah satu perempuan Batak Toba terakhir yang masih bisa memintal benang dan menenun. Ibu tua ini lantas mengajari tiga perempuan muda Batak yang memang ingin belajar menenun. Alangkah mengesankan cara Sandra Ann Niessen berterima kasih kepada warga di kampung-kampung di seputar Danau Toba.
Apa yang sudah ia lakukan, dan yang akan ia perbuat, setidaknya bisa menjadi inspirasi bagi kita. Sandra Ann Niessen sekaligus juga mengingatkan kita, karena selama ini mungkin kita abai merawat tradisi menenun para leluhur di kampung-kampung di seputar Danau Toba. Tidak bisa kita ingkari, kain Batak adalah bagian penting dari kekayaan Danau Toba. Dan, kekayaan tersebut adalah salah satu magnet untuk menarik kunjungan wisatawan. "Potensi Danau Toba itu seharusnya 1 juta pengunjung setiap tahun. Namun, kenyataannya, jumlah pengunjung turun terus. Sekarang, hanya 200.000 pengunjung per tahun,” ujar Menteri Pariwisata, Arief Yahya, saat jumpa pers Festival Danau Toba, di Jakarta, pada Rabu (11/11/2015).
Menurut saya, revitalisasi kain Batak seperti yang dilakukan Sandra Ann Niessen, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur, agar Danau Toba lebih mudah diakses. Oh, ya, di tepi Danau Toba, ada Kampus Institut Teknologi Del. Tepatnya, di Desa Sitoluama, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Kampus ini awalnya adalah Politeknik Informatika Del, yang didirikan pada tahun 2001. Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, yang merupakan Ketua Yayasan Institut Teknologi Del, mengemukakan, semua pengajar institut ini berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam konteks Kain Batak, bila teknologi tekstil, juga bidang Seni Rupa dan Desain, dikembangkan di Kampus Del, tentu akan turut merawat tradisi menenun para leluhur di kampung-kampung di seputar Danau Toba.
Oleh: Isson Khairul
Linkedin - dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 4 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H