[caption caption="Inilah rangkaian serta deretan bak-bak beton yang dilalui air baku, sebagai salah satu tahapan dalam pemrosesan air, di IPA 1 Palyja, Pejompongan. Di antara rasa terkejut dan tercengang, kami juga tersadar: alangkah panjang waktu dan mahal biaya yang harus dikeluarkan, untuk mendapatkan air bersih layak minum. Foto: kompasiana.com"][/caption]Hampir 80 persen tubuh kita terdiri dari air. Tiap hari, kita membutuhkan 100 liter air. Hari ini, Selasa (22/3/2016), kita peringati sebagai Hari Air Dunia. Mari berkunjung ke PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), penyedia 17.000 liter air per detik, untuk lebih dari 3.000.000 warga Jakarta.
Air memang penuh makna. Kemarin, Senin (21/3/2016) siang, kami, 30 Kompasianer, melangkah memasuki halaman kantor Palyja. Pepohonan hijau yang tumbuh di seputar halaman kantor itu, sungguh menyejukkan mata. Dan, ada air mancur yang gemericik, ditingkahi rinai hujan, yang perlahan menyeka debu bumi siang itu. Kantor Palyja yang kami kunjungi adalah Instalasi Pengolahan Air (IPA) 1 Palyja, di Jl. Penjernihan 1 No. 1, Pejompongan, Jakarta Pusat. Di ruang Tirta Ananta, yang berada di lantai dua kantor tersebut, kami berkumpul. Dari lantai dua itulah kami tahu, ternyata kawasan IPA 1 Palyja ini sangat luas, mencapai 5 hektar.
4 Jam Siap Minum
Rintik hujan masih terasa, mengantarkan rindu langit pada bumi. Kami berdiri di titik awal masuknya air ke area Instalasi Pengolahan Air, yang berjarak sekitar 200 meter dari ruang Tirta Ananta. Untunglah kami dibekali helm proyek warna hijau oleh Pak Khamid, sebagai pelindung kepala. Ia memandu kami, menyusuri tahap demi tahap pengolahan air di instalasi tersebut. Pak Khamid ini adalah salah seorang yang bertugas mengawasi pengolahan air di IPA 1 Palyja, Pejompongan. ”Seperti inilah kondisi air yang diolah Palyja, untuk diproses menjadi air yang siap minum. Ini disebut air baku, bahan baku Palyja,” ujar Pak Khamid menerangkan.
[caption caption="Selain melalui deretan bak demi bak, air baku tersebut juga menempuh jalan-jalan berliku dalam rangkaian pipa yang ada di IPA 1 Palyja, Pejompongan. Menyaksikan secara langsung proses untuk mendapatkan air bersih ini, rasanya tidak tega membiarkan setetes air pun terbuang percuma. Seluruh tahapan proses yang berlangsung di IPA 1 Palyja, Pejompongan, membutuhkan waktu selama 4 jam. Foto: kompasiana.com"]
Perjalanan air baku melalui pipa dari Cawang ke Pejompongan, sekitar 3 jam. Air baku itu langsung memasuki area Instalasi Pengolahan Air, selanjutnya mengalir melalui bak beton demi bak beton, yang sudah dilengkapi filter demi filter. Air baku tersebut juga menempuh jalan-jalan berliku melalui pipa yang ada di IPA 1 Palyja, Pejompongan. Ada sejumlah tahapan yang harus dilalui air baku hingga menjadi air bersih siap minum. Dimulai dengan tahapan Pra-Klorinasi untuk proses Pra-Sedimentasi, kemudian Pencampuran Bahan Kimia untuk proses Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi, dan Filtrasi, serta tahap Post Klorinasi atau Disinfeksi di Reservoir.
Seluruh tahapan tersebut berlangsung di IPA 1 Palyja, Pejompongan, selama 4 jam. Di tiap tahap, Pak Khamid dengan telaten menjelaskan serta menunjukkan perubahan yang sudah terjadi pada air, dibandingkan dengan kondisi air semasa berupa air baku. Kami memang baru pertama kali melihat pemrosesan air seperti ini. Di antara rasa terkejut dan tercengang, kami juga tersadar: alangkah panjang waktu dan mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air bersih layak minum. Diam-diam, kami merasa malu, karena selama ini kerap menyia-nyiakan air bersih. Kadang tidak terlalu rapat menutup keran. Kadang dengan cuek meninggalkan gelas minuman, padahal baru diminum seteguk-duateguk.
[caption caption="Pak Khamid, ber-helm putih, dengan telaten serta sabar menjelaskan kepada kami tahap demi tahap pemrosesan air. Ia mengaku senang berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang air kepada masyarakat. Pak Khamid berharap, dengan mengetahui pemrosesan air, masyarakat akan tergugah untuk tidak membuang limbah ke sungai, agar kondisi air di sungai layak dijadikan sebagai air baku. Juga, agar publik senantiasa hemat menggunakan air. Foto: kompasiana.com"]
Hampir satu jam Pak Khamid memandu kami berkeliling, mencermati tahap demi tahap pemrosesan air tersebut. Tanpa terasa, ia sudah mengajak kami mengitari area IPA 1 Palyja, Pejompongan, sekitar 500 meter perjalanan. Lelah? Tentu saja, tidak. Karena, kami memperoleh pengetahuan yang berharga tentang seluk-beluk air. Bukankah air adalah salah satu komponen penting bagi kehidupan? Bukankah hampir 80 persen tubuh kita terdiri dari air? Ketika kembali berkumpul di ruang Tirta Ananta, kami dikejutkan oleh paparan Pak Budi Susilo, Direktur Customer Service Palyja.
Pria yang kalem tersebut, dengan suara yang juga kalem, mengatakan, ”Ada 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta. Semua itu sebenarnya potensi yang berlimpah, sebagai sumber air baku bagi Palyja. Sayang, semua sungai itu sudah tercemar, hingga kondisi airnya tidak layak untuk dijadikan air baku.” Semua diam, seakan tak percaya. Pak Budi Susilo menambahkan, jika saja air sungai Ciliwung, misalnya, layak untuk dijadikan air baku, maka Palyja tidak perlu jauh-jauh mendatangkan air baku dari Waduk Jatiluhur, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Jakarta.
Kami tertegun. Tercemar? Karena limbah pabrik kah? Ternyata, bukan. Justru, ke-13 sungai besar tersebut tercemar oleh limbah domestik, limbah rumah tangga. Ibu Meyritha Maryanie, Corporate Communication & Social Responsibilities Head Palyja, menjelaskan, kebiasaan masyarakat membuang limbah rumah tangga ke sungai, itulah yang terutama mencermarkan sungai-sungai tersebut. Sampai tahun 1997, air sungai yang mengalir ke Jakarta, masih bisa dikatakan layak untuk dijadikan air baku. Namun, setelah tahun tersebut, praktis sudah tidak bisa diolah lagi.
[caption caption="Foto atas, dari kiri ke kanan: Ibu Meyritha Maryanie, Ibu Irma Gusyani, Deputi Operasional, Ibu Nancy Elvina, Kepala Devisi Manajemen Aset dan Non Revenue Water (NRW). Pak Budi Susilo duduk di sebelah kiri Ibu Irma Gusyani. Foto bawah, Pak Tito Wirananto, Department Head Primary Construction. Kekompakan para petinggi PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) ini menyatu dan mengalir bagai air. Diskusi yang atraktif sekaligus produktif bersama 30 Kompasianer dari Kompasiana. Foto: kompasiana.com"]
Andai Sungai Tidak Tercemar
Di satu sisi, kebutuhan air bersih di Jakarta, terus meningkat. Saat ini, kebutuhan air warga Jakarta, 26.100 liter per detik. Sementara, yang baru bisa dipenuhi oleh Palyja dan Aetra, 17.000 liter per detik. Palyja dan Aetra adalah dua operator penyedia air bersih di Jakarta. Palyja penyedia air untuk wilayah bagian barat Jakarta dan Aetra untuk bagian timur Jakarta. Artinya, ada 9.100 liter air per detik untuk warga Jakarta yang belum terpenuhi. Andaikan 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta tersebut tidak tercemar oleh limbah rumah tangga, tentulah kebutuhan air bersih tersebut akan terpenuhi.
Ini adalah tantangan untuk kita semua, agar tidak membuang limbah apa pun ke sungai. Karena, air sungai dibutuhkan orang banyak. Dengan menjaga kebersihan sungai, itu sama maknanya dengan kita telah turut menjaga kehidupan orang lain. Dibandingkan dengan kondisi air di 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta, kondisi air di Kanal Banjir Barat, masih agak lumayan. Yang termasuk wilayah Kanal Banjir Barat adalah aliran sungai dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya, ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di Muara Angke.
[caption caption="Untuk menjangkau warga dalam skala yang lebih luas, Palyja menyiapkan 245 public hydrants serta 58 kios air. Kios air ditujukan untuk melayani warga di daerah yang belum tersedia jaringan air bersih. Bersamaan dengan itu, kualitas air dikelola dengan maksimal. Foto ini menunjukkan ruang monitoring Palyja yang berfungsi 24 jam dengan 3 shift. Seluruh tahapan dirawat secara seksama. Akselerator dibersihkan tiap 2 bulan, reservoir dibersihkan per 1 tahun, dan filter dirawat tiap 72 jam. Di IPA 1 Palyja, Pejompongan, ada 48 filter. Foto: kompasiana.com"]
Setelah melalui proses pra-pengolahan air baku, baru kemudian dialirkan ke IPA 1 Palyja, Pejompongan, yang selanjutnya diolah sebagaimana halnya pengolahan air baku dari Waduk Jatiluhur. Sekali lagi, andaikan 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta tersebut tidak tercemar, tentulah proses penyediaan air bersih tidak serumit demikian. Maka, bertepatan dengan Hari Air Dunia yang jatuh hari ini, Selasa (22/3/2016), sudah sepatutnya kita bersama mengevaluasi sikap kita terhadap sungai. Apakah kita masih membuang limbah ke sungai? Sudahkah kita turut menjaga air sungai? Mari #Bersama Demi Air, dengan tidak membuang limbah apa pun ke sungai.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 22 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H