Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

[Earth Hour 2016] Matikan Lampu pada Sabtu, 19 Maret 2016, Pukul 20.30-21.30

19 Maret 2016   14:06 Diperbarui: 19 Maret 2016   17:07 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mari kita sejenak mematikan lampu hari ini. Kita tentu bisa melakukannya, di mana pun berada, di seluruh dunia. Kita bisa melakukannya. Ini simbol, setidaknya untuk menggugah diri kita sendiri, agar kita menggunakan listrik seperlunya. Mari menjadi salah seorang dari penghuni bumi, yang turut mengurangi ancaman pemanasan global. Foto: koleksi wwf"][/caption]Hari ini, Sabtu, 19 Maret 2016. Mari mencintai bumi dengan mematikan lampu selama satu jam, pukul 20.30-21.30 waktu setempat. “Mematikan lampu adalah simbol sederhana untuk mengubah pola konsumsi energi kita,” ujar Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, pada Selasa (15/03/2016).

Ajakan mematikan lampu itu dituturkan Nyoman Iswarayoga, dengan penuh kesantunan. Bukan dengan suara yang meledak-ledak, tapi dengan intonasi yang menyentuh. Ia kerap menundukkan kepala, sebagai pertanda, betapa sungguh-sungguhnya ajakan tersebut. ”Pola konsumsi energi kita sehari-hari, sudah menggerogoti alam. Kalau kita tidak berubah dari sekarang, fenomena perubahan iklim akan menyulitkan kita,” ungkap Nyoman Iswarayoga lebih lanjut, pada Selasa (15/03/2016) sore, di Bangsal Sri Manganti, Kraton Yogyakarta. Sore itu, Nyoman Iswarayoga duduk di tengah dua sosok istimewa. Di sebelah kanannya, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan di sebelah kirinya, GKR Hayu (Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Yogyakarta), putri ke-4 Sri Sultan.

Listrik Panaskan Bumi     

Kenapa kita diajak untuk mematikan lampu? Karena, semua orang di mana pun berada, di seluruh dunia, bisa melakukannya. Ini simbol, setidaknya untuk menggugah diri kita sendiri, sudahkah kita menggunakan listrik seperlunya? Maklum, banyak yang lupa mematikan lampu di luar ruangan, padahal matahari sudah bersinar terang. Juga, banyak yang lupa mematikan lampu kamar, meski sesungguhnya sedang tidak diperlukan. Demikian pula halnya dengan lampu di kamar mandi. Sepintas, semua itu nampak sebagai hal yang remeh-temeh.

[caption caption="Kika: Wicaksono yang dikenal dengan nama Ndorokakung, Pemimpin Redaksi Beritagar.id, memandu acara sebagai moderator, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Nyoman Iswarayoga, dan GKR Hayu (Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Yogyakarta), putri ke-4 Sri Sultan. Mereka mengajak serta memotivasi kita untuk bersama merawat bumi, sejenak mematikan lampu hari ini. Mari turut mengurangi ancaman pemanasan global. Foto: isson khairul"]

[/caption]Namun, bila dilakukan dengan kesadaran bersama, efek positifnya sungguh luar biasa. Benarkah? Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali, misalnya, ketika mematikan sebagian lampu pada Hari Raya Nyepi, Rabu (9/3/2016) lalu, mampu menghemat pemakaian listrik hingga Rp 154 juta. Secara keseluruhan, pada hari-hari biasa, pelanggan PLN di Bali menggunakan listrik hingga 810 Mega Watt.  "Pada Hari Raya Nyepi, pemakaian listrik menurun hingga 40 persen,” ujar Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Distributor Bali, I Gusti Ketut Putra, pada Minggu (6/3/2016).

Jika dirupiahkan, nilai penghematan listrik pada satu hari itu sekitar Rp 4 miliar. Dalam konteks pemanasan bumi, Hari Raya Nyepi tersebut mampu mereduksi emisi dari gas karbondioksida (H2O) sebanyak 20.000 ton, dalam sehari itu saja. Kita tahu, penghasil emisi karbon terbesar secara global adalah listrik. Sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia menghasilkan hampir 40 persen emisi karbon. Nah, emisi karbon yang terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut, merupakan penyebab utama pemanasan global.

Dengan demikian, ajakan Nyoman Iswarayoga untuk mematikan lampu selama satu jam hari ini, Sabtu (19/3/2016), adalah bagian dari upaya kita untuk bersama-sama mengurangi pemanasan bumi. Mudah-mudahan, setelah hari ini, kita akan tergugah untuk menggunakan listrik dengan bijak: seperlunya, sesuai kebutuhan. Artinya, bijak menggunakan listrik bukan sekadar untuk mengurangi pengeluaran tagihan listrik. Tapi, menjadi salah seorang dari penghuni bumi yang telah turut mengurangi ancaman pemanasan global.

[caption caption="Ngobrol santai tentang lingkungan bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X ini diadakan di Bangsal Sri Manganti Kraton Yogyakarta. Areanya semi terbuka, hingga tidak perlu penyejuk udara yang menguras listrik. Dihadiri oleh lebih dari 100 netizen, yang antusias dengan berbagai upaya untuk mengurangi pemanasan bumi. Spirit selaras dengan alam sungguh terasa kuat dalam kebersamaan ini. Foto: isson khairul"]

[/caption]Memayu Hayuning Bawono

Bumi ini bukan milik kita, tapi milik anak cucu kita. Maka, alangkah tidak pantas bila pola konsumsi energi kita sehari-hari sampai merusak bumi, yang sesungguhnya bukan kepunyaan kita. Sri Sultan Hamengku Buwono X mengingatkan akan Memayu Hayuning Bawono. Dalam Bahasa Indonesia, maknanya adalah memperindah keindahan dunia. Ini adalah kandungan nilai-nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. “Keselamatan alam bumi kita, tergantung dari kita sendiri. Kejujuran akan membawa keutuhan masyarakat. Rasa kemanusiaan akan menjaga keselamatan sesama manusia,” ungkap Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Selasa (15/03/2016) sore, di Bangsal Sri Manganti, Kraton Yogyakarta.

Intonasi Sri Sultan sungguh santun. Tapi, sebenarnya penuh dengan rasa cemas, terkait kejujuran kalangan industri perhotelan di Yogyakarta. Dari penelusurannya, Sri Sultan mengetahui, cukup banyak pengusaha hotel di Yogyakarta, yang secara serampangan membuat sumur bor sebagai sumber air bersih. Ada yang izinnya hanya untuk satu sumur bor, tapi yang mereka lakukan mengebor lebih dari satu sumur. ”Ini hanya salah satu contoh yang menunjukkan, betapa nilai-nilai kejujuran sudah terkikis. Padahal, ini terkait langsung dengan keselamatan bumi. Ini merupakan perilaku yang tidak menjaga keselamatan sesama manusia,” tutur Sri Sultan, tetap dengan nada santun.

Akibat perilaku tersebut, permukaan air tanah di Kota Yogyakarta dan Sleman mengalami penurunan hingga 4 meter. Jika dulu menggali sumur 7 meter sudah keluar air, kini minimal warga harus menggali sumur lebih dari 11 meter, baru menemukan sumber air. Penurunan permukaan air tanah tersebut terus terjadi secara signifikan, mengingat jumlah hotel terus pula bertambah secara signifikan. “Dulu, waktu hotel sudah berjumlah 38, saya minta di-setop. Walikota Sleman janji moraturium selama dua tahun. Nyatanya, izin terus saja diberikan dan sekarang sudah ada 59 hotel baru di sana,” ucap Sri Sultan tentang dilematis mengelola industri dan merawat lingkungan.

Akibat lanjutannya, tentulah warga akan menggunakan pompa air dengan kapasitas yang lebih besar, karena sumber air makin dalam. Dengan sendirinya mereka juga akan menggunakan listrik yang lebih besar pula. Maka, yang terjadi kini, warga serta kalangan industri di Yogyakarta, berlomba-lomba untuk memperebutkan air tanah. Otomatis, juga terus bertambahnya penggunaan listrik. Artinya, terkikisnya nilai-nilai kejujuran tersebut, telah membengkakkan penggunaan daya listrik. Dalam hal ini, kita melihat bahwa spirit untuk merawat bumi, belum sepenuhnya menjadi spirit bersama warga dan pihak berwenang di Yogyakarta.

[caption caption="Upaya Melestarikan Indonesia sama dan sebangun dengan spirit untuk senantiasa merawat bumi yang kita cintai ini. Kepada netizen yang hadir, penyelenggara acara memberikan sebatang bibit pohon srikaya. Ini simbol untuk mengingatkan agar kita senantiasa menghijaukan bumi dengan tanaman berguna. Bermanfaat pohonnya, terjaga pula lingkungan yang kita diami. Foto: isson khairul "]

[/caption]Selaras Alam Sri Manganti

Pada saat beban puncak, penggunaan listrik yang dikelola PLN DIY mencapai 410 Mega Volt Ampere (MVA). Memang, ketersediaan daya listrik dari PLN DIY masih cukup, karena pasokan listrik yang tersedia mencapai 710 MVA. Namun, dalam konteks emisi karbon yang merupakan penyebab utama pemanasan global, realitas tersebut tentulah tidak kondusif. Andai saja nilai-nilai kejujuran bisa dijaga, tentulah penurunan permukaan air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, tidak sampai 4 meter. Warga pun cukup menggunakan pompa skala kecil saja, yang kapasitas listriknya pun rendah. Dengan demikian, industri serta warga secara bersama-sama menjaga bumi, mengacu kepada Memayu Hayuning Bawono.

Kandungan nilai-nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa yang diingatkan Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut, lengkapnya: Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro. Terjemahan bebasnya, manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak. Dalam konteks menyedot air tanah secara berlebihan serta menggunakan daya listrik di luar batas kewajaran, tentulah bertentangan dengan kandungan nilai-nilai tersebut. Maka, ngobrol santai tentang lingkungan bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Selasa (15/03/2016) sore di Bangsal Sri Manganti itu, terasa sungguh relevan.

Acara sore itu dibingkai dengan tema Melestarikan Indonesia. Earth Hour Indonesia bekerja sama dengan OBSAT, sebuah program diskusi dari situs Beritagar.id, bertindak sebagai penyelenggara. Mereka memilih Kraton Yogyakarta sebagai tuan rumah. Ini pilihan yang tepat, karena Sri Sultan Hamengku Buwono X memang sejak awal sangat mendukung aktivitas yang berpihak pada pelestarian lingkungan. Dalam penyediaan energi pun, Sri Sultan mengedepankan sumber energi yang ramah lingkungan. Pada Kamis (11/2/2016) lalu, di Nusa Dua, Bali, Sri Sultan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Direktur Utama Medco Inti Dinamika, Hilmi Panigoro, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto, dan Direktur Utama Len Industri, Abraham Mose, untuk membangun pusat unggulan pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia.

Untuk kebutuhan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah menyediakan lahan seluas 270 hektar di Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelumnya, di Kabupaten Bantul, juga dibangun proyek  Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Bantul. Proyek listrik tersebut diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Pantai Samas, Bantul, Yogyakarta, pada Senin (4/5/2015). Bantul menjadi daerah pertama di Indonesia yang mempunyai pembangkit listrik tenaga bayu. Pembangkit listrik ini diperkirakan mampu menghasilkan energi sebanyak 50 megawatt. Spirit selaras bersama alam pada Selasa (15/03/2016) sore di Bangsal Sri Manganti tersebut, sungguh terasa kuat.

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Jakarta, 19 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun