Kalkulasinya, saat ini, packing line yang beroperasi di industri minyak goreng sawit, ada sekitar 180 packing line untuk mengemas 300 ribu ton minyak goreng sawit, dalam kemasan sederhana, pillow type per tahun. Kalkulasi Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tersebut, menunjukkan kepada kita, dibutuhkan lompatan dari 180 packing line menjadi 3.000 unit di seluruh Indonesia, untuk mewujudkan penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan. Silakan hitung sendiri, berapa persen lompatan yang harus dilakukan industri minyak goreng sawit. Akankah lompatan tersebut terjangkau hingga deadline pada Sabtu (1/4/2017)?
Menunda Momentum Spekulan     Â
Kita tahu, Presiden Joko Widodo adalah pengusaha, sebelum terjun ke ranah politik. Pada (20/4/2006), beberapa bulan setelah terpilih menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah, kepada swa.co.id, Joko Widodo menegaskan, yang dibutuhkan investor bukanlah ada biaya atau tidak, tapi kepastian, transparansi, dan iklim usaha yang kondusif. Hal itu berkali-kali ia ulangi ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah menjadi Presiden, Joko Widodo bahkan lebih sering mengulanginya, demi menggaet investor masuk Indonesia. Dalam konteks pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan, yang penundaan eksekusinya sampai dua kali oleh dua Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel dan Thomas Lembong, di mana letak kepastian, transparansi, dan iklim usaha yang kondusif, yang Joko Widodo maksudkan?
Secara kalkulasi, yang dibutuhkan industri minyak goreng sawit, bukan hanya investasi sekitar Rp 3,2 triliun, untuk pengadaan sekitar 3.000 unit mesin pengemas, packing line. Tapi, juga membengkaknya biaya logistik untuk distribusi, yang meningkat hingga 20 persen, jika dibandingkan dengan mendistribusikan minyak curah. Rinciannya, begini. Untuk mendistribusikan 20 ton minyak goreng sawit kemasan, misalnya, harus pakai kontainer. Kalau dalam wujud curah, bisa pakai tangki. Dan, secara biaya, ongkos angkut kontainer itu, setara dengan dua kali ongkos tangki. Sebagai mantan pengusaha, Presiden Joko Widodo tentu paham, semua itu otomatis akan mendongkrak cost production. Ujungnya, lonjakan biaya tersebut, dengan sendirinya, akan menggelembungkan harga di tingkat konsumen.
Sepertinya, Presiden Joko Widodo belum menunjukkan reaksi, setelah Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menunda untuk kedua kalinya eksekusi wajib kemasan itu pada Jumat (5/2/2016), lalu. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), pada Selasa (16/2/2016), memaparkan, rata-rata biaya pengemasan minyak goreng sawit, sekitar 12 persen dari biaya produksi minyak goreng curah. Di Pasar Induk Cipanas, Jawa Barat, sehari sebelum penundaan, pada Kamis (4/2/2016), harga minyak goreng sawit curah Rp 9.500 per kilogram. Sedangkan harga minyak goreng sawit kemasan, yang paling murah dibanderol Rp 13.500 per liter.
Dari perlakuan pemerintahan Joko Widodo terhadap industri minyak goreng sawit dan terhadap konsumen pengguna minyak goreng, kita melihat, yang timbul adalah sejumlah spekulan yang memainkan harga minyak goreng. Yang langsung terkena dampaknya adalah rakyat, mereka yang sehari-hari berbelanja di pasar tradisional. Juga, para pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah, yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku usaha mereka. Di rentang waktu menjelang deadline pada Sabtu (1/4/2017), potensi lahirnya spekulan baru di perdagangan minyak goreng, mungkin akan lebih besar. Tapi, apa pun itu, yang akan menanggung tetap saja rakyat ... ya rakyat.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 18 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H