Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sudirman Said Tidak Blak-blakan Soal Keringanan Baru untuk Freeport, Mengapa?

15 Februari 2016   08:56 Diperbarui: 15 Februari 2016   11:25 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menteri ESDM, Sudirman Said (tengah), dalam pertemuan Bali Clean Energy Forum (BCEF) 2016 di Nusa Dua Bali, pada Kamis (11/2/2016). Indonesia hanya memiliki bauran 5 persen energi baru terbarukan dari konsumsi energi nasional. Tanpa kesungguhan pemerintah untuk menegakkan kedaulatan energi nasional, potensi energi baru terbarukan Indonesia bisa bernasib sama dengan energi fosil, dikuras oleh perusahaan asing seperti Freeport. Foto: kompas.com"][/caption]Kementerian ESDM mengeluarkan rekomendasi ekspor konsentrat untuk Freeport, per 10 Februari 2016. Padahal, smelter Freeport belum selesai, baru juga 11,5 persen. Uang jaminan Freeport pun masih kurang US$ 395 juta lagi. Ada apa dengan Sudirman Said? Kenapa ia tidak blak-blakan?

Ada yang berubah pada Sudirman Said. Ia tidak blak-blakan soal keringanan baru untuk Freeport, yang dikeluarkan Kementerian ESDM yang dipimpinnya. Adakah yang hendak ia tutupi? Adakah pihak yang ingin ia lindungi? Ini tentu suatu sikap yang paradoks, jika dibandingkan dengan sikap serta reaksinya pada hal yang terkait dengan Freeport sebelumnya. Kala itu, Sudirman Said dengan atraktif melaporkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), pada Senin (16/11/2015). Kini, rekomendasi ekspor konsentrat untuk Freeport, per 10 Februari 2016, seakan sengaja disusupkan, pada saat publik sedang terseret oleh isu Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Izin Ekspor Tanpa Uang Jaminan

Perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya (KK), harus membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral. Ini adalah kewajiban dan sudah menjadi keharusan. Acuannya, amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Penegasan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono, di Jakarta, pada Selasa (29/9/2015). Sebelumnya, Sudirman Said juga menegaskan, di Jakarta, pada Senin (7/9/2015), tidak ada toleransi untuk memberikan relaksasi ekspor mineral mentah. Pemberian relaksasi ekspor lebih besar mudaratnya, daripada melanjutkan pembangunan smelter.

Tapi, apa yang terjadi di lapangan? Kementerian ESDM mengeluarkan rekomendasi ekspor konsentrat untuk Freeport, per 10 Februari 2016. Kok bisa? Kronologisnya, begini. Freeport sudah membangun smelter di Gresik, Jawa Timur. Hingga pertengahan Januari 2016 lalu, sebagaimana dikemukakan Direktur Freeport Indonesia, Clementino Lamury, kemajuan proyek smelter Freeport di Gresik tersebut baru mencapai 11,5 persen atau setara dengan US$ 168 juta dari total investasi smelter yang mencapai US$ 2,3 miliar. Karena pembangunan tersebut dinilai lamban oleh Kementerian ESDM, maka kementerian yang dipimpin Sudirman Said itu, meminta Freeport menyetor uang jaminan US$ 530 juta, bila Freeport ingin memperpanjang izin ekspornya yang habis pada 28 Januari 2016.

Untuk kepentingan tersebut, Freeport telah menyetor dana komitmen pembangunan smelter yang dimaksud sebesar US$ 115 juta pada 2014 dan US$ 20 juta pada 2015. Nah, sisanya yang US$ 395 juta bagaimana? Inilah yang menimbulkan tanda tanya. Freeport dengan cerdik menyodorkan kontrak sebagai jaminan. Perusahaan tersebut mengatakan, mereka telah meneken engineering and procurement contract (EPC) sebesar US$ 927 juta dengan perusahaan asal Jepang, Chiyoda. Kontrak itulah yang dijadikan jaminan. Artinya, Freeport tidak menyetor jaminan dalam bentuk uang. Ini dikemukakan oleh Said Didu, Staf Khusus Menteri ESDM, di Nusa Dua, Bali, pada Kamis (11/2/2016).

[caption caption="Pemandangan area tambang Grasberg Mine di Kabupaten Mimika, Papua, yang dikelola PT Freeport Indonesia. Foto diabadikan Februari 2015 lalu. Lubang menganga sedalam 1 kilometer dan berdiameter sekitar 4 kilometer itu telah dieksploitasi Freeport sejak tahun 1988. Hingga kini, cadangan bijih tambang di Grasberg Mine tersisa sekitar 200 juta ton dan akan benar-benar habis pada tahun 2017. Foto: print.kompas.com"]

[/caption]Kewajiban Ditukar dengan Uang

Bila mengacu kepada pernyataan Sudirman Said di Jakarta, pada Senin (7/9/2015), bahwa tidak ada toleransi untuk memberikan relaksasi ekspor mineral mentah, kebijakan tersebut tentulah sangat ganjil dan janggal. Dalam konteks di atas, Sudirman Said sebenarnya sudah memberikan dua kali toleransi kepada Freeport. Pertama, kebijakan uang jaminan. Kenapa pakai uang jaminan? Bukankah perusahaan pemegang IUP dan KK wajib membangun smelter sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara? Kebijakan Sudirman Said menukar kewajiban dengan uang jaminan, itu jelas sudah merupakan toleransi khusus yang diberikan kepada Freeport.

Apakah menukar kewajiban dengan uang jaminan tersebut juga berlaku bagi perusahaan pemegang IUP dan KK yang lain? Bagaimana mekanismenya? Bagaimana pula model perhitungannya? Ini tidak dijelaskan Sudirman Said secara blakblakan kepada publik. Bahkan, perusahaan pemegang IUP dan KK yang lain pun, mungkin tidak banyak yang tahu. Dalam konteks transparansi, menukar kewajiban dengan uang jaminan tentu saja di luar kendali Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Kebijakan tersebut sangat rentan dengan kongkalingkong dan persekongkolan. 

Selain itu, apa acuan Sudirman Said menetapkan uang jaminan US$ 530 juta tersebut? Bila menukar kewajiban dengan uang jaminan tersebut juga berlaku bagi perusahaan pemegang IUP dan KK yang lain, apakah jumlah uang jaminan itu disamaratakan untuk semua pemegang IUP dan KK? Bila disamaratakan, berarti fungsi pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sama sekali tidak menerapkan prinsip keadilan dalam dunia usaha. Kepada tempo.co, pada Jumat (12/2/2016), Sudirman Said mengatakan, "Jaminan US$ 530 juta itu sebenarnya kebijakan saya.” Oalah, demikian sangat remehnya kekuatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara, yang Sudirman Said dengan leluasa menukar kewajiban dengan uang jaminan serta menetapkan jumlah uang jaminan sekehendaknya.

[caption caption="Anda datang ke sini, teman Anda banyak, dan teman Anda orang-orang berpengaruh. Tapi, jangan pernah menggunakan pengaruh itu untuk menekan saya. Karena, tak akan mempan. Itu kata-kata Sudirman Said kepada James R. Moffett, Chairman Freeport, yang mengundurkan diri sebagai pimpinan Freeport pada Kamis (31/12/2015). Sudirman Said mengungkapkan itu dalam acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, pada Selasa (3/11/2015). Yang menjadi host acara tersebut adalah Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Foto: kompas.com"]

[/caption]Uang Ditukar Kontrak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun