[caption caption="Mereka anak-anak bangsa yang penuh harapan. Orangtua mereka hidup dari bertani di desa. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, kepada pers di Jakarta, pada Jumat (5/2/2016), menyatakan, selama Januari-Desember 2015, desa mengalami sembilan bulan inflasi lebih tinggi daripada yang dialami wilayah perkotaan. Populasi penduduk miskin di desa mencapai dua kali lipat daripada di kota. Data BPS: dalam setahun, penduduk miskin di desa bertambah lebih dari 520.000 jiwa. Dari 17,37 juta jiwa per September 2014, menjadi 17,89 juta jiwa per September 2015. Foto: kompas.com"][/caption]Ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2015, hanya tumbuh 4,79 persen. Padahal, pertumbuhan ekonomi tahun 2014 mencapai 5,02 persen. Daya saing Indonesia menurut World Talent Report 2015, melorot dari urutan 25 ke urutan 41. Jauh di bawah Singapura yang di urutan ke-10, Malaysia (25), dan Thailand (34).
Di berbagai kesempatan, Joko Widodo selalu bicara tentang optimisme. Benarkah pemerintahan Joko Widodo optimis? Dalam konteks menetapkan target pertumbuhan ekonomi, kita bisa cermati. Semula, pemerintah menetapkan target pertumbuhan 5,7 persen. Kemudian, target tersebut diturunkan menjadi 5,4 persen. Tak lama setelah itu, target diturunkan lagi menjadi 5,2 persen. Bank Indonesia kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi 5,0 persen. Eh, yang sanggup dicapai pemerintahan Joko Widodo hanya 4,79 persen. Itulah keterangan resmi dari Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, kepada pers di Jakarta, pada Jumat (5/2/2016).
Penuh Jargon Semu
Maka, segala bentuk jargon seperti Gebrakan Jokowi atau Terobosan Jokowi, hanya semu semata dan sia-sia. Dari penurunan target pertumbuhan yang terus-menerus diturunkan pemerintahan Joko Widodo, itu merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa pemerintahan Joko Widodo tidak yakin pada kemampuannya. Juga, tidak mencerminkan profesionalisme pemerintahan, meski sejak awal Joko Widodo meng-klaim bahwa ia didukung oleh para profesional. Salah satu ciri kaum profesional: profesional menetapkan target dan profesional pula mencapai target.
Penetapan target yang mencla-mencle seperti di atas, menunjukkan betapa lemahnya landasan pemerintahan Joko Widodo dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi. Kalau mau berkelit, bisa sih penurunan target yang beruntun tersebut dianggap sebagai bagian dari antisipasi perekonomian. Eits, nanti dulu, ini dalam konteks target pertumbuhan ekonomi sebuah negara, sebuah pemerintahan. Artinya, target yang ditetapkan sudah seharusnya melalui evaluasi menyeluruh serta antisipasi yang mendasar. Bukan target yang tiba masa, tiba akal. Bukan pula target kelas warung kelontong pinggir jalan.
Dengan demikian, target yang ditetapkan akan mencerminkan profesionalisme pemerintahan yang dimaksud. Bukankah sejak awal Joko Widodo meng-klaim bahwa ia didukung oleh para profesional? Bukankah Joko Widodo juga meng-klaim bahwa ia independen memilih jajaran pendukungnya? Nah, dengan mencla-mencle menetapkan target pertumbuhan ekonomi dan tidak tercapainya target, apa evaluasi Joko Widodo? Sudahkah Joko Widodo melakukan evaluasi menyeluruh serta antisipasi yang mendasar untuk tiap kebijakan ekonomi yang ia eksekusi?
Melorotnya daya saing Indonesia menurut World Talent Report 2015 di atas, menunjukkan berbagai kebijakan pemerintahan Joko Widodo sudah seharusnya dievaluasi secara menyeluruh dan mendasar. Daya saing Indonesia bukan hanya melorot, tapi anjlok dari urutan 25 ke urutan 41. Ini menyangkut kredibilitas daya saing negeri kita dengan negara tetangga: Singapura, Malaysia, dan Thailand. Apalagi sekarang pasar Asean sudah terbuka. Dengan kondisi lemahnya daya saing kita, negeri ini hanya dijadikan pasar oleh negara lain.
[caption caption="Mereka adalah bagian dari kita, bersama menjaga bangsa dan negara. Daya saing kita yang terus melemah, membuat posisi tawar kita juga lemah terhadap negara lain. Apakah kita sanggup membendung barang-barang impor yang terus membanjiri Indonesia? BPS mencatat, China merupakan negara pemasok terbesar barang-barang ke Indonesia. Sepanjang Januari-Oktober 2015, impor Indonesia dari China sebesar 23,82 miliar dollar AS. Itu dikatakan Suryamin, di Jakarta, pada Senin (16/11/2015). Foto: kompas.com"]
Joko Widodo bisa saja memperdebatkan pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,79 persen itu. Juga, menggunakan jurus usangnya, menyalahkan ekonomi global. Toh, nyatanya tabiat salah-menyalahkan yang dikembangkan pemerintahan Joko Widodo selama ini, hanya sanggup menumbuhkan ekonomi negeri ini 4,79 persen. Menyamai pertumbuhan ekonomi tahun 2014 yang mencapai 5,02 persen pun tidak. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, menyampaikan tidak tercapainya target tersebut kepada pers di Jakarta, pada Jumat (5/2/2016).
Kapan nih Presiden Joko Widodo menjelaskan kepada publik tentang ketidaktercapaian tersebut? Atau, mau diwakilkan saja kepada Johan Budi SP, yang sudah resmi menjadi juru bicara Presiden sejak Selasa (12/1/2016) ? Salah satu ciri kaum profesional: profesional menetapkan target dan profesional pula mencapai target. Artinya, bersikap profesional pula menghadapi target yang tidak tercapai. Dalam konteks ini, secara profesional melakukan evaluasi menyeluruh serta antisipasi yang mendasar untuk tiap kebijakan ekonomi yang sudah dieksekusi.
Tentang World Talent Report 2015, Joko Widodo juga bisa saja memperdebatkannya. Sebagai informasi, World Talent Report dikelola oleh Institute of Management Development (IMD), sekolah bisnis ternama yang bermarkas di Lausanne, Swiss. Hasilnya disampaikan Prof. Arturo Bris, Director IMD's Competitiveness Center, dalam konferensi pers di Singapura pada Selasa (17/11/2015). Untuk kepentingan report ini, IMD melibatkan lebih dari 4.000 eksekutif dari 61 negara di dunia.
Ini mengacu kepada daya saing negara, secara regional maupun internasional. Sekretariat Asean memang ada di Jakarta. Tapi, bila pemerintahan Joko Widodo tidak strategis menyikapinya, maka yang meraup untung lebih banyak, ya para negara tetangga. Dengan daya saing yang lemah, bargaining power negara pun akan lemah. Nah, seberapa profesional pemerintahan Joko Widodo dibandingkan dengan pemerintahan negara Asean lainnya? Korelasi antara tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dan melorotnya daya saing, tentulah tidak cukup dihadapi hanya dengan jargon kami tidak takut MEA.
[caption caption="Pembangunan Tol Solo-Kertosono (Soker) sepanjang 18 kilometer. Sebelum pembangunan jalan tol, kontraktor berjanji membangunkan saluran irigasi sementara. Namun, faktanya tidak pernah direalisasikan sampai sekarang. Samidi, Ketua Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Ngemplak, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengatakan, segala upaya sudah ditempuh petani dengan menemui Pemerintah Kabupaten Boyolali, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS), hingga ke kontraktor jalan tol Soker, agar memperbaiki saluran irigasi yang rusak. Foto: solopos.com"]
Ada jargon lain yang juga kerap digaungkan Joko Widodo, yaitu membangun dari pinggiran. Maksudnya, membangun masyarakat desa secara sosial-ekonomi. Karena sebagian besar masyarakat desa hidup dari sektor pertanian, maka sejumlah program yang relevan dengan desa dan pertanian, digulirkan. Dalam hal ini, ada dua aspek yang diharapkan: perekonomian masyarakat desa tumbuh dan produksi pangan meningkat. Akumulasi produk pangan dari ribuan desa yang menghasilkan pangan, diharapkan berkontribusi pada ketersediaan pangan secara nasional.
Jumlah total desa yang ada di Indonesia, mencapai 74.093 desa. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklasifikasikan puluhan ribu desa tersebut dengan 43 indikator, hingga desa dikelompokkan menjadi tiga: desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Nah, bagaimana kondisi desa tahun 2015? Berdasarkan data BPS, dalam setahun, penduduk miskin di desa bertambah lebih dari 520.000 jiwa. Dari 17,37 juta jiwa per September 2014, menjadi 17,89 juta jiwa per September 2015.
Artinya, taraf hidup warga desa, tidak membaik. Jumlah warga desa yang miskin, justru bertambah. BPS juga mencatat, selama Januari-Desember 2015, desa mengalami sembilan bulan inflasi lebih tinggi daripada yang dialami wilayah perkotaan. Populasi penduduk miskin di desa mencapai dua kali lipat daripada di kota. Realitas tersebut singkron dengan apa yang disuarakan publik selama ini, tentang terus melemahnya daya beli masyarakat. Sementara, harga barang dan jasa terus melambung, nyaris tidak terjangkau.
Wah, jargon membangun dari pinggiran yang kerap digaungkan Joko Widodo, rupanya hanya semu semata dan sia-sia. Ada satu contoh, yang menggambarkan kondisi warga petani desa. Ini terkait dengan pembangunan Tol Solo-Kertosono (Soker). Tol sepanjang 18 kilometer itu, dibangun sejak tahun 2012 sampai sekarang. Pembangunan tol tersebut telah merusak saluran irigasi pertanian. Akibatnya, seratusan hektar sawah ratusan petani di Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, rusak. Yang mengenaskan, sudah 13 kali musim tanam, nasib ratusan petani tersebut tidak berketentuan.
“Karena saluran irigasinya rusak, kami kadang tanam kadang tidak,” kata Sulaiman, petani asal Desa Dibal, dalam forum yang dihadiri sejumlah instansi terkait dan Kepala Satuan Kerja Tol Soker, Aidil Fiqri, di Kantor Desa Pandean, Kecamatan Ngemplak, pada Rabu (13/1/2016) siang. Untuk ukuran petani, tersia-sia dalam 13 kali musim tanam, bukanlah perkara sederhana. Dan, itu menyangkut ratusan petani. Mereka tentu saja langsung tercampak ke dalam kelompok penduduk miskin. Mereka hidup di pinggiran, di desa, yang satu provinsi dengan tanah kelahiran Presiden Joko Widodo. Jargon membangun dari pinggiran yang kerap digaungkan Joko Widodo, barangkali sempat terngiang di telinga mereka.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 10 February 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H