Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Daging Sapi India Diolah Jadi Sosis Malaysia, Diekspor ke Indonesia Mencapai US$ 4,76 Juta

28 Januari 2016   07:16 Diperbarui: 28 Januari 2016   12:33 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga rata-rata sosis impor adalah US$ 2,29 per kilogram. Dengan kurs Rp 13.000 per dollar Amerika Serikat, misalnya, berarti harga sosis impor dari Malaysia hanya Rp 29.770 per kilogram. Sementara, dengan produk sejenis dan kualitas sama buatan Indonesia, sosis bisa mencapai Rp 60.000 per kilogram. Produsen sosis di Malaysia menggunakan daging sapi dari India, yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku. Sedangkan produsen Indonesia menggunakan daging sapi dari Australia. Harga daging sapi India lebih murah, hanya setengah dari harga daging sapi Australia. Foto: kontan.co.id"]

[/caption] Indonesia tidak mengimpor sapi dari India. Karena, India belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku. Malaysia mengimpor sapi dari India, kemudian mengolahnya menjadi sosis, lantas mengekspornya ke Indonesia. Sudah tepatkah kebijakan kita?

Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) baru saja diberlakukan pada Kamis, 31 Desember 2015. Hanya beberapa hari kemudian, sebagaimana terpantau pada Selasa (19/1/2016), Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, sudah dibanjiri beragam produk pangan olahan dari luar negeri. Terutama, pangan olahan daging sapi dari Malaysia. Wujudnya berupa sosis, burger, dan nugget. Berbagai produk tersebut bukan hanya bisa kita temukan di gerai-gerai pasar modern, tapi juga sudah menjelajah ke para pedagang di pinggiran jalan. Harga sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia tersebut, 50 persen lebih murah dibandingkan dengan produk sejenis dalam negeri.

Rp 60.000 Daging Sapi di Malaysia

Sebagai wilayah yang berdekatan dengan Malaysia, pangan olahan daging sapi dari Negeri Jiran tersebut memang sudah sejak lama merangsek Kota Pekanbaru dan kota-kota di sekitarnya. Ada yang masuk secara legal, sebagian besar berupa barang selundupan. Namun, sejak dibukanya pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), volume pangan olahan impor tersebut meningkat berkali-kali lipat. Pelaksana tugas Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, bereaksi dengan memperketat pengawasan di lapangan. Sebagaimana diungkapkan Arsyadjuliandi Rachman pada Kamis (21/1/2016), selain terjadi peningkatan volume sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia, jajarannya juga menemukan banyak produk makanan dan minuman dari Jepang, Cina, dan Korea. Ketiga negara ini jelas bukan anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN).  

Pada hari yang sama, yaitu Kamis (21/1/2016), Rizal Ramli, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, mengatakan, harga daging sapi di pasar dunia hanya Rp 45.000 per kilogram. Di Malaysia, harga daging sapi hanya Rp 60.000/kilogram. Rizal Ramli bahkan menyebut, harga daging sapi di Indonesia tergolong salah satu yang paling mahal di dunia. Itu ia ungkapkan di kantornya, di Gedung BPPT, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (21/1/2016) tersebut. Maka, menjadi jelas bagi kita, kenapa harga sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia tersebut, dijual 50 persen lebih murah dibandingkan dengan produk sejenis dalam negeri.

Tapi, benarkah sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia tersebut diproduksi dari daging sapi India? Ishana Mahisa, Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia atau National Meat Processor Association (Nampa), pada Rabu (8/7/2015), di Kementerian Perindustrian, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, menegaskan, para produsen sosis dari Malaysia memang menggunakan bahan baku daging sapi India. Ishana Mahisa bahkan merinci, harga bahan baku daging sapi asal India, jauh lebih murah yaitu US$ 2,5 per kilogram. Daging sapi asal Australia dibanderol US$ 5,5 hingga US$ 6 per kilogram.

Perbedaan harga daging sapi dari kedua negara pengekspor sapi tersebut, lebih dari 50 persen. Dengan demikian, ada singkronisasi antara penjelasan Rizal Ramli dengan rincian dari Ishana Mahisa di atas. Logikanya, jika produsen sosis, burger dan nugget daging sapi di Malaysia menggunakan daging sapi asal Australia, tentulah tidak mungkin mereka menjual produk 50 persen lebih murah dibandingkan dengan produk sejenis dalam negeri. Data ekspor sapi yang dirilis Meat and Livestock Australia (MLA) pada Sabtu (28/2/2015) menunjukkan, Malaysia sepanjang tahun 2014 hanya mengimpor sapi dari Australia sebanyak 53.004 ekor. Bandingkan dengan Indonesia yang mendatangkan sapi Australia sebanyak 730.257 ekor, pada tahun 2014.

[caption caption="Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalokasikan dana sebesar Rp 16,5 miliar dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) 2015 untuk mendukung upaya percepatan pengembangan ternak sapi di wilayah kepulauan tersebut. Hal itu dikatakan Dany Suhadi, Kepala Dinas Peternakan NTT, di Kupang, pada Sabtu (30/5/2015). Sementara itu, Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, mengharapkan agar NTT memiliki industri pengolahan daging sapi semi intensif, untuk membantu meningkatkan perekonomian provinsi itu. Thomas Trikasih Lembong mengatakan hal itu kepada wartawan di Kupang, pada Jumat (27/11/2015). Foto: antaranews.com"]

[/caption] Daging India 80 Derajat

Yang jadi pertanyaan, Indonesia tidak mengimpor sapi dari India karena India belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku. Tapi, kenapa Indonesia membuka pintu bagi masuknya produk daging sapi olahan dari sapi India? Sejauh ini, belum ada penjelasan dari pihak berwenang kepada publik. Padahal, kebijakan tersebut bisa bermakna bahwa pemerintah tidak sepenuhnya melindungi masyarakat dari dampak Penyakit Mulut dan Kuku. Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang-Departemen Kesehatan, dr. Thomas Suroso SU, menyatakan, seseorang yang mengonsumsi daging sapi yang tidak bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), bisa tertular penyakit tersebut.  PMK menyebabkan bercak-bercak putih seperti sariawan di mulut, namun tidak menimbulkan kematian.   

Regulasi yang membuka pintu bagi masuknya produk daging sapi olahan dari sapi India adalah Peraturan Menteri Pertanian No. 84 tahun 2013, yang diterbitkan pemerintah pada Agustus 2013. Di aturan itu, pada pasal 9, dinyatakan bahwa produk olahan yang menggunakan bahan baku yang berasal dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), vescular stomatitis, swine vesicular desease‎, dapat dipertimbangkan diimpor jika telah dipanaskan lebih dari 80 derajat celcius selama 2-3 menit. Pasal 9 itulah yang membuat sosis, burger dan nugget daging sapi dari Malaysia, yang menggunakan bahan baku daging sapi India, menggelontor masuk Indonesia.

Volume impornya dengan cepat tumbuh. Volume selundupannya juga terus merangsek, terutama di wilayah perbatasan. Di Provinsi Kalimantan Barat, misalnya. Penyelundupan sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia tersebut masuk ke Indonesia melalui pintu masuk di beberapa  titik perbatasan yang ada di lima kabupaten di Kalimantan Barat. Antara lain, di Badau Kabupaten Kapuas Hulu, Ketungau Hulu Kabupaten Sintang, Entikong Kabupaten Sanggau, Sajingan Besar Kabupaten Sambas, dan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang. Kini, nilai impor produk daging sapi olahan dari Malaysia tersebut, mencapai US$ 4,76 juta. Itu setara dengan 85,73 persen total impor sosis Indonesia.

Dalam konteks perdagangan ASEAN, Malaysia sepertinya sangat cerdik memanfaatkan peluang pada pasal 9 tersebut, jauh sebelum kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan. Kebijakan tidak mengimpor sapi dari India dan kebijakan membuka impor daging sapi olahan berbahan baku daging sapi India adalah dua kebijakan yang sesungguhnya berbenturan. Jika daging sapi dari India dinilai aman setelah dipanaskan lebih dari 80 derajat celcius selama 2-3 menit, kenapa industri pengolahan daging sapi dalam negeri tidak diizinkan melakukan hal serupa?

[caption caption="Presiden Joko Widodo bersalaman dengan para kepala desa dan perangkat desa dari seluruh Indonesia, sebelum acara silaturahim pada Sabtu (26/12/2015), di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Dalam kesempatan itu, Joko Widodo mengingatkan, dengan berlakunya MEA, akan ada persaingan sebelas negara ASEAN, yang kita tidak tahu persaingannya akan seberat apa. Karena, batas negara sudah tidak ada. Joko Widodo meminta masyarakat agar tidak takut menghadapi gempuran perdagangan produk-produk dari luar negeri. Sebaliknya, hal itu harus dihadapi dengan mengirim produk-produk Indonesia yang berkualitas ke luar negeri. Foto: print.kompas.com"]

[/caption] Persaingan Daging Sapi Olahan

Dari sisi daya saing sesama negara ASEAN, tentulah persaingan antara produk sosis, burger, dan nugget daging sapi dari Malaysia dengan produk sejenis di tanah air, tidak sepadan. Dengan harga daging sapi yang demikian tinggi, berarti industri membeli bahan baku juga dengan harga tinggi. Akibatnya, harga jual produk olahan daging sapi, juga tinggi. Industri yang demikian, tentulah tidak kompetitif. Di tengah daya beli masyarakat yang melemah, maka pertumbuhan industri tersebut pun terbatas.

Jika dibandingkan dengan harga daging sapi di Malaysia, tentulah industri pengolahan daging sapi di sana lebih kompetitif dibandingkan dengan di negeri ini. Dalam kaitan pasar bebas Association of South East Asian Nations (ASEAN), bukan tidak mungkin, produk olahan daging sapi dari Negeri Jiran tersebut akan semakin membanjiri pasar dalam negeri. Karena Presiden Joko Widodo sebelumnya adalah seorang pengusaha dan Rizal Ramli sebelumnya juga pengusaha, mereka tentu paham, betapa rendahnya daya saing bangsa ini, dalam konteks daging sapi beserta usaha turunan yang terkait dengan daging sapi.

Peraturan Menteri Pertanian No. 84 tahun 2013, yang diterbitkan pemerintah pada Agustus 2013, sepertinya belum pernah dicermati pemerintahan Joko Widodo. Baik dalam konteks pengadaan daging sapi, maupun sebagai bagian dari strategi meningkatkan daya saing Indonesia di antara sebelas negara ASEAN. Sebagai perbandingan, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia, dengan mudahnya dilabrak pihak berwenang. Akibatnya, 17.000 ton jagung pipilan asal Brasil, masuk secara ilegal. Kamis (14/1/2016), 2.500 ton sudah dibongkar di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah. Sebelumnya, Kamis (24/12/2015), 7.432 ton diturunkan di Pelabuhan Panjang, Lampung. Sebelumnya lagi, 7.068 ton diturunkan di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara.

Dalam konteks ketahanan pangan, dalam hal ini daging sapi, kebijakan tidak mengimpor sapi dari India dan kebijakan membuka impor daging sapi olahan berbahan baku daging sapi India, adalah dua kebijakan yang patut dievaluasi. Mengacu kepada kondisi terkini, kita tahu, kebijakan terkait daging sapi, bukan lagi sebatas bagaimana menstabilkan harga daging sapi agar terjangkau oleh masyarakat. Tapi, juga menciptakan iklim usaha pengolahan daging sapi beserta usaha turunan yang terkait dengan daging sapi, yang kompetitif. Baik dalam skala industri, menengah, maupun kecil. Kebijakan tersebut sekaligus akan mencerminkan, bagaimana strategi pemerintahan Joko Widodo meningkatkan daya saing Indonesia di antara sebelas negara ASEAN.

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Jakarta, 28 Januari 2016    

----------------------------

Senin (25/1/2016), setelah bertemu Jusuf Kalla, Sofyan Djalil mengumumkan bahwa PPN sapi impor dibatalkan. Asosiasi Pedagang Daging Indonesia mengapresiasi gerak cepat pemerintah ini.

Kapal angkut sapi KM Camara Nusantara 1 ditujukan untuk memangkas biaya angkut sapi. Dari Rp 1,5 juta jadi hanya Rp 320.000 per ekor. Tapi, kenapa kapal sapi itu kosong melompong?

Sapi betina, khususnya yang masih produktif, dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tujuannya, agar populasi sapi di tanah air tetap terjaga.

Harga daging sapi melambung dari Rp 89.000 per kg menjadi Rp 140.000 per kg. Seharusnya, pedagang daging sapi berpesta-pora, karena menangguk untung besar. Kenapa mereka mogok berjualan?

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Bareskrim Polri, menemukan surat dari Persatuan Pedagang Sapi Jabodetabek, yang isinya ajakan agar pedagang tak melepas sapi mereka untuk dipotong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun