Kini, harga jagung sudah menembus Rp 6.000 per kilogram (kg). Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Singgih Januratmoko, pada Jumat (15/1/2016), di Jakarta, menjabarkan, dengan harga jagung yang mahal tersebut, peternak ayam broiler (pedaging) sekarang membeli pakan dengan harga Rp 7.000 per kilogram. Implikasinya, harga pokok produksi ayam broiler per kilogram berat hidup, sekitar Rp 18.000. Adapun, harga jual ayam di kandang, paling rendah sekarang Rp 21.000 per kilogram berat hidup.
Nah, berapa harga di tingkat konsumen? Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, kepada Kompas Senin (28/12/2015) mengatakan, rata-rata nasional harga daging ayam ras Rp 33.228 per kg dan telur ayam ras Rp 25.447 per kg. Di tingkat grosir di gudang agen telur di Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Selasa (29/12/2015), harga telur Rp 24.000 per kilogram, naik dibandingkan dengan minggu sebelumnya, yang sebesar Rp 20.000 per kg. Bandingkan dengan harga tertinggi daging ayam ras pada Juli 2015, Rp 33.523 per kg dan harga telur ayam tertinggi pada Juli 2015, Rp 23.053 per kg.
Lonjakan harga jagung, otomatis akan melambungkan harga pakan ternak. Kenapa? Karena, sekitar 60–70 persen komponen produksi industri perunggasan untuk pakan ternak, menggunakan bahan baku jagung. Akibat lanjutannya, harga daging ayam dan harga telur membubung di pasaran. Dalam konteks kebutuhan masyarakat akan protein hewani, kita sama-sama melihat bahwa implikasi harga jagung, tidak kalah luas dibanding beras. Maka, tidak sepatutnya, Kemendag, Kementan, dan Perum Bulog membuang-buang waktu dengan tarik-ulur dalam menyikapi lonjakan harga jagung di pasaran.
Sebenarnya, bukan hanya membuang-buang waktu, tapi juga membuang-buang uang. Kita bisa belajar dari kasus impor beras sebanyak 1.000.000 ton, dari Vietnam dan Thailand, tahun 2016 ini. Pada Rabu (11/11/2015), Menteri Perdagangan Thomas Lembong, di Jakarta, mengatakan, Indonesia cenderung terlambat mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand. Akibat keterlambatan tersebut, harga beras impor naik, dari 340 dollar AS per ton jadi 400 dollar AS per ton. Ini menyulitkan keuangan Bulog. Tapi, nampaknya hal tersebut tidak dipahami sepenuhnya oleh ketiga institusi pemerintahan di atas.
[caption caption="Karyawan sedang menyiapkan telur pesanan pedagang di gudang agen telur di Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Harga daging ayam dan harga telur ayam sangat tergantung pada harga jagung. Karena, sekitar 60–70 persen komponen produksi industri perunggasan untuk pakan ternak, menggunakan bahan baku jagung. Foto: print.kompas.com"]
Â
Dalam konteks transparansi, impor beras sebanyak 1.000.000 ton dari Vietnam dan Thailand, sama-sama tidak transparan dengan impor jagung sebanyak 2.400.000 ton tahun 2016 ini. Media Vietnam, The Saigon Times, telah melansir berita tentang impor beras yang dilakukan Indonesia. Usai pemberitaan tersebut, belum ada pejabat pemerintah kita yang mau buka suara terkait kesepakatan impor beras dengan Vietnam. Padahal, keterbukaan mengenai impor beras menjadi penting, lantaran pasar beras masih bersifat oligopoli dan rentan permainan spekulan. Baru pada Rabu (21/10/2015), Presiden Joko Widodo mengonfirmasi bahwa Indonesia mengimpor beras sebanyak 1.000.000 ton, dari Vietnam dan Thailand.
Kemudian, belakangan, pada Rabu (11/11/2015), Menteri Perdagangan Thomas Lembong, mengatakan, Indonesia cenderung terlambat mengimpor beras, yang mengakibatkan harga beras impor naik, dari 340 dollar AS per ton jadi 400 dollar AS per ton. Kenapa terlambat? Apa yang membuat terlambat? Hingga hari ini, sama sekali tidak ada penjelasan kepada publik dari Kemendag, Kementan, dan Perum Bulog. Sikap pemerintah seperti ini tentulah jauh dari makna transparansi yang selama ini digelorakan oleh Presiden Joko Widodo. Sikap ini sekaligus juga jauh dari makna profesional dan kabinet profesional yang selama ini digadang-gadang Joko Widodo.
Memang, Joko Widodo tidak menamakan kabinetnya Kabinet Profesional, tapi Kabinet Kerja, yang ia klaim sejak awal diisi eh diduduki oleh orang-orang profesional. Dalam konteks impor beras 1.000.000 ton di atas, di mana letak profesionalnya? Di mana letak transparansinya? Dalam impor jagung, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengonfirmasi pada Rabu (16/12/2015), Indonesia akan mengimpor komoditas jagung sekitar 2.400.000 ton pada tahun 2016. Total kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak mencapai 8,6 juta ton tahun ini. Dari negara mana akan diimpor dan berapa harganya, hal itu menjadi otoritas Perum Bulog.
Berhak kah publik tahu, dari negara mana Bulog akan mengimpor jagung? Dan, berapa harganya? Ini tentu sangat bergantung pada di level mana Presiden Joko Widodo menempatkan transparansi pemerintahannya. Termasuk, tentang 17.000 ton jagung pipilan asal Brasil yang sudah keluar dan sudah menyebar melalui ketiga pelabuhan yang dimaksud: Belawan, Panjang, dan Tanjung Emas. Akankah Kemendag, Kementan, dan Perum Bulog memberikan klarifikasi kepada publik tentang legal atau ilegal jagung impor tersebut?